Asimilasi Simbol Keagamaan: Antara Truth Claim, Toleransi, dan Pluralisme Agama di Indonesia

Pada tanggal 14 Desember 2021 silam, Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan mengeluarkan surat imbauan dalam nomor B-9379/kw.21.1/11 M.00/12/2021 agar seluruh instansi atau lembaga di bawah naungan kemenag memasang spanduk ucapan natal dan tahun baru. Hal ini tentu mengundang kontroversi. Pasalnya di bawah Kemenag yang masuk dalam imbauan tersebut adalah kepala MI, MTs, dan MA se-Sulawesi Selatan, yang notabene-nya lembaga pengajaran agama Islam.

Humas Kemenag Sulsel saat diwawancarai, ia mengatakan bahwa kementerian agama memang bukan kementerian agama Islam atau agama tertentu. Jadi tidak masalah menghimbau untuk mengucapkan ucapan selamat hari raya agama apapun. Alasan tersebut bermasalah, lantaran jika memang Kemenag bukan kementerian untuk agama tertentu, kenapa lembaga pengajaran Islam dihimbau untuk turut serta mengucapkan selamat pada hari raya agama lain? Alasan yang dipaksakan untuk sebuah himbauan yang juga dipaksakan.

Masalah di atas sejatinya tidak sesederhana mengucap atau tidak mengucap selamat. Permasalahan tersebut berjalan seiring dengan gelaran rebana dari pondok pesantren di Misa, muslimah-muslimah berjilbab yang ditambahi dengan atribut santa, romantisasi pernikahan beda agama, dll. Hal-hal tersebut menjadi citraan akan toleransi beragama. Dengan dalih toleransi, tidak boleh ada klaim agamanya yang paling benar. Semua agama benar, semua agama mengajarkan kebaikan, dan semuanya akan mengantarkan ke surga. Lalu apakah yang semacam ini toleransi yang sejati?

Problem Dalam Pemaknaan Toleransi

Pemaknaan toleransi antar umat beragama dewasa ini seakan mengalami pergeseran makna. Akibatnya toleransi cenderung dimaknai dengan mengakui kebenaran ajaran agama lain dengan dalih sosial (keselamatan atau kerukunan umat beragama), sehingga mengesampingkan bahkan menghilangkan kebenaran agama sendiri untuk menghargai antar agama lain.[1] Hal semacam ini kemudian membuat toleransi justru seakan mengarah pada relativisme. Atas nama toleransi seseorang tidak diperbolehkan mengklaim hanya agamanya yang benar dan yang lain salah.

Alasannya adalah karena kebenaran mutlak (absolut) hanya milik Tuhan saja[2] dan tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia.[3] Sehingga agama tidak lagi berhak mengklaim mempunyai kebenaran absolut, ia hanya difahami sama dengan persepsi manusia sendiri yaitu relatif.[4] Bentuk toleransi dengan pemahaman seperti inilah yang dimaksudkan kaum pluralis, karena dalam perkembangannya toleransi dalam perspektif Barat bukan lagi “menahan perasaan terhadap perbedaan atas dasar perbedaan” namun sekarang sudah berubah arti menjadi “menahan perasaan terhadap perbedaan-perbedaan atas dasar bahwa perbedaan adalah sebuah nilai positif”.

Truth Claim (Klaim Kebenaran) Agama-Agama

Pandangan umum yang sepakat mengenai klaim kebenaran (truth claim) dalam agama menyatakan bahwa sebagai penganut agama, penting untuk mengakui hubungan yang erat antara kepercayaan dan klaim kebenaran. Agama tanpa klaim kebenaran dapat diibaratkan seperti pohon tanpa buah. Klaim kebenaran inilah yang kemudian disebut sebagai dogma oleh Alfred N. Whitehead atau aspek transenden (transcendence aspect) oleh Fazlur Rahman. Tanpa adanya hal ini, agama yang seharusnya bersifat form of life yang distinctive justru akan kehilangan kekuatan simboliknya yang khas.

Menurut Whitehead, baik dalam agama maupun ilmu pengetehuan, truth claim berupa dogma adalah sah. Dogma dalam agama merumuskan kebenaran pengalaman beragama, sedang dogma dalam ilmu pengetahuan mengungkap kebenaran pengamatan rasional.[5] Klaim kebenaran (truth claim) bagi suatu agama adalah sesuatu yang alami atau natural. Lebih dari itu ia merupakan esensi jati diri sebuah agama. Oleh karena itu solusi apapun yang dimaksud untuk menyelesaikan problem pluralitas klaim kebenaran yang saling bertentangan (conflicting truth claim) tidak boleh menggangu keunikan dan eksklusivitas ini, baik dengan cara reduksi, distorsi atau relativisasi, apalagi dengan negasi. Sebab hal ini akan membunuh karakter atau jati diri agama itu sendiri.

Sebagai contoh, klaim kebenaran agama dapat dilihat dalam keyakinan orang-orang Yahudi, yang menganggap diri mereka sebagai “manusia pilihan Tuhan” dan perantara Tuhan untuk menyampaikan wahyu kepada manusia. Untuk menjadi Yahudi, orang harus mempunyai hubungan khusus dengan Tuhan. Dalam kepercayaan Kristen juga begitu. Yesus Kristus dianggap sebagai fondasi dan pusat agama. Keyakinan ini menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan yang menjelma dalam bentuk manusia. Dogma ini merupakan hasil sejarah alami bagi umat Kristen yang meyakini bahwa agama mereka adalah satu-satunya yang benar, dibangun oleh Tuhan sendiri, dan sebagai akibatnya, semua orang mengikuti jalan menuju Tuhan. Keyakinan berupa hanya melalui penerimaan ajaran dan kehadiran Yesus sebagai Tuhan semacam inilah bentuk dari klaim kebenaran.

Dalam agama Islam, klaim kebenaran diyakini dengan tegas. Keyakinan ini menyatakan bahwa Muhammad ﷺ adalah Nabi yang diutus oleh Tuhan, dan melalui al-Qur’an, Tuhan memberikan wahyu kepada manusia mengenai kebenaran agama Islam. Ditegaskan bahwa Islam adalah agama yang paling benar, di mana segala bentuk penyembahan harus ditujukan hanya kepada Allah, dan penyembahan selain-Nya dianggap sebagai syirik.[6]

Di sinilah persoalan klaim kebenaran dan keaslian itu berlaku bagi semua agama, dan klaim kebenaran ini tidak memberikan alternatif lain apa pun. la tidak memberikan konsesi sedikit pun dan tidak mengenal kompromi. la memandang kebenaran (truth) secara hitam-putih. Klaim kebenaran absolut ini secara umum terdapat di setiap agama, namun ia terepresentasikan secara demonstratif oleh agama-agama Semitik: Yudaisme, Kristen, dan Islam, yang mana masing-masing saling mengklaim diri yang benar. Dan klaim eksklusivitas dan absolutisme kebenaran ini kemudian ditopang dengan konsep yuridis tentang “keselamatan” (juridical concept of salvation), di mana masing-masing agama tersebut mengklaim diri sebagai satu-satunya “ruang soteriologis” (soteriological space) yang hanya di dalamnya, atau “jalan soteriologis” (soteriological way) yang hanya melaluinya, manusia dapat mendapatkan keselamatan (salvation)/kebebasan (liberation)/pencerahan (enlightenment).[7]

Dari Toleransi ke Pluralisme Agama

Tampaknya nilai-nilai kemanusiaan yang paling krusial dan paling banyak dieksploitasi pada zaman modern ini adalah toleransi. Hal tersebut terjadi karena hidupnya suatu pemerintahan demokratis mengandaikan adanya persamaan yang penuh (yang merupakan ruhnya demokrasi) antarindividu sebuah bangsa, terlepas dari ras, suku, aliran, agama maupun partai, baik dalam hak kewajiban (right and duty). Persamaan penuh ini pada gilirannya nanti meniscayakan hadirnya sikap toleransi.

Hanya saja, toleransi yang dilahirkan dari rahim demokrasi modern sendiri tidak sebagaimana yang dikenal dalam ajaran-ajaran agama.[8] Pasalnya, toleransi ala ajaran agama justru dianggap tertinggal dan tidak lagi relevan,[9] terutama jika berbicara pada konteks Indonesia dengan jargonnya Bhineka Tunggal Ika. Sehingga kemudian toleransi atau paradigma kerukunan beragama yang didasarkan pada landasan ajaran agama seakan perlu ditolak dan diganti dengan pluralisme agama sebagai alternatifnya.[10]

Menurut seorang tokoh pluralis Universitas Harvard, Diana L. Eck (pendiri dan direktur The Pluralism Project, Harvard University), bahwa toleransi itu suatu pondasi yang terlalu lemah dan tipis untuk menopang tegaknya bangunan perbedaan dan keragaman agama. Dengan kata lain, toleransi itu dianggap tidak cukup efektif untuk menjawab tantangan masyarakat modern yang pluralistik.[11] Inilah yang kemudian menjadi dasar gagasan untuk menggugat truth claim agama dengan dalih “toleransi” guna kerukunan antar umat beragama. Sebuah pluralisme berkedok toleransi dan kerukunan umat beragama.

Pluralisme Agama

Secara etimologis, Pluralisme Agama, terdiri dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Arab istilah tersebut diterjemahkan menjadi “at-ta’addudiyyah ad-diniyyah”. Adapun dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi “religious pluralism”. Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dibedakan terlebih dahulu antara dua kosa-kata yang sering dianggap sama dalam pemahaman banyak orang, yaitu (i) “pluralitas” (plurality), dan (ii) “pluralisme” (pluralism).

Kata “Pluralitas” mengacu pada “fakta” keragaman atau kemajemukan, sementara “Pluralisme” mengacu kepada suatu “respons” terhadap fakta keragaman atau kemajemukan tersebut.[12] Adapun Pluralisme Agama secara terminologi dapat dipahami sebagai “kondisi hidup bersama (koeksistensi) secara damai antaragama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap terpeliharanya ciri-ciri spesifik, karakteristik, atau ajaran masing-masing agama secara utuh”.[13]

Namun ternyata dari segi konteks, “Pluralisme Agama” sering digunakan teknis dalam studi-studi dan wacana-wacana sosio-ilmiah pada era modern sekarang, dan telah menemukan definisi dirinya yang sangat berbeda dengan definisinya semula (dictionary definition).[14] Salah seorang tokoh Pluralisme Agama yang cukup terkenal adalah John Hick. Dia mengatakan dan menegaskan bahwa sejatinya semua agama itu adalah manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, tidak ada satu agama pun yang secara otomatis lebih superior atau benar dibandingkan agama lainnya. Dengan kata lain pluralisme agama adalah sebuah paham atau cara pandang terhadap pluralitas agama, yang memandang semua agama sama benarnya dengan agama-agama lainnya.[15]

Paham serupa, yang mencerminkan pluralisme dan relativisme kebenaran, dapat dilihat dalam pendekatan dekonstruktif terhadap makna al-Qur’an oleh kalangan pluralis liberal di Indonesia. Sebagaimana yang diwakili oleh Budhy Munawar-Rachman, penulis buku Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Dalam pemikirannya, Islam diupayakan agar dipahami dan direlatifkan secara sejalan dengan nilai-nilai pluralisme agama. Padahal jika ditinjau melalui metodologi Islam, hal tersebut tidak dapat dibuktikan dan divalidasi secara ilmiah.

Maka tepat saja definisi pluralisme dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di dalam fatwa mereka disebutkan bahwa: “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama sama, dan karenanya kebenaran agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga”.[16]

Problem Plularisme Agama Dalam Toleransi

Dari pembahasan sebelumnya, terlihat bahwa pluralisme agama sering kali menekankan kata “toleransi” sebagai upaya menciptakan kerukunan antarumat beragama. Namun, dampak dari pluralisme ini mencakup risiko peleburan dan pencampuran ajaran, ritual, dan simbol agama dalam usaha menciptakan harmoni antaragama. Bahkan, hal tersebut dapat menimbulkan tingkat toleransi yang kebablasan dan berujung pada paham relativisme. Pluralisme agama yang menyakini dan mengakui kebenaran akan agama lain dengan mengatasnamakan “toleransi” antarumat beragama di dalamnya, berbeda dengan makna toleransi dalam perspektif Islam.

Islam telah memiliki konsep tasamuh yang tidak merusak kerukunan antarumat beragama untuk mengartikan toleransi. Tasamuh berarti mengakui, menghormati, dan menghargai keberadaan agama lain, dengan kata lain saling menghormati dan menghargai antara manusia satu dengan manusia lainnya. Toleransi ala Barat merupakan sikap menahan tanpa protes, baik dalam hal kebaikan maupun keburukan. Baik dalam hal sosial maupun keyakinan. Sedangkan tasamuh memberi kemudahan kepada orang lain dengan tanpa mengusik keimanan umat Islam.

Islam telah memiliki konsep hanifiyah as-samhah untuk memberikan solusi teologis rasional dan manusiawi. Di mana setiap pemeluk agama menikmati pemerintahan “otonomi” sesuai dengan keyakinan masing-masing. Dengan demikian, Islam justru telah menghadirkan dan memberikan konsep “yang paling maksimal” kepada agama lain yang tidak ada bandingannya dalam sejarah.

Akar permasalahan dari pluralisme agama terletak pada upaya mereka untuk mencampuradukkan ritual maupun simbol keagamaan dari satu agama ke agama lainnya. Tujuan utama dari pluralisme seolah-olah mengarah pada pengikisan ajaran dan keyakinan agama, menyebabkan pemeluknya mengadopsi pandangan relatif terhadap setiap ajaran agama.[17] Sehingga pluralisme bukanlah sebuah prinsip mengenai toleransi, melainkan pandangan relativisme kebenaran yang mengajarkan bahwa “semua agama adalah sama”.[18]

Para pluralis ini juga berupaya untuk mendekonstruksi beberapa ajaran Islam dengan dalih membangun kerukunan antarumat beragama, diantaranya ialah seperti 1. Menafikan klaim keselamatan dan memperluas kriteria ahli kitab, 3. Melegalkan pernikahan muslimah dengan laki-laki non-muslim, 4. Menyoal dan menghapus konsep murtad.[19] Dengan langkah-langkah semacam itu, maka menjadi menarik jika mengutip candaan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam Misykat-nya dalam menggambarkan fenomena semacam ini. Boleh jadi, demi pluralisme agama, di satu saat nanti menjelang ajal seorang kiai boleh dibaptis, dan setelah dikubur seorang pendeta boleh di-talqin, agar di alam sana bisa ada surga alternative yang menurut mereka sangat “plural” itu.[20]

Kesimpulan

Toleransi tidak sesederhana mencampuradukkan ritual dan simbol keagamaan. Alih-alih toleransi, hal tersebut justru lebih banyak mengantarkan pada pluralisme agama, yang pada gilirannya menihilkan kebenaran agama-agama. Bukan kerukunan yang didapatkan, melainkan justru kerusakan eksistensi agama. Pluralitas memang merupakan sebuah keniscayaan, hanya saja ketika ia sudah menjadi pluralisme agama, maka hal ini perlu diberi beberapa catatan. Pluralisme agama bukanlah prinsip toleransi; sebaliknya, itu adalah bentuk relativisme kebenaran yang menyatakan bahwa “semua agama adalah sama.” Konsep pluralisme agama yang mengarah kepada relativisme tidak dapat diterapkan dalam ajaran agama-agama lainnya. Karena setiap agama itu eksklusif dengan keyakinan atau klaim kebenarannya (truth claim) masing-masing. Pencampuradukkan ritual atau simbol keagamaan hanya akan mengarahkan pada pluralisme agama yang dapat merusak klaim kebenaran agama dan hakikat dari toleransi itu sendiri.

Oleh: Muhammad Baqi

Sumber Foto: https://ummetro.ac.id/ngobrol-enteng-entengan-tentang-pluralisme-beragama/


[1] M. Adib Fuadi Nuriz, dkk. Problem Pluralisme Agama dan Dampaknya terhadap Kehidupan Sosial Keagamaan (Gontor: Centre for Islamic and Occidental Studies {CIOS} dan Universitas Darussalam {UNIDA} Gontor: Cet. 1, 2015) hal. 99-100.

[2] Daud Rosyid dalam pengantar buku Ali Harb, Kritik Kebenaran, (Yogyakarta: LkiS, 2004) hal. II.

[3] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis), (Gontor: Centre for Islamic and Occidental Studies {CIOS} dan Institut Studi Islam Darussalam {ISID} serta Pondok Modern Darussalam Gontor: Cet. 1, 2009) hal. 92-93.

[4] M. Adib Fuadi Nuriz, dkk. Op.Cit., h. 99.

[5] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II, 1999) hal. 49.

[6] Harold Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama (Yogyakarta: Kanisius: 1989), hal. 144.

[7] John Hick, Problems of Religious Pluralism (Houndmills, Basingstoke: The Macmillan Press, 1985), hal. 31-32.

[8] Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama (Jakarta: INSISTS: 2021), hal. 69. Lihat: Arnold Toynbee, An Historian’s Approach to Religion, (London: Oxford University Press, {1959} Reprinted 1957).

[9] Albert Dondeyne, Faith and the World (Dublin: Gil and Son, {1963} 1964), hal. 231.

[10] Anis Malik Toha. Op.Cit., h. 71.

[11] Diana L. Eck, “What is Pluralism?”, dalam http://pluralism.org/pluralism/what_is_pluralism.php.

[12] “Pluralism” (2015) dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary new 9th edition (p. 1180, 9th ed).

[13] Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama (Jakarta: INSISTS: 2021), hal. 7.

[14] John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent, hal. 36.

[15] John Hick, “Religious Pluralism,” dalam Mircea Eliade (ed), The Encyclopedia of Religion, (New York: Macmillan Publishing Company, 1987), Vol. 12, hal. 331.

[16] M. Adib Fuadi Nuriz, dkk. Problem Pluralisme Agama dan Dampaknya terhadap Kehidupan Sosial Keagamaan (Gontor: Centre for Islamic and Occidental Studies {CIOS} dan Universitas Darussalam {UNIDA} Gontor: Cet. 1, 2015) hal. 12.

[17] Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat (Jakarta: INSISTS – MIUMI: Cet. ke-4, 2018), hal. 138.

[18] Ibid, h. 144.

[19] Harda Armayanto, Pluralisme Agama dari Pandangan Hidup ke Praktik kehidupan (Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS) dan Program Studi-Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Darussalam Gontor: Cet. 1, 2022), hal. 109, 112, 117, & 120.

[20] Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat (Jakarta: INSISTS – MIUMI: Cet. ke-4, 2018), hal. 144.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *