Oleh: Adib Fattah Suntoro, M.Ag
Diskursus terkait persoalan ketuhanan merupakan salah satu permasalahan metafisika yang paling esensial dalam bidang filsafat Islam. Sebab filsafat yang dikembangkan dalam tradisi keilmuan Islam tentunya terkait erat dengan doktrin-doktrin agama Islam. Salah satu doktrin utama dalam Islam adalah konsep ketuhanan. Sehingga dalam hal ini filsafat dituntut untuk memberikan penjelasan rasional terkait eksistensi Tuhan, sifat-sifat Tuhan, dan bagaimana Tuhan berperan dalam penciptaan.[1] Penjelasan rasional tentang ketuhanan dalam pemikiran filsuf Muslim memang terpengaruh oleh penjelasan para filsuf Yunani sebelumnya. Namun perlu digarisbawahi bahwa para filsuf Muslim tidak mengambil begitu saja semua pemikiran Yunani, akan tetapi mereka melakukan kritik dan pengembangan sesuai dengan pandangan-hidup Islam (Islamic worldview).
Salah satu tokoh paling fenomenal dalam diskursus ini adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi (Latin: Alkindus). Sejarah mencatat bahwa al-Kindi adalah filsuf Arab pertama yang berhasil mengembangkan pemikiran filsafat Yunani secara sistematis dalam tradisi Islam. Atas perannya itu, para sejarawan menyebutnya sebagai al-Failasūf al-‘Arab/ The Philosopher of Arabs (Sang Filsuf Arab).[2] Peter Scott Adamson, profesor filsafat dari Amerika, bahkan menggelarinya dengan The Great Medieval Thinkers (Sang Pemikir Besar Abad Pertengahan).[3] Al-Kindi, bukan saja berjasa dalam mengembangkan filsafat dalam tradisi Islam, namun ia juga telah menyumbangkan banyak gagasan penting di dalamnya.
Salah satu gagasan utama dalam pemikiran metafisika al-Kindi adalah terkait filsafat ketuhanan. Al-Kindi meskipun banyak terpengaruh pandangan filsuf Yunani, terutama Aristoteles, namun dalam persoalan ketuhanan ia justru berbeda dengan Aristoteles. Salah satu perbedaan al-Kindi dengan Aristoteles adalah terkait peran Tuhan dalam penciptaan alam semesta, di mana al-Kindi meyakini bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta dari ketiadaan (creatio ex nihilo), sedangkan Aristoteles tidak meyakini Tuhan sebagai Pencipta, namun sebagai Penggerak yang tak tergerak (Unmoving Mover).[4] Dari sini terlihat bahwa al-Kindi tidak menelan mentah-mentah segala pemikiran para filsuf Yunani, melainkan ia melakukan adaptasi dan pengembangan filsafat Yunani tersebut menjadi sesuatu yang baru dan autentik dengan bekal epistemologis yang dihasilkan dari pandangan-hidup (worldview) Islam. Untuk itu, tulisan ini mencoba membedah pemikiran filsafat ketuhanan al-Kindi dari berbagai aspeknya. Kajian ini dimulai dari biografi al-Kindi dan corak filsafatnya, baru kemudian pada berbagai bidang kajian yang lebih spesifik dalam konsep ketuhanan. Hal tersebut penting dilakukan sehingga nantinya terlihat distingsi antara pemikiran filsafat al-Kindi dengan para filsuf Yunani.
Riwayat Hidup al-Kindi
Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin al-Shabbah bin Imran bin Muhammad bin al-Asy’ats bin Qais.[5] Ia terkenal dengan nama al-Kindi sebab ia berasal dari suku Kindah di wilayah Arabia Selatan. Al-Kindi lahir di kota Kufah Irak pada tahun 801 M/185 H dan meninggal tahun 873 M/260 H pada usia 72 tahun.[6] Artinya al-Kindi hidup dalam sebelas khalifah Bani Abbasiyah, dimulai dari al-Rasyid (786-809 M), al-Amin (809-813 M), al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tasim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), al-Mutawakil (847-861 M), al-Muntashir (861-862 M), al-Musta’in (862-866 M), al-Mu’taz (866-869 M), al-Muhtadi (869-870 M), hingga al-Mu’tamid (870-892 M).[7] Al-Kindi dibesarkan dilingkungan keluarga bangsawan dan terpelajar. Ayahnya, Ishaq bin al-Shabbah pernah menjabat sebagai gubernur Kufah pada masa kekuasaan Khalifah al-Mahdi (775-785 M) dan al-Rasyid (786-809 M). Selain itu kakeknya, Asy’ats bin Qais dikenal sebagai sahabat Nabi.[8] Lahir dan dibesarkan di tengah keluarga bangsawan, jelas menjadi keuntungan tersendiri bagi al-Kindi dalam menapaki karier intelektualnya.
Minat al-Kindi terhadap ilmu pengetahuan telah tumbuh semenjak usia belia. Al-Kindi mengawali perjalanan keilmuannya dengan menghafal Al-Qur’an, dan belajar tata bahasa Arab, kesusastraan serta ilmu hitung di kota Kufah. Memasuki usia remaja, al-Kindi muda mulai berkenalan dengan filsafat yang saat itu mulai berkembang di kota Kufah.[9] Tidak puas hanya dengan belajar di kota Kufah, al-Kindi pun memutuskan untuk berkelana ke Baghdad, ibu kota Khilafah Bani Abassiyah. Baghdad saat itu merupakan pusat keilmuan dunia, di mana para ilmuwan dari berbagai bidang seperti Filsafat, Geometri, Astronomi, Kedokteran dan sebagainya berkembang dengan pesat. Di Baghdad, al-Kindi mulai fokus menyelami filsafat, terutama dari pemikiran Aristoteles dan Plotinus.[10] Tak hanya menekuni filsafat, al-Kindi juga mempelajari dengan serius berbagai bidang ilmu lain seperti geometri, astronomi, aritmatika dan lain-lain hingga menguasainya.[11] Berkat kecerdasannya itu, Khalifah al-Ma’mun memintanya agar menjadi pengajar di Bayt al-Ḥikmah, sebuah lembaga pusat studi paling bergengsi di Baghdad.[12]
Bayt al-Ḥikmah menjadi tempat di mana al-Kindi dapat melejitkan potensi akademiknya. Dengan kemampuan bahasa Yunani dan Suryani yang dimilikinya, al-Kindi ikut berkecimpung dalam gerakan penerjemahan teks-teks Yunani. Selain itu al-Kindi diminta agar menjadi guru privat bagi Ahmad, putra khalifah al-Mu’tasim.[13] Tidak hanya itu, al-Kindi bahkan diangkat menjadi penasihat istana pada masa khalifah al-Mu’tasim dan al-Watsiq. Namun pada masa khalifah al-Mutawakil, jabatan tersebut ditanggalkan dari al-Kindi. Disinyalir, al-Mutawakil memecat al-Kindi sebab adanya hasutan dari pihak tertentu yang iri terhadap prestasi-prestasi al-Kindi.[14] Bahkan perpustakaan pribadi al-Kindi juga sempat disita.[15] Memang masa pemerintahan al-Mutawakil adalah masa transisi, dari mazhab Mu’tazilah kembali ke ahlusunnah wal jama’ah. Sehingga al-Kindi yang terindikasi kuat pengikut mazhab Mu’tazilah pun ikut disingkirkan dari istana.
Sosok al-Kindi yang disebut-sebut sebagai pengikut aliran Mu’tazilah memang sudah menjadi pemahaman umum. Karena memang dari banyak argumentasinya dalam berbagai karyanya, cenderung sesuai dengan pemikiran Mu’tazilah.[16] Ditambah lagi latar belakang keluarga dan lingkungannya didominasi oleh orang-orang Mu’tazilah.[17] Meski terdapat sebagian kalangan yang meragukan al-Kindi sebagai pengikut Mu’tazilah. Argumentasinya adalah, pertama al-Kindi memang ikut berpartisipasi dalam menyebarkan pemahaman tentang keadilan dan kemahakuasaan Allah, namun sejatinya persoalan tersebut bukan monopoli Mu’tazilah saja, namun aliran lain pun ikut mendiskusikannya. Kedua, seorang pengikut Mu’tazilah harus menerima lima ajaran pokok (al-ushūl al-khamsah) Mu’tazilah, sedangkan tidak ada bukti eksplisit bahwa al-Kindi mengakui ajaran ini.[18] Namun yang pasti, kecenderungan pemikiran al-Kindi pada aliran Mu’tazilah tetap tidak bisa disangsikan.
Para peneliti biografi al-Kindi mendapatkan kesulitan dalam melacak siapa saja guru-guru al-Kindi, sebab keterbatasan data valid yang menyebutkan tentang hal ini. Abu Riddah dalam al-Kindī wa Falsafatuhu mengungkapkan keterbatasan referensi tentang biografi al-Kindi. Abu Riddah menyebutkan bahwa para penulis biografi tokoh seperti Ibnu Nadim,[19] al-Qadhi Shaid bin Ahmad al-Andalusi,[20] Zahiruddin al-Baihaqi[21] dan Jamaluddin al-Qafati[22] tidak satu pun yang menyebutkan tentang siapa guru-guru al-Kindi.[23] Terlepas dari hal ini, yang jelas kepakaran al-Kindi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan membuktikan adanya banyak sosok guru yang telah mendidik al-Kindi, meskipun nama-nama mereka tidak dapat dipublikasi. Adapun terkait siapa saja murid-murid al-Kindi juga sulit untuk diidentifikasi. Namun Ibnu Nadim dalam al-Fihrits menyebutkan salah satu nama murid al-Kindi yaitu Ahmad bin al-Thoyib.[24]
Pemikiran Al-Kindi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan terabadikan dalam karya-karya tulisnya yang berjumlah sangat banyak. Peter S. Groff dan Oliver Leaman dalam Islamic Philosophy A – Z mencatat terdapat 260 naskah yang telah ditulis oleh al-Kindi, meskipun hanya sebagian saja yang dapat terselamatkan.[25] Karya-karya al-Kindi dapat dikelompokkan menjadi 17 klasifikasi berdasarkan bidang kajiannya, yaitu: (1) filsafat, (2) logika, (3) ilmu hitung, (4) globular, (5) musik, (6) astronomi, (7) geometri, (8) sperikal, (9) medis, (10) astrologi, (11) dialektika, (12) psikologi, (13) politik, (14) meteorologi, (15) besaran, (16) ramalan, (17) logam dan kimia.[26] Karya-karya al-Kindi tersebut membuktikan kecerdasan dan keluasan ilmunya. Sejarah telah mencatat pengaruh karya-karya al-Kindi terhadap perkembangan peradaban, baik peradaban Islam maupun peradaban Barat.
Di antara karya al-Kindi yang paling berpengaruh adalah karya-karyanya dalam bidang filsafat. Al-Kindi bahkan dianggap sebagai pembuka jalan bagi tersebarnya filsafat Yunani, terutama pemikiran Aristoteles dan Neo-Platonisme di dunia Islam.[27] Namun al-Kindi tidak mengadopsi mentah-mentah semua pemikiran filsafat mereka, melainkan ia melakukan modifikasi dan pembaharuan sesuai alam pikiran Islam.[28] Buku-buku karya al-Kindi di bidang filsafat di antaranya adalah: Fī al-Falsafah al-Ūlā, Fī al-Falsafah al-Dākhilah, al-Bahts ‘ala Ta’alum al-Falsafah, Fī Qasd Aristoteles fī al-Maqolāt, Kammiyāt Kutub Aristoteles, Fī al-Ḥuddūd al-Asyyā’, Aqsām ‘Ilm al-Ilāhi, Māhiyah al-‘Ilm wa Aqsāmuhu, Risālah fī Māhiyah al-‘Aql, dan lain-lain.[29] Dengan melihat berbagai karya al-Kindi tersebut, Ibnu Nadim mengategorikan al-Kindi sebagai seorang pakar filsafat alam (natural philosophy).[30] Karya-karya al-Kindi tidak hanya dikaji oleh para sarjana muslim, beberapa tulisannya juga diterjemahkan ke bahasa latin dan dikaji oleh orang-orang Barat sejak abad pertengahan hingga saat ini.
Tentu bukan perkara mudah mengembangkan pemikiran filsafat Yunani yang saat itu masih cukup asing di dalam tradisi pemikiran Islam. Terkait hal ini, setidaknya ada dua rintangan yang harus al-Kindi atasi. Pertama, keterbatasan istilah teknis dalam bahasa Arab yang dapat digunakan untuk menjelaskan gagasan-gagasan filsuf Yunani. Kedua, komentar miring atau stigma negatif yang dilancarkan oleh pihak tertentu terhadap filsafat.[31] Hebatnya, kedua rintangan tersebut dapat al-Kindi atasi. Rintangan pertama al-Kindi atasi dengan cara menerjemahkan istilah-istilah Yunani ke dalam bahasa Arab, seperti kata hyle menjadi thīn (tanah), atau dengan merancang istilah baru berbahasa Arab seperti failasūf untuk istilah Yunani philosophos (filsuf). Sedangkan rintangan kedua al-Kindi atasi dengan cara menyelaraskan antara agama dan filsafat.[32] Dengan perannya tersebut, al-Kindi menjadi salah satu tokoh penting dalam filsafat Islam.
Corak Filsafat al-Kindi
Corak filsafat al-Kindi memang banyak diwarnai oleh pemikiran Socrates, Plato, Aristoteles dan Neo-Platonisme, namun hebatnya al-Kindi dapat membuat pembaharuan dan pengembangan yang lebih jauh dari pemikiran mereka. Dengan ketajaman analisisnya, al-Kindi mampu mengambil pokok pikiran filsafat Yunani dan kemudian dikembangkan dalam konteks pemikiran Islam. Misalnya dalam soal metafisika dan kosmologi, al-Kindi banyak mengambil pemikiran Aristoteles.[33] Sedangkan dalam psikologi, al-Kindi mengambil dari Plato.[34] Adapun dalam soal etika, al-Kindi banyak terpengaruh oleh pemikiran Socrates.[35] Oleh sebab itu corak filsafat al-Kindi termasuk aliran eklektisisme, yaitu paham atau aliran filsafat yang mengambil yang terbaik dari semua sistem.[36]
Sebagaimana ditegaskan sebelumnya, al-Kindi tidak serta merta mengambil begitu saja pemikiran Yunani, akan tetapi ia melakukan adaptasi dan pengembangan atas pemikiran filsuf Yunani tersebut. Proses tersebut dijalankan al-Kindi di antaranya dengan melakukan transliterasi istilah filsufis Yunani ke dalam bahasa Arab, misalnya istilah philosophos (filsuf) menjadi failasūf, atau istilah Yunani to ti esti (esensi) menjadi al-māhiyah.[37] Tidak hanya itu, al-Kindi juga melakukan kritik terhadap beberapa pandangan filsuf Yunani, di antaranya dalam masalah penciptaan di mana para filsuf Yunani berpandangan bahwa alam tercipta dari materi yang sudah ada (creatio ex materia) melalui gerak atau emanasi Tuhan sehingga alam bersifat kekal (qadīm/azalī), sedangkan al-Kindi berpandangan bahwa alam tercipta dari ketiadaan (creatio ex nihilo) dengan proses penciptaan Tuhan sehingga alam bersifat baru (ḥādits).[38] Lebih jauh lagi, al-Kindi melakukan pengembangan dari pemikiran filsafat Yunani yang sudah ada, misalnya terhadap pemikiran Aristoteles yang ia tulis dalam karyanya berjudul Risālah fī Kamiyyah Kutub Aristū wa mā Yaḥtaj ilaihi fī Taḥshīl al-Falsafah.[39] Jadi, al-Kindi bukan saja berperan menjadi penerjemah filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, namun ia berperan lebih jauh dengan menjabarkan dan mengembangkan pemikiran mereka.
Al-Kindi adalah filsuf muslim yang mencoba melakukan rekonsiliasi antara filsafat dan agama Islam. Menurut al-Kindi filsafat bukan ditujukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau berposisi lebih tinggi dari wahyu.[40] Sebab bagi al-Kindi filsafat adalah pengetahuan tentang yang benar (baḥts ‘an al-ḥaqq) dan tujuan agama adalah menerangkan apa yang benar dan baik, sehingga antara filsafat dan agama memiliki orientasi yang sama.[41] Oleh sebab itu dalam Fī al-Falsafah al-Ūlā , al-Kindi menulis:إنَ أعلى الصناعات الإنسانية منزلة و أشرفها مرتبة صناعة الفلسفة . Artinya bahwa penemuan manusia yang paling tinggi dan mulia derajatnya ialah penemuan filsafat. Hal ini menurut al-Kindi sebab tujuan dari filsuf dengan ilmunya adalah mencapai kebenaran. Al-Kindi juga menegaskan bahwa filsafat paling mulia adalah “filsafat yang pertama” (falsafah al-ūlā), yaitu ilmu tentang penyebab segala sesuatu yang tidak lain adalah Allah. [42] Jadi bagi al-Kindi antara filsafat dan agama tidak perlu dipertentangkan, sebab keduanya bermuara pada ujung yang sama, yaitu mengenal kebenaran.
Menurut al-Kindi kebenaran bisa datang dari mana saja, dalam artian kebenaran tidak terbatas dan terikat pada kelompok, bangsa atau peradaban tertentu. Untuk itu bagi al-Kindi, umat Islam tidak perlu sungkan untuk mengakui dan mengambilnya. Hal ini terlihat jelas dalam ungkapan al-Kindi berikut ini:
و ينبغي لنا أن لا نستحي من استحسان الحق واقتناء من أين أتى و إن أتى من الأجناس القاصية عنا والأمم المباينة لنا فانه لاشيء أولى بطالب الحق من الحق وليس بخس الحق ولا تصغير بقائله ولا بالآتى به ولا أحد بخس بالحق بل كل يشرفه الحق.[43]
Jika diperhatikan pernyataan al-Kindi tersebut senada dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib. Hadis tersebut tersebut menyatakan bahwa kebenaran (al-ḥikmah) adalah milik umat Islam yang tercecer, karena itu ia harus diambil di mana pun ditemukan.[44] Oleh karena itu, umat Islam tidak perlu sungkan untuk mengambil kebenaran dari mana pun itu, termasuk kebenaran dalam filsafat Yunani.
Metafisika: Konsep Ketuhanan
Persoalan metafisika terutama tentang ketuhanan merupakan tema penting dalam pemikiran filsafat al-Kindi. Pemikiran al-Kindi dalam bidang metafisika dapat dijumpai dalam karyanya yang ditulis untuk Khalifah al-Mu’tashim berjudul Fī al-Falsafah al-Ūlā (Tentang Filsafat Pertama).[45] Al-Kindi mengikuti Aristoteles dalam menyebut istilah metafisika, di mana Aristoteles menggunakan istilah proto philosophia (filsafat pertama) dan al-Kindi menggunakan istilah al-falsafah al-ūlā (filsafat pertama).[46] Persoalan ketuhanan merupakan tema penting dalam metafisika al-Kindi, sebab baginya tujuan utama mempelajari filsafat adalah mengetahui kebenaran, dan kebenaran paling tinggi menurut al-Kindi adalah kebenaran tentang Tuhan.[47]
Tidak hanya itu, al-Kindi memandang bahwa Tuhan adalah penyebab pertama (‘Illah al-Ūlā/First Cause)dari segala sesuatu. Oleh karena itu, konsep-konsep lain seperti tentang jiwa, akal, penciptaan dan sebagainya, tidak terpisahkan dari konsep ketuhanannya.[48] Pemikiran al-Kindi tentang ketuhanan dipengaruhi oleh corak pandangan Aristoteles dan Plotinus di beberapa aspek. Jadi bisa dikatakan, al-Kindi mengembangkan konsep mereka dalam konteks tradisi agama Islam.[49] Konsep ketuhanan al-Kindi juga diwarnai dengan doktrin Mu’tazilah yang kental, terutama dalam persoalan sifat Tuhan.[50] Catatan Al-Kindi terkait filsafat ketuhanannya banyak termuat dalam Fī Falsafah al-Ūlā, di mana al-Kindi membicarakan terkait bukti keberadaan Tuhan, hakikat dan sifat Tuhan, serta bagaimana Tuhan menciptakan alam semesta.
Konsep ketuhanan dalam pemikiran metafisika al-Kindi dapat diklasifikasikan menjadi tiga aspek pembahasan, yaitu (1) eksistensi Tuhan, (2) sifat dan zat Tuhan, dan (3) penciptaan alam semesta oleh Tuhan.[51] Terkait dengan eksistensi Tuhan, al-Kindi menjelaskan bukti-bukti rasional yang membuktikan eksistensi Tuhan. Dalam hal ini, al-Kindi memadukan antara argumen para filsuf Yunani dan teologi Mu’tazilah. Adapun terkait sifat dan zat Tuhan, al-Kindi cenderung pada pandangan yang meniadakan sifat Tuhan pada zat-Nya. Sedangkan pandangan al-Kindi terkait penciptaan alam semesta oleh Tuhan, lebih cenderung pada pandangan Mu’tazilah bahwa alam diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan (cretio ex nihilo). Berikut ini penjelasan lebih rinci terkait tiga aspek pemikiran al-Kindi tentang ketuhanan.
Eksistensi Tuhan
Al-Kindi meyakini bahwa Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud yang lain. Oleh karena itu, bagi al-Kindi eksistensi Tuhan adalah pasti, sebab tanpa eksistensi-Nya segala sesuatu selain-Nya tidak akan ada. Dalam hal ini, Al-Kindi menyebut Tuhan sebagai Sebab Pertama (‘illah al-Ūlā/ Fā’il al-Awwal).[52] Selain itu, sama seperti filsuf atau teolog lain, al-Kindi meyakini bahwa eksistensi Tuhan adalah Esa atau tidak berbilang. Maka al-Kindi menyebut Tuhan sebagai al-Waḥīd al-Haqq (Satu yang Sejati).[53]
Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, al-Kindi mengajukan tiga argumentasi rasional, yaitu (1) argumentasi kebaruan alam (dalīl al-ḥudūts/ a novitate mundi), (2) argumentasi kesatuan dan keragaman (dalīl al-wiḥdah wa al-katsrah), dan (3) argumentasi pengendalian alam dalam keteraturan (dalīl al-nizhām wa al-tadbīr).[54] Argumentasinya ini berpijak pada gambaran al-Kindi tentang Tuhan sebagai Zat yang bersifat tetap, tunggal, gaib dan penyebab utama gerak. Sehingga bagi al-Kindi, adanya alam termasuk segala kompleksitas ekosistemnya membuktikan adanya Tuhan. Adapun perincian dari argumentasi di atas adalah sebagai berikut.
Pertama, argumentasi kebaruan alam (dalīl al-ḥudūts) dalam konsepsi al-Kindi berpijak pada doktrin penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Al-Kindi berpandangan bahwa Tuhan adalah satu-satunya Zat yang dapat menciptakan sesuatu dari ketiadaan, termasuk penciptaan alam semesta beserta isinya. Karena Tuhan adalah sebab yang sesungguhnya dari seluruh realitas alam semesta (‘Illah al-Ūlā/First Cause).[55] Untuk mendukung argumen tentang kebaruan alam, al-Kindi menyusun logika terkait dengan tiga hal, yaitu gerak, zaman (waktu) dan benda. Terkait dengan gerak al-Kindi mengajukan sebuah pertanyaan retoris, “mungkinkah sesuatu menjadi sebab atas dirinya sendiri ataukah tidak mungkin? Menurut kami tentu ini tidak mungkin.”[56] Dengan demikian menurut al-Kindi alam ini bar (ḥādits), jika alam ini baru artinya ada permulaan dalam waktu dan akan ada akhirnya, maka logikanya jika ada sesuatu yang baru maka pasti ada pihak yang menciptakan kebaruan itu (muhdist), dan itulah Tuhan.[57] Menurut George N. Atiyeh, Penulis biografi al-Kindi, argumentasi al-Kindi ini mengikuti hukum kausalitas. Yaitu, pertama al-Kindi bersandar pada premis bahwa alam semesta diciptakan dalam waktu tertentu. Berdasarkan hukum kausalitas, segala sesuatu yang diciptakan dalam suatu waktu pastilah memiliki pencipta. Untuk itu Tuhan adalah Sang Pencipta alam, dan ini membuktikan eksistensi Tuhan.[58]
Argumentasi al-Kindi ini hampir sejalan dengan pandangan filsafat Aristoteles tentang causa prima, yaitu Tuhan sebagai penggerak pertama, penggerak yang tidak bergerak. Hanya saja al-Kindi tidak sepakat dengan Aristoteles terkait penciptaan alam, jika Aristoteles berpandangan bahwa alam tidak muncul dari ketiadaan dan Tuhan tidak secara langsung menciptakannya, melainkan Tuhan menggerakkannya tanpa tergerakkan (Unmoved Mover), namun bagi al-Kindi alam ada dari ketiadaan (creatio ex nihilo) dan Tuhanlah yang menciptakannya.[59] Argumentasi kebaruan alam (dalīl al–ḥudūts) yang digunakan al-Kindi ini secara prinsip senada dengan pandangan para teolog (al-mutakalimūn).[60]
Kedua, argumentasi kesatuan dan keragaman (dalīl al-wiḥdah wa al-katsrah). Pembuktian eksistensi Tuhan dengan argumentasi ini didasarkan pada realitas keberagaman (al-katsrah) wujud dan kesatuannya (al-wiḥdah). Menurut al-Kindi alam semesta terdiri dari unsur kesatuan dan keragaman dalam satu waktu. Artinya tidak mungkin ada keragaman tanpa kesatuan atau kesatuan tanpa keragaman, melainkan keduanya ada secara bersamaan. Hukum keseragaman dan keragaman ini tentunya bukanlah sesuatu yang terjadi tanpa sebab (al-shadafah), namun pasti ada penyebabnya (‘illah).[61] Namun penyebab semua ini haruslah sesuatu yang tidak mempunyai keseragaman dan keragaman, sebab jika tidak demikian maka akan terjadi hubungan sebab-akibat yang tak berkesudahan, dan ini mustahil.[62] Selain itu sang penyebab tentunya bukan alam yang bersifat temporal dan material karena diciptakan. Jadi penyebab itu haruslah lebih mulia dari alam dan tidak didahului sebab yang lain, karena sebab harus ada sebelum akibat (ma’lūl; effect).[63] Maka satu-satunya yang mungkin menjadi penyebab tunggal adalah Tuhan, sebab Tuhan tidak berjenis dan beragam namun Tuhan itu tunggal.[64]
Ketiga, argumentasi pengendalian alam dalam keteraturan (dalīl al-nizhām wa al-tadbīr). Argumentasi ini bersandar pada silogisme analogi (qiyās tamtsīlī) yaitu menganalogikan apa yang ada dalam alam meliputi tujuan, keteraturan dan pengendaliannya dengan apa yang ada pada manusia. Maka manusia diposisikan sebagai mikro kosmos (microcosm) dan alam semesta sebagai makro kosmos (macrocosm).[65] Dalam argumentasi ini al-Kindi menganalogikan bahwa alam semesta (makro kosmos) yang bekerja dan berfungsi secara tertib dan teratur ini persis seperti bagaimana tubuh manusia (mikro kosmos) bergerak dan berfungsi secara tertib dan teratur. Jika dalam diri manusia terdapat jiwa yang mengatur tubuh secara tidak kasatmata, maka alam semesta yang teratur pun demikian, memiliki pengatur yang tidak kasatmata, yaitu Tuhan. Maka bagi al-Kindi jika eksistensi jiwa dapat diketahui dengan melihat gerak dan efek-efek yang dimunculkan dari tubuh, begitu pula untuk membuktikan eksistensi Tuhan dapat diketahui dengan memperhatikan efek-efek keteraturan alam semesta.[66] Tampaknya argumentasi ini merupakan pengembangan al-Kindi terhadap pemikiran Aristoteles, di mana Aristoteles menganalogikan keterkaitan alam dan Tuhan dengan keterkaitan antara tubuh dan jiwa.[67]
Selain menggunakan analogi di atas, al-Kindi juga menggunakan argumentasi teleologis atas keteraturan alam semesta. Argumen ini berangkat dari proposisi bahwa fenomena gejala alam yang begitu tertib, sistematis, dan menakjubkan ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan (shadafah) melainkan pasti ada yang mendesainnya dengan tujuan tertentu. Wujud yang kuasa melakukan itu semua adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu dalam Al-Ibānah ‘an al-‘Illah al-Fā’ilah al-Qarībah lī al-Kawn wa al-Fasād, al-Kindi mengatakan,
فإنَ في نظم هذا العالم وترتيبه وفعل بعضه في بعض وانقياد بعضه لبعض وتسخير بعضه لبعض وإتقان هيئته على الأمر الأصلح في كون كل كائن وفساد كل فاسد وثبات كل ثابت وزوال كل زائل لأعظم دلالة على أتقن تدبير وعلى أحكم حكمة لأن هذه جميعا من المضاف[68]
Pernyataan al-Kindi tersebut selaras dengan pandangan para teolog muslim bahwa adanya alam semesta dengan segala keteraturannya adalah bukti konkret adanya Tuhan. Selain itu, tampaknya pernyataan al-Kindi tersebut disarikan dari ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang tanda-tanda kekuasaan Allah, seperti dalam surah Ali Imron ayat 190 dan yang lainnya.
Zat dan Sifat Tuhan
Pembahasan terkait zat dan sifat-sifat Tuhan merupakan pembahasan yang sangat krusial, terutama di kalangan para teolog (mutakalimūn) dan filsuf. Isu ini sangat penting sebab terkait pokok keimanan terhadap Tuhan. Secara umum, terdapat dua pandangan besar di kalangan teolog terkait hubungan zat dan sifat Tuhan. Pertama, pandangan yang meyakini penambahan sifat terhadap zat Allah (al-mutsbit lī shifatillah). Pandangan ini dianut oleh golongan Asy’ariyah dan Salafiyah.[69] Kedua, pendapat yang menafikan sifat-sifat Allah (al-munfīy lī shifatillah). Penganut pandangan ini adalah golongan Mu’tazilah, yang merupakan antitesis dari pandangan Asy’ariyah dan Salafiyah di atas. [70] Al-Kindi, termasuk para filsuf yang lain, cenderung mengamini pandangan Mu’tazilah terkait zat dan sifat Allah.
Dalam teologi Mu’tazilah diyakini bahwa Zat Allah terbebas dari sifat-sifatnya. Para teolog Mu’tazilah menyatakan bahwa Allah mengetahui, berkuasa dan hidup dengan zat-Nya semata, bukan dengan sifat-Nya.[71] Mereka menolak menetapkan sifat bagi Allah sebab dalam pandangan mereka adanya sifat akan menggugat kesempurnaan zat Allah.[72] Para teolog Mu’tazilah umumnya menggunakan argumentasi rasional untuk membela pandangan mereka. Menurut Mu’tazilah, secara rasional Allah mustahil memiliki sifat, sebab sifat memiliki dua kemungkinan yaitu kekal (qadīm) atau baru (ḥudūts). Jika kekal (qadīm) maka artinya ada dua unsur kekal yaitu zat-Nya dan sifat-Nya, dan ini mustahil. Begitu pun jika baru (ḥudūts), ini artinya Allah lemah dan tidak absolut, karena bergantung pada sifat-sifat yang baru untuk mencapai kesempurnaan-Nya.[73] Menurut al-Syahrastani, sebenarnya Mu’tazilah tidak menafikan sifat-sifat kesempurnaan Allah secara mutlak, namun mereka menafikan sifat sebagai sesuatu wujud kekal (qadīm) yang bersanding dengan zat Allah. Sebab mereka mengakui kewujudan sifat sebagai I’tibarāt al-‘Aqliyyah.[74] Teologi Mu’tazilah bermaksud menyucikan Zat Allah dari berbilangnya perkara kekal (ta’addud al-qudamā’) yang mereka anggap menodai tauhid kepada Allah.
Filsafat ketuhanan al-Kindi terkait zat dan sifat Allah tidak berbeda dengan pandangan Mu’tazilah tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam konsepsi al-Kindi tentang sifat “tunggal” (al-waḥīd) yang berkonotasi pada dua makna, yaitu unsur tunggal dalam suatu benda dan Tuhan sebagai Zat yang Maha Esa.[75] Menurut al-Kindi penyebutan “tunggal” pada benda-benda adalah bersifat metaforis (majāz) saja. Sebab menurut al-Kindi seluruh benda terdiri dari dua unsur, yaitu unsur partikular (juz’īy) yang disebut ‘āniyah dan unsur universal (kullīy) yang disebut māhiyah. Namun bagi al-Kindi Tuhan tidak terdiri dari dua unsur tersebut, dalam artian Tuhan tidak terdiri dari unsur ‘āniyah maupun māhiyah. Maka Tuhan adalah Yang Tunggal secara hakiki (al-Waḥīd al-Ḥaqīqiyyah).[76] Pandangan ini sejalan dengan konsep teologi Mu’tazilah yang menafikan zat Allah dari sifat-sifat di luar zat-Nya itu.[77] Namun terkait pandangan Mu’tazilah bahwa Tuhan mengetahui dengan ilmu-Nya yang mana ilmu-Nya adalah zat-Nya (‘ālim bī ‘ilmihi wa ‘ilmuhu zātuhu), atau Tuhan berkuasa namun kuasa-Nya adalah zat-Nya (qādir bī qudratihi wa qudratuhu dzātuhu), al-Kindi tidak sependapat.[78] Sebab bagi al-Kindi dengan demikian artinya Tuhan memiliki hakikat, padahal menurut al-Kindi Tuhan tidak berhakikat, baik ‘āniyah maupun māhiyah.
Jika dipetakan, pokok pemikiran filsafat al-Kindi terkait zat dan sifat Tuhan berpusat pada pandangannya tentang keesaan Tuhan (waḥdaniyyah) dan keunikan atau berbedanya Tuhan dengan seluruh ciptaan (mukhalafah lī al-ḥawādits). Maka dalam berbagai karyanya, al-Kindi sering kali menekankan tentang keesaan Tuhan. Seperti dalam Fī al-Falsafah al-Ūlā , al-Kindi menyatakan:
أنَ الواحد الحق ليس هو شيء من المعقلات ولا عنصر ولا جنس ولا نوع ولا شخص ولا فصل ولا خاصة ولا عرض عام ولا حركة ولا نفس ولا عقل ولا كل ولا جزء ولاجميع ولابعض ولا واحد بالإضافة إلى غير مثل واحد مرسل ولايقبل التكثير[79]
Maka dengan demikian Allah tidak punya jenis, spesies, klasifikasi, esensi, gerak, jiwa, akal, universal, partikular, keseluruhan, sebagian atau pun sandaran (idhāfah).[80] Bagi al-Kindi, esensi Tuhan tidak dapat diketahui, maka untuk menjelaskan tentang Tuhan hanya bisa dilakukan dengan ungkapan negasi. Sebab yang dapat diketahui hanyalah apa yang ada selain Tuhan yang sama sekali berbeda dari Tuhan.
Argumen al-Kindi ini menggunakan pengandaian logis bahwa andaikan ada Tuhan lebih dari satu, maka mereka tentu majemuk (composite) dan berganda (multiple). Hal ini karena tentu mereka memiliki satu sifat umum sebagai sebab pertama (first agents) dan juga sifat pembeda antara satu sama lain. Jika demikian artinya masing-masing Tuhan memiliki lebih dari satu atribut, yaitu satu atribut untuk bersama dan atribut lainnya sebagai pembeda. Jika demikian artinya mereka majemuk sehingga butuh pendahulu, dan ini berarti Tuhan membutuhkan Tuhan. Pendahulu tersebut mungkin saja plural atau tunggal, jika plural maka ia butuh pendahulu, begitu seterusnya, dan ini tidak mungkin.[81] Maka yang benar menurut al-Kindi penyebab pertama pasti satu, tidak plural dan berbeda dari yang lainnya.
Penciptaan Alam Semesta
Selain membahas tentang zat dan sifat Tuhan, dalam filsafat ketuhanannya, al-Kindi juga membahas bagaimana Tuhan menciptakan alam semesta (binā’ al-‘ālam). Menariknya, jika dalam pembuktian eksistensi Tuhan maupun tentang sifat Tuhan, al-Kindi terlihat sepakat dengan pandangan filsuf Yunani, namun terkait penciptaan alam al-Kindi justru berbeda pandangan. Sebagaimana penjelasan George Atiyeh, para filsuf Yunani, mulai dari Plato, Aristoteles, hingga Plotinus sepakat bahwa alam semesta tercipta dari sesuatu bahan yang ada (creatio ex materia), baik lewat proses gerakan atau emanasi.[82] Konsekuensi dari teori ini, bagi para filsuf tersebut alam bersifat kekal (qadīm/azalīy), sebab gerak atau emanasi Tuhan adalah kekal (qadīm/azalī). Oleh sebab itu bagi para filsuf Tuhan tidak disebut pencipta, namun penggerak. Aristoteles misalnya menyebutkan bahwa Tuhan adalah Sang Penggerak yang tak tergerakkan (Unmover Mover), sebab jika Tuhan bergerak, menurut Aristoteles artinya Tuhan relatif.[83]
Al-Kindi menolak pandangan tersebut. Baginya, Tuhan adalah Pencipta alam semesta dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Al-Kindi menyatakan bahwa penciptaan dari ketiadaan merupakan keistimewaan Tuhan, karena Tuhan merupakan sebab yang sejati dari seluruh realitas alam semesta.[84] Berangkat dari pandangan ini, Al-Kindi juga meyakini bahwa alam semesta tidak kekal. Bagi al-Kindi, alam semesta memiliki permulaan dan akhir, sebab hanya Tuhanlah yang kekal (azalī). Terkait hal ini, upaya al-Kindi untuk menunjukkan ketidakabadian alam semesta dan penciptaannya dalam waktu terdiri dari premis-premis berikut. 1) Semua yang kuantitatif (yang meliputi tubuh, waktu, dan gerak) adalah terbatas (mutanāhī/finite). 2) Tetapi waktu adalah ukuran keberadaan tubuh alam semesta. 3) Oleh karena itu, alam semesta memiliki durasi yang terbatas, artinya, ia harus memiliki awal temporal sehubungan dengan keberadaannya. 4) Tetapi wujud alam semesta tidak mungkin menjadi penyebab keberadaannya sendiri. 5) Oleh karena itu, ia disebabkan oleh yang lain, dalam waktu, dan dari ketiadaan.[85] Pandangan al-Kindi ini sejalan dengan pandangan para teolog pada umumnya.[86] Hanya saja, berbeda dengan teolog yang cenderung mendahulukan argumentasi wahyu dari akal, al-Kindi membangun argumentasinya berdasarkan penalaran filsufis.
Penalaran filsufis al-Kindi untuk membuktikan tidak kekalnya alam didasarkan pada prinsip-prinsip logika Aristoteles. Terdapat dua prinsip logika Aristoteles yang dikembangkan oleh al-Kindi, pertama, bahwa sesuatu yang tidak terbatas tidak dapat berubah menjadi terbatas yang berwujud dalam bentuk aktual. Kedua, bahwa materi, waktu, dan gerak muncul secara serentak dan bersamaan.[87] Dua prinsip tersebut menjadi postulat bagi al-Kindi dalam membangun kekuatan argumentasinya yang meliputi tiga rumusan argumentatif. Pertama, apabila dikatakan bahwa alam semesta tidak terbatas, maka konsekuensinya harus dikatakan pula bahwa wujud aktual dari alam semesta ini juga tidak terbatas. Namun ini bertentangan dengan prinsip pertama logika Aristoteles tadi bahwa wujud aktual adalah terbatas. Kedua, jika wujud alam semesta yang diasumsikan tidak terbatas ini diambil sebagiannya, maka sisanya akan menjadi problematik antara terbatas dan tidak terbatas. Ketiga, apabila sebagiannya yang diambil tadi dikembalikan kembali, hasilnya adalah sebagaimana sebelumnya. Namun ini mengindikasikan ada sesuatu yang tidak terbatas (keseluruhan) lebih besar dari sesuatu yang tidak terbatas lainnya (bagian), dan ini sangat tidak masuk akal.[88] Perbedaan konsepsi al-Kindi dengan para filsuf Yunani ini mengindikasikan bahwa al-Kindi telah membangun konsep filsafatnya sendiri yang tidak sama dengan filsuf Yunani. Alkindi, sebagaimana para cendekiawan Muslim lainnya, tidak hanya sekadar menerjemahkan karya-karya para ilmuwan Yunani tanpa memprosesnya lebih lanjut. Melainkan, mereka mengadaptasinya sehingga masuk ke dalam lingkungan pandangan hidup Islam. Artinya, tidak semua konsep Yunani diterima, ada proses seleksi, pemurnian, modifikasi dan reformulasi konsep.[89]
Catatan Penutup
Berdasarkan kajian terkait konsep ketuhanan al-Kindi di atas, dapat diketahui bahwa asumsi yang mengatakan bahwa al-Kindi hanya menerjemahkan filsafat Yunani ke bahasa Arab atau hanya menduplikasikannya ke dunia Islam adalah asumsi yang keliru. Sebab terbukti bahwa al-Kindi telah melakukan langkah yang lebih jauh daripada itu. Fakta bahwa al-Kindi banyak mengambil pemikiran filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles adalah benar. Namun al-Kindi tidak mengambil pemikiran mereka sebagai bahan jadi yang diterima begitu saja (taken for granted), akan tetapi al-Kindi menjadikan pemikiran mereka sebagai landasan teori untuk dikembangkan lebih jauh. Tidak jarang al-Kindi juga melakukan kritik dan menganulir pandangan para filsuf Yunani tersebut pada suatu aspek tertentu.
Dengan kata lain, Al-Kindi telah melakukan pembaruan filsafat dalam konteks Islam. Misalnya dalam membuktikan eksistensi Tuhan, al-Kindi menggunakan argumentasi kebaruan alam (dalīl al-ḥudūts) yang mana ini bertentangan dengan pemikiran para filsuf Yunani. Argumentasi al-Kindi justru lebih dekat dengan pemikiran para teolog muslim terutama kalangan Mu’tazilah. Begitu juga terkait persoalan penciptaan alam semesta oleh Tuhan, di mana al-Kindi lebih cenderung mendukung teori penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo) yang sesuai dengan doktrin Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemikiran filsafat al-Kindi adalah wajah baru dari filsafat Yunani. Al-Kindi telah melakukan adaptasi dalam konteks pemikiran, yaitu dengan melakukan penyegaran dan pemurnian filsafat Yunani sebelum menyebarkannya di dunia Islam.[]
[1] Sulhatul Habibah, “Filsafat Ketuhanan Al-Kindi,” El-Ilmi: Jurnal Studi Keagamaan, Pendidikan Dan Humaniora 7, no. 1 (2020): 20.
[2] Lihat: Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Rasāil Al-Kindī Al-Falsafīyyah, ed. Muhammad Abdul Hadi Abu Ridah (Kairo: Dar al-Fikr, 1999); George N. Atiyeh, Al-Kindi: The Philosopher of Arabs (Islamabad: Islamic Reasecrh Institute, 1985); Peter S Groff, Islamic Philosophy A – Z (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2007).
[3] Peter Adamson, Al-Kindi: Great Medival Thinkers (New York: Oxford University Press, 2007).
[4] Jumrohtul Wahda, “Filsafat Al-Kindi Dalam Memahami Teologi,” Jurnal Manthiq IV, no. 1 (2019): 41.
[5] Muhammad al-Hadi Abu Raidah, Al-Kindī Wa Falsafatuhu (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1950), 1.
[6] Para sejarawan sepakat bahwa al-Kindi lahir tahun 801 M, hanya saja terkait tahun wafatnya al-Kindi para sejarawan berselisih pendapat. Lihat Taqiy al-Syaikh Ridho, Sīrah Ya’qub Ibn Ishaq Al-Kindī Wa Falsafatuhu (Baghdad: Matba’ah Sulaiman al-A’talimiy, 1962), 37.
[7] Taqiy al-Syaikh Ridho, 19.
[8] Adamson, Al-Kindi: Great Medival Thinkers, 4.
[9] Muhammad Jabar, Manzilah Al-Kindī Fī Al-Falsafah Al-’Arabiyyah (Damaskus: Dar Dimasqa, 1993), 14.
[10] Taqiy al-Syaikh Ridho, Sīrah Ya’qub Ibn Ishaq Al-Kindī Wa Falsafatuhu, 22.
[11] Mustafa Abduraziq Basya, Filsūf Al-’Arab Wa Al-Mu’alim Al-Tsāni (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1945), 19.
[12] Felix Klein-Franke, “Al-Kindi,” in History of Islamic Philosophy, ed. Seyyed Hosein Nasr and Oliver Leaman (New York: Routledge, 2007), 168.
[13] Adamson, Al-Kindi: Great Medival Thinkers, 4.
[14] Taqiy al-Syaikh Ridho, Sīrah Ya’qub Ibn Ishaq Al-Kindī Wa Falsafatuhu, 44.
[15] S. Hamarneh, “Al-Kindi, A Ninth-Century Physician, Philosopher, and Scholar,” Medical History 9, no. 4 (1965): 330, https://doi.org/10.1017/S0025727300030982.
[16] Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology and Mysticism (Oxford: One World, 2000), 24.
[17] Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, American Journal of Islamic Social Sciences (New York: Columbia University Press, 2004), 68.
[18] Peter Adamson, “Al-Kindī and the Mu’tazila: Divine Attributes, Creation and Freedom,” Arabic Sciences and Philosophy 13, no. 1 (2003): 47, https://doi.org/10.1017/S0957423903003035.
[19] Ibn Nadim, Al-Fihrits (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2001).
[20] Al-Qadhi Shaid bin Ahmad Al-Andalusi, Thabaqāt Al-Umam (Kairo: Muhammad Muhammmad Mathar, n.d.).
[21] Zahiruddin Al-Baihaqi, Tatimāt Shafwan Al-Ḥikmah Aw Tārīkh Ḥukamā’ Al-Islām (Paris: Dar Babylon, n.d.).
[22] Jamaluddin Al-Qafati, Akhbār Al-’Ulamā’ Bī Akhbār Al-Ḥukamā’ (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 2005).
[23] Riddah, Al-Kindī Wa Falsafatuhu, 3–4.
[24] Nadim, Al-Fihrits, 365.
[25] Groff, Islamic Philosophy A – Z, 121.
[26] Taqiy al-Syaikh Ridho, Sīrah Ya’qub Ibn Ishaq Al-Kindī Wa Falsafatuhu, 63–77.
[27] M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, ed. M.M. Sharif (Kempten: Otto Harrassowitz, 1963), 423.
[28] Klein-Franke, “Al-Kindi,” 311.
[29] Al-Qafati, Akhbār Al-’Ulamā’ Bī Akhbār Al-Ḥukamā’, 275.
[30] Nadim, Al-Fihrits, 255.
[31] Atiyeh, Al-Kindi: The Philosopher of Arabs, 10.
[32] Atiyeh, 12.
[33] Jules Janssens, “Al-Kindi’s Concept of God,” Ultimate Reality and Meaning 17, no. 1 (1994): 4.
[34] Redmond Gerard Fitzmaurice, “Al-Kindi on Psychology” (McGill University, 1971), 122.
[35] Therese-Anne Druart, “Al-Kindi ’ S Ethics,” Review of Metaphysics 47, no. 2 (1993): 338.
[36] Delphine Antoine-mahut, “Eclecticism and Its Discontents Delphine Antoine-Mahut,” in The Oxford Handbook of Modern French Philosophy, ed. Mark Sinclair and Daniel Whistler (Oxford: Oxford University Press, n.d.), 7.
[37] Atiyeh, Al-Kindi: The Philosopher of Arabs, 12.
[38] Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Rasāil Al-Kindī Al-Falsafīyyah, 202.
[39] Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, 360.
[40] Ibn Sa’id, Tabaqāt Al-Umam (Kairo: Maktabah al-Sa’adah, 1912), 52.
[41] Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Rasāil Al-Kindī Al-Falsafīyyah, 97.
[42] Al-Kindi, Kitāb Al-Kindī Ilā Al-Mu’tashim Billah Fī Falsafah Al-Ūlā, 77.
[43] Terjemahannya: “Kita hendaknya tidak merasa malu untuk mengakui sebuah kebenaran dan mengambilnya dari mana pun dia berasal, meski dari bangsa-bangsa terdahulu ataupun dari bangsa asing. Bagi para pencari kebenaran, tidak ada yang lebih berharga kecuali kebenaran itu sendiri. Mengambil kebenaran dari orang lain tersebut tidak akan menurunkan atau merendahkan derajat sang pencari kebenaran, tetapi justru menjadikannya terhormat dan mulia.” Lihat: Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Rasāil Al-Kindī Al-Falsafīyyah, 103.
[44] Abu Isa Al-Tirmidzi, Sunan Al-Tirmidzī (Beirut: Dar Gharb al-Islamiy, 1998), vols. 5, 51, no.2687. Hadis ini statusnya sangat lemah dari segi sanadnya, namun secara makna hadis ini shaḥih sebagaimana penjelasan dari Lajnah Da’imah Saudi Arabia. Lihat: Lajnah Da’imah li al-Buhuts al-‘ilmiyyah wa Al-Ifta’, Fatawa Lajnah Da’imah Li Al-Buḥuts Al-‘Ilmiyyah Wa Al-Ifta’, ed. Ahmad bin Abdurrazaq Al-Duwaisy (Riyadh: Dar al-Muayid, 2008), vol. 26, 357.
[45] Al-Kindi, Kitāb Al-Kindī Ilā Al-Mu’tashim Billah Fī Falsafah Al-Ūlā (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1948).
[46] Tuomas E Tahko, “Metaphysics as the First Philosophy,” in Aristotle on Method and Metaphysics (New York: palgrave Macmillan, 2013), 3, https://doi.org/10.1057/9781137367907.
[47] Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Rasāil Al-Kindī Al-Falsafīyyah.
[48] Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 71.
[49] Janssens, “Al-Kindi’s Concept of God,” 4.
[50] Sharif, A History of Muslim Philosophy, 428.
[51] Atiyeh, Al-Kindi: The Philosopher of Arabs.
[52] Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Rasāil Al-Kindī Al-Falsafīyyah, 215.
[53] Al-Kindi, Kitāb Al-Kindī Ilā Al-Mu’tashim Billah Fī Falsafah Al-Ūlā, 128.
[54] Muhammad Abdurrahman Marhaban, Al-Kindī Falsafatuhu-Muntakhabāt (Beirut: Mansyurat Awidat, 1985), 91.
[55] Al-Kindi, Kitāb Al-Kindī Ilā Al-Mu’tashim Billah Fī Falsafah Al-Ūlā, 121.
[56] Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Rasāil Al-Kindī Al-Falsafīyyah, 123.
[57] Marhaban, Al-Kindī Falsafatuhu-Muntakhobāt, 91–92.
[58] Atiyeh, Al-Kindi: The Philosopher of Arabs, 58.
[59] Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Rasāil Al-Kindī Al-Falsafīyyah, 249–250. Penjelasan lebih rinci terkait konsep penciptaan alam akan dipaparkan pada poin pembahasan selanjutnya.
[60] Marhaban, Al-Kindī Falsafatuhu-Muntakhobāt, 92.
[61] Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Rasāil Al-Kindī Al-Falsafīyyah, 142.
[62] Marhaban, Al-Kindī Falsafatuhu-Muntakhobāt, 93.
[63] Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Rasāil Al-Kindī Al-Falsafīyyah, 143.
[64] Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, 142–143.
[65] Marhaban, Al-Kindī Falsafatuhu-Muntakhobāt, 95.
[66] Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Rasāil Al-Kindī Al-Falsafīyyah, 174. Argumen ini juga terdapat dalam Marcus Tullius Cicero, On The Nature of God, ed. Poteat (Chicago: Jazzybee Verlag, 1950), 7.
[67] Marhaban, Al-Kindī Falsafatuhu-Muntakhobāt, 96.
[68] Terjemahannya: “Sesungguhnya susunan alam dan keteraturannya yang mengagumkan, di mana setiap bagian selaras dengan bagian lainnya, beberapa bagian tunduk pada pengaturan bagian lainnya; juga pengaturannya yang sempurna, di mana yang terbaik selalu terpelihara dan yang terburuk senantiasa terbinasakan, semua adalah petunjuk yang paling baik dan jelas tentang adanya sistem pengaturan yang sangat cerdas, yang dengan demikian menunjukkan adanya Sang Maha Pengatur yang sangat cerdas ”. Lihat: Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Rasāil Al-Kindī Al-Falsafīyyah, 215.
[69] Mohd Radhi Ibrahim, “Hubungan Antara Dhat Dan Sifat Allah SWT Menurut Para Mutakallimun,” AFKAR : Journal of Aqidah and Islamic Thought 2, no. 1 (2001): 4.
[70] Ibn Al-Murtada, Al-Munyah Wa Al-’Amal, ed. ’Isam al-Din Muhammad Ali (Iskandariyyah: Dar al-Ma’rifah al-Jami’iyyah, 1985), 13.
[71] Al-Murtada, 13.
[72] ’Abd Al-Jabbar, Al-Muḥīt Bī Al-Taklīf (Kairo: Dar al-Fikr, 1965), 172.
[73] Al-Qadhi ‘Abdul Jabbar, Syarḥ Ushūl al-Khamsah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), 183.
[74] Al-Syahrastani, Nihāyah Al-’Aqdam Fī ‘Ilm Al-Kalām (London: Dar al-Fikr, 1934), 180.
[75] Atiyeh, Al-Kindi: The Philosopher of Arabs, 59.
[76] Marhaban, Al-Kindī Falsafatuhu-Muntakhobāt, 93.
[77] Marhaban, 99.
[78] Adamson, “Al-Kindī and the Mu’tazila: Divine Attributes, Creation and Freedom,” 56.
[79] Terjemahannya: “Allah (al-Waḥīd al-Ḥaqq) bukanlah sesuatu dari yang dapat dipahami, bukan suatu elemen, atau jenis kelamin, atau spesies, atau orang, atau pemisahan, atau kekhususan, atau presentasi umum, atau gerakan, atau jiwa, atau akal, atau keseluruhan, atau bagian , tidak seluruhnya, atau sebagian, tidak juga selain yang serupa dengan yang dikirim dan tidak menerima perkalian.” Al-Kindi, Kitāb Al-Kindī Ilā Al-Mu’tashim Billah Fī Falsafah Al-Ūlā, 140.
[80] Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Rasāil Al-Kindī Al-Falsafīyyah, 153, 161–162.
[81] Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, 207.
[82] Atiyeh, Al-Kindi: The Philosopher of Arabs, 50.
[83] B. A. G. Fuller, “The Theory of God in Book A of Aristotle ’ S Metaphysics,” Philosophical Review 16, no. 2 (1907): 172.
[84] Al-Kindi, Kitāb Al-Kindī Ilā Al-Mu’tashim Billah Fī Falsafah Al-Ūlā, 121.
[85] Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Rasail Al-Kindi Al-Falsafiyah, 202–206. Lihat juga: Kevin Staley, “Al-Kindi on Creation: Aristotle’s Challenge to Islam,” Journal of the History of Ideas 50, no. 3 (1989): 360, https://doi.org/10.2307/2709566.
[86] Adamson, “Al-Kindī and the Mu’tazila: Divine Attributes, Creation and Freedom,” 66.
[87] Atiyeh, Al-Kindi: The Philosopher of Arabs, 52.
[88] Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Rasāil Al-Kindī Al-Falsafiyah, 202–209.
[89] Hamid Fahmy Zarkasyi, “Framework Kajian Filsafat Islam”, Tsaqafah, Vol. 2 (2), 2006: 287.