Konsep Ta’dib al-Attas: Mengembalikan Adab dalam Pendidikan Islam

Pada Januari 2024 lalu, dilansir dari Kompas.com, Forum Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan (Fortadik) menyelenggarakan rapat kerja terkait tema “Membangun Sinergitas Jelang Transisi Pemerintahan” di Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Jakarta. Raker yang turut dihadiri oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Kemendikbud Ristek ini menyoroti tujuh isu di dunia pendidikan terkini, yaitu tingkat literasi yang rendah, kekerasan di satuan pendidikan, penyelesaian guru honorer, pengembangan keterampilan guru, peningkatan kualitas anggaran pendidikan, dana abadi kebudayaan, dan transisi ke dunia kerja.

Dari tujuh hal yang menjadi catatan mengenai isu-isu pendidikan tersebut memang perlu ditemukan solusi terbaiknya. Hanya saja, sebelum mencoba menyelesaikannya, hal yang tidak kalah penting untuk dipertimbangkan terlebih dahulu adalah apakah hal tersebut yang benar-benar menjadi inti atau permasalahan mendasar yang ada di dalam tubuh pendidikan? Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas memandang bahwa akar permasalahan yang menjadi pangkal, bahkan bukan hanya di dunia pendidikan akan tetapi juga bidang-bidang lainnya, adalah terletak pada sesuatu yang lebih mendasar, yaitu masalah ilmu. Umat Islam hari ini dinilai telah kehilangan adab dalam berilmu, dalam mencari ilmu, mengajarkan, mengamalkan, dan mengembangkannya.[1]

Pada Seminar Pendidikan Islam Internasional di Mekah tahun 1977, terdapat bahasan yang paling menonjol, yaitu satu konsep pendidikan yang dirumuskan oleh al-Attas sebagai konsep ta’dib. Konsep ini lahir dari refleksi mendalam al-Attas mengenai bahaya sekularisasi yang berasal dari Barat dan menyebar luas pada umat Muslim. Al-Attas kemudian merumuskan solusinya dengan merujuk pada tradisi keilmuan Islam yang berlandaskan pada worldview Islam. Prof. Al-Attas dalam bukunya The Concept of Education In Islam; a Framework for an Islamic Philosophy of Education, menuliskan:

Since in Islam the purpose of seeking knowledge is ultimately to become a good man, as we have described and not a good citizen of a scholar state. The system of education must in Islam reflect man and not the state the highest and most perfect embodiment of educational system is the university;and since it is of the highest and most perfect systematization of knowledge designed to reflect the universal, it must also be a reflection not just of any man, but of the Universal of Perfect Man (al-insan al-kamil).

[Karena dalam Islam, tujuan mencari ilmu pada akhirnya adalah untuk menjadi manusia yang baik, seperti yang telah kami jelaskan, dan bukan menjadi warga negara yang baik dari sebuah negara yang cendekiawan. Sistem pendidikan dalam Islam harus mencerminkan manusia dan bukan negara. Perwujudan tertinggi dan paling sempurna dari sistem pendidikan adalah universitas, dan karena ia adalah sistematisasi pengetahuan tertinggi dan paling sempurna yang dirancang untuk mencerminkan universal, ia juga harus menjadi cerminan bukan hanya manusia, tetapi juga manusia sempurna yang universal (al-insan al-kamil)][2]

Al-Attas mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan atau menuntut ilmu dalam Islam adalah untuk menjadi manusia yang baik dan bukan hanya seorang warga negara yang baik (a good citizen). Hal ini bermakna bahwa seorang warga negara yang baik belum tentu merupakan pribadi muslim yang baik sesuai dalam syariat Islam. Misalnya saja seseorang dianggap sudah berhasil menjadi warga negara yang baik dengan mentaati peraturan atau undang-undang negara tidak peduli jika di luar itu ia melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar syariah. Seseorang bisa saja taat membayar pajak, taat lalu lintas, taat birokrasi namun di lain kesempatan ia mabuk-mabukan dan berpacaran. Sistem pendidikan di dalam Islam harus mencerminkan manusia bukan negaranya. Bentuk perwujudan tertinggi dan paling sempurna dari sistem pendidikan adalah universitas. Universitas merupakan bagian sistematisasi pengetahuan tertinggi dan paling sempurna yang dirancang untuk mencerminkan yang universal, ia harus mencerminkan bukan hanya pada manusia manapun akan tetapi manusia universal yang sempurna atau insan kamil.

Oleh karena itu tujuan pendidikan menurut al-Attas adalah untuk menghasilkan manusia baik dan fundamental, sebab manusia yang baik akan menjadi warga negara yang baik dan tidak berlaku rumusan sebaliknya. Ultimately to become a good man dapat dicapai melalui penanaman adab dalam diri seorang muslim dan itulah hakikat dari Pendidikan yang harus menjadi fokus utama bagi seluruh sekolah dan kampus secara khusus. Jika proses penanaman adab dapat diimplementasikan dengan baik maka akan lahir sumber daya manusia beradab yang menjadi kunci keberhasilan perubahan yang lebih baik. Pendidikan dengan penanaman adab yang dimaksud al-Attas bukan hanya sebatas pengajaran sopan santun semata akan tetapi lebih dari itu ialah menanamkan prinsip kepada peserta didik untuk menjadi manusia berdisiplin dalam badan, pemikiran dan jiwanya. Seorang yang beradab menurut al-Attas adalah yang dengan baik memahami dan memperlakukan dirinya dan sekitarnya secara adil atau menempatkan sesuatu sesuai dengan posisi semestinya.

Pendidikan untuk melahirkan manusia yang baik atau beradab lebih fundamental dari sebatas mendidik untuk mengahasilkan warga negara yang baik. Sebabnya adalah sifat keuniversalan manusia dan tidak dengan negara yang bisa saja berganti-ganti nilai ataupun kondisinya sesuai dengan yang dimaui oleh pemimpinnya yang juga berubah-ubah. Seorang muslim yang baik senantiasa menggantungkan loyalitas tertingginya pada Allah swt dan bukan pada negaranya. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh pendidikan sekuler di mana manusia dipaksa untuk merumuskan nilai-nilai dalam hal bernegara saja tidak peduli bagaimana kondisi badan, jiwa, dan sekitar seseorang selagi bisa menduduki posisi tertentu dalam negara dan meraih pekerjaan yang tertentu juga. Padahal tidak menutup kemungkinan seorang warga negara yang baik sekaligus menjadi tiran yang sadis seperti Nazi Jerman misalnya.

Penerapan konsep ta’dib yang dicetuskan oleh al-Attas dapat dilakukan hanya setelah epistemologi Islam benar-benar dipahami dengan baik. Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas mengenai ilmu, sehingga dikenal juga sebagai theory of knowledge. Epistemologi bertujuan untuk menganalisis proses perolehan ilmu, sehingga pertama-tama memang harus diketahui di mana proses tersebut dimulai dan kapan harus berakhir.[3] Proses epistemologi sendiri terjadi melalui tiga kerangka pikir (mental frameworks). Kerangka pertama adalah terbentuknya pandangan alam (worldview) dari para ilmuwan. Kedua, terbentuknya scientific conceptual scheme atau disebut konteks (context) ilmu. Ketiga, adalah technical vocabularies atau perbendaharaan kata teknis dan pandangan (outlook) dari jaringan konsep-konsep keilmuan yang spesifik.[4]

Di dalam buku Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,Wan Mohd Nor Wan Daud, selaku chairholder pemikiran al-Attas, menuliskan bahwa al-Attas mendefinisikan ilmu sebagai tibanya makna ke dalam jiwa bersamaan dengan tibanya jiwa kepada makna, yang pada gilirannya menghasilkan hasrat serta kehendak diri. Tibanya “makna ke dalam jiwa” berarti Tuhan sebagai sumber asal ilmu, sementara tibanya “jiwa kepada makna” merujuk kepada jiwa sebagai penafsirnya. Artinya ilmu adalah kesatuan antara orang yang mengetahui (subjek ilmu) dengan yang diketahui (objek ilmu).

Konsep ta’dib ini dapat dikatakan berhasil diterapkan dalam sebuah institusi yang didirikan oleh al-Attas sendiri, baik dari segi fisik maupun ruhnya. Keberhasilan penerapan ini terlihat dari kurikulum yang telah melahirkan alumni kompeten di bidangnya. Meskipun ISTAC baru berusia kurang dari dua dasawarsa, di Indonesia kita dapat menyaksikan betapa obor keilmuan al-Attas kian bersinar melalui kegemilangan alumninya yang secara serius menyebarkan pemahaman gurunya tersebut. Beberapa alumni ISTAC asal Indonesia yang diakui ketokohannya di masyarakat dan telah banyak meluaskan corak berpikir al-Attas antara lain Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, Assoc. Prof. Dr. Syamsuddin Arif, Assoc. Prof. Dr. Ugi Suharto, Dr. Adian Husaini, dan Dr. Arifin Ismail.

Peran murid-murid al-Attas kemudian melahirkan berbagai institusi dan komunitas keilmuan yang secara konsisten membahas gagasan al-Attas. Contoh-contoh institusi tersebut meliputi INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations, Jakarta), InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam, Surabaya), NuuN (Depok), Yayasan Bentala Tamadun Nusantara (Yogyakarta), PIMPIN (Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan, Bandung), WAFI (Wacana Fikir Islam, Padang), ISTAID Center (Islamic Thought and Information for Da’wah, Medan), dan SEED Institute (Komunitas Pemikiran dan Peradaban Islam, Solo). Selain itu, terdapat juga sejumlah toko buku yang berafiliasi dengan pemikiran al-Attas dan menjadi pusat penjualan karya-karyanya di Indonesia, seperti Toko Buku Nuun, Kalibata Book Store, dan Lubukata. Di Barat, konsep ta’dib ini bahkan telah diadopsi menjadi pegangan kurikulum, seperti di Centre for Islamic Thought and Education di University of South di Australia dan Zaytuna College di California.

Konsep adab sebenarnya bukanlah konsep baru dalam dunia pendidikan Islam. Adab sebagai inti pendidikan dalam Islam telah dibahas dan diterapkan sejak masa Rasulullah saw, sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan masa ulama sesudahnya. Namun, di era modern ini, konsep adab sering kali dilupakan. Al-Attas berjasa mengingatkan kembali umat Islam akan pentingnya adab dalam pendidikan. Ia mengelaborasi istilah adab dan menghubungkannya dengan istilah-istilah kunci lainnya dalam Islam seperti hikmah, ilmu, dan adil.[5] Konsep ta’dib tidak hanya menjadi kerangka pendidikan yang tepat, tetapi juga berfungsi sebagai epistemologi pendidikan Islam yang berparadigma tauhid. Paradigma tauhid ini sangat sesuai dengan tujuan pendidikan Islam, sebagaimana Allah swt mendidik Rasulullah saw (ta’dib), sehingga Rasulullah saw menjadi manusia paripurna yang menumbuhkan dan memancarkan pijar peradaban di muka bumi. Dengan demikian, mengintegrasikan konsep adab dalam sistem pendidikan Islam bukan hanya menanamkan nilai-nilai penting yang telah lama ada, tetapi juga memastikan bahwa pendidikan Islam tetap relevan dan mampu membentuk individu yang berkarakter, berilmu, dan adil di tengah tantangan zaman.[]

Oleh: May Novita Astri (Peserta PKU Universitas Darussalam Gontor, angkatan ke-18)


[1] Adian Husaini, “Konsep Adab Dalam Falsafah Pendidikan Al-Attas,” ISLAMIA 11, no. 2 (2017).

[2] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999), 33.

[3] Alparslan Acikgenc, Scientific Thought and Its Burden, An Essay in the History and Philosophy of Science (Istanbul, 2000), 26.

[4] Acikgenc, 140.

[5] Muhammad Ardiansyah, Konsep Adab Syed Muhammad Naquib Al-Attas Dan Aplikasinya Di Perguruan Tinggi (Depok: At-Taqwa, 2020), 253.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *