Beberapa kalangan masih memandang bahwa Syiah tidak terlalu berbeda dengan Ahlussunnah. Mereka melihat Syiah sebagai salah satu mazhab fikih dalam Islam, seperti Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Hanafiyah. Bagi mereka, perbedaan antara Syiah dan Ahlussunnah hanya terletak pada perbedaan dalam hal-hal cabang (furu’). Perbedaan mendasar (ushul) antara Ahlusunnah dan Syiah, justru terabaikan. Sebagai hasilnya, mereka sering berupaya untuk memperjuangkan rekonsiliasi antara Ahlussunnah dan Syiah di berbagai negara.
Padahal jika dianalisis lebih mendalam, terdapat perbedaan substansial antara keduanya, tidak hanya dalam hal-hal cabang, tetapi juga dalam hal-hal pokok (ushul). Oleh karena itu, mencocokkan keduanya secara mutlak menjadi suatu yang tidak mungkin. Salah satu perbedaan mendasar antara keduanya adalah dalam pemahaman mengenai rukun Islam, rukun Iman, pandangan terhadap sahabat Nabi, ahlu bait, dan Al-Qur’an. Oleh karena banyaknya perbedaan ini, beberapa ulama telah menyatakan bahwa kelompok Syiah bukanlah bagian dari Islam. Bahkan, MUI telah mengeluarkan peringatan tentang bahaya ajaran Syiah sejak tahun 1984. Bahkan lebih jauh lagi, MUI Jawa Timur telah mengeluarkan fatwa tentang kesesatan ajaran Syiah pada tahun 2012.
Jika membicarakan kelompok Syiah, tidak bisa tidak membahas doktrin fundamental mereka, yaitu Imamah. Menurut ajaran Syiah, setelah wafatnya Nabi Muhammad, Ali dan keturunannya memiliki hak untuk menggantikannya. Bagi Syiah, Imamah adalah hal yang sangat penting bahkan kedudukannya dianggap setara atau bahkan lebih tinggi dari kenabian. Beberapa hadis dalam kitab al-Kafi oleh al-Kulaini menyatakan bahwa kedudukan Imamah lebih tinggi dari kenabian, dan hal ini juga dinyatakan secara terbuka oleh sejumlah tokoh agama Syiah. Salah satu tokoh agama mereka, Ni’matullah al-Jazairi, bahkan menyatakan bahwa “Imamah secara keseluruhan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kenabian dan kerasulan.” Oleh karena itu, bagi Syiah, keberadaan Imamah adalah inti dari ajaran mereka, sehingga tanpa Imamah, tidak akan ada Syiah, atau dengan kata lain, keberadaan Syiah bergantung pada keberadaan Imamah.
Namun, doktrin Imamah menjadi dilema bagi kaum Syiah karena tidak ada bukti yang jelas tentang ajaran ini dalam Al-Qur’an, meskipun mereka menganggapnya sebagai ajaran utama. Tentu saja, kebingungan muncul ketika ajaran penting ini tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, mereka mengembangkan pandangan tersendiri terhadap Al-Qur’an dan bahkan mengadopsi metode interpretasi yang khas. Bagaimanakah pandangan kaum Syiah terhadap Al-Qur’an dan bagaimana mereka menafsirkannya? Ini adalah pertanyaan yang akan dijelaskan dalam artikel ini.
Al-Qur’an dalam Pandangan Syiah
Kaum Muslimin secara bulat telah menyatakan keyakinan akan keaslian dan keautentikan Al-Qur’an, sepenuhnya meyakini bahwa Al-Qur’an yang ada saat ini adalah Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya tanpa perubahan. Satu-satunya kelompok yang menentang keyakinan ini adalah Syiah. Para ulama juga telah sepakat bahwa siapa pun yang meyakini adanya perubahan dalam Al-Qur’an setelah wafatnya Rasulullah, maka dia dianggap kafir. Dalam kitabnya, Al-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim al-Rasul Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Barangsiapa mengklaim bahwa al-Qur’an telah dikurangi sebagian ayat-ayatnya, atau disembunyikan…maka tidak ada lagi perselisihan tentang kekafirannya.”
Dalam pandangan Syiah, Al-Qur’an telah mengalami pemalsuan dan sebagian surahnya dihilangkan. Mereka percaya bahwa dalam Al-Qur’an yang asli terdapat banyak ayat yang berbicara tentang keutamaan Ahlulbait, kewajiban untuk mengikuti mereka, larangan menentang mereka, dan kritikan terhadap penentang Ahlulbait. Namun, menurut pandangan Syiah, para sahabat telah menghapus ayat-ayat tersebut dari Al-Qur’an. Sebagai contoh, dalam kitab induk Syiah, al-Kafi, dinyatakan bahwa banyak nama ‘Ali telah dihapus dari Al-Qur’an yang ada saat ini. Di antaranya adalah dalam QS al-Ahzab, yang tertulis: Wa man yuṭi’illâh wa rasûlahu faqad fâza. Namun menurut kitab itu yang benar Wa man yuṭi’illâh wa rasûlahu fî wilâyati ‘Aly wa al-a’immah ba’dahu faqad fâza. (Ushul Kafi, jilid I, hlm. 262)
Syiah meyakini bahwa hanya ‘Ali bin Abi Thalib dan para imam sesudahnya yang berhasil mengumpulkan Al-Qur’an secara lengkap. Mereka juga percaya bahwa ada sebuah mushaf yang disebut Mushaf Fathimah, yang dianggap sebagai Al-Qur’an asli. Menurut keyakinan mereka, Mushaf ini memiliki ketebalan tiga kali lipat dari Al-Qur’an yang ada saat ini. Dalam kitab Ushul Kafi, yang merupakan salah satu kitab penting dalam tradisi Syiah, disebutkan bahwa Al-Qur’an yang awalnya disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad memiliki 17 ribu ayat, tetapi sekarang hanya tersisa 6660 ayat. Bahkan, Syiah meyakini bahwa Mushaf Fathimah ini akan dipulihkan kembali oleh Imam Mahdi, Imam ke-12 mereka, saat kedatangannya di akhir zaman. Informasi ini diperoleh dari kitab al-Kafi oleh al-Kulaini.
Tafsir Batini ala Syiah
Selain percaya bahwa Mushaf Utsmani memiliki kekurangan, kaum Syiah juga memiliki pendekatan khusus dalam menafsirkan dan menakwilkan Al-Qur’an sesuai dengan keyakinan teologis mereka. Tafsir yang digunakan oleh kaum Syiah tidaklah mengikuti metodologi ilmiah, melainkan lebih cenderung ke arah tafsir bathini yang bersifat sangat bebas dan sering kali tidak berkaitan langsung dengan lafal dan konteks ayat-ayatnya. Tafsir atau takwil bathini ini bertujuan untuk mendukung doktrin Imamah Ali bin Abi Thalib.
Dalam disertasinya yang berjudul “asy-Syiah Itsna Asyariyah dan Metodologi Penafsiran Al-Qur’an al-Karim,” Prof. Dr. Muhammad Ibrahim al-‘Asal menjelaskan bahwa salah satu prinsip penafsiran yang dipegang teguh oleh Kaum Syiah adalah keyakinan mereka bahwa Al-Qur’an memiliki makna tersirat (batin) dan makna tersurat (zahir). Mereka bahkan meyakini bahwa setiap ayat memiliki tujuh hingga tujuh puluh tujuh makna tersirat (bahtin). Kaum Syiah bersepakat bahwa orang yang menolak makna tersirat ini akan dianggap kafir, sama seperti orang yang menolak makna tersurat (zahir) dari Al-Qur’an.
Akar metode tafsir makna batin ini dapat ditelusuri dari usaha Abdullah bin Saba dalam mencari dukungan Al-Qur’an untuk keyakinannya tentang raj’ah (reinkarnasi), yang dia lakukan melalui penafsiran esoteris. Abdullah bin Saba menyatakan keheranannya bahwa orang-orang percaya bahwa Isa akan kembali ke dunia, namun mereka tidak percaya bahwa Muhammad juga akan kembali. Dia mengutip ayat Al-Qur’an dari surah al-Qasas ayat 85, di mana dalam konteks tersebut, “kembali” merujuk pada pengembalian kekuasaan atas Makkah.
Kemudian para tokoh Syiah setelah itu, banyak yang membuat tafsiran Al-Quran dengan metode takwil bathini ini. Seperti menakwilkan makna Allah menjadi makna imam, dalam firman Allah,
لَا تَتَّخِذُوا إِلَهَيْنِ اثْنَيْنِ إِنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ
“Janganlah kamu menyembah dua tuhan; sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut”. (QS. An-Nahl: 51). Ditafsirkan oleh mufasir Syiah, Abu Abdillah bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah jangan angkat dua imam karena imam itu hanya satu saja. (Tafsir al-Burhan, 2/373)
Selain itu al-Qummi, mufasir Syiah, mengarahkan makna “orang kafir” dalam surah al-Furqan 55 kepada Umar bin al-Khathab. Ayat tersebut berbunyi:
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُهُمْ وَلَا يَضُرُّهُمْ وَكَانَ الْكَافِرُ عَلَى رَبِّهِ ظَهِيرًا
“Mereka menyembah selain Allah apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepada mereka. Orang kafir itu penolong (setan untuk berbuat durhaka) terhadap Tuhannya.”
Lafal “orang kafir” dalam ayat ini menurut al-Qummi adalah “si orang kedua’ yaitu Khalifah Umar bin al-Khathab yang dahulu dianggap pernah menolong orang untuk berbuat durhaka kepada Amiru Mukminin Ali bin Abi Thalib. Masih banyak lagi ayat-ayat yang maknanya diselewengkan oleh Syiah untuk tujuan menguatkan doktrin imamah.
Telaah Kritis Metode Takwil Bathini ala Syiah
Definisi takwil yang paling luas, yang diterima oleh Ahlusunnah, adalah yang disampaikan oleh Tajuddin Ibn al-Subki (wafat 771 H) dalam karyanya “Jami’ul Jawami’”. Menurutnya, takwil adalah proses mengalihkan makna lafal zahir Al-Qur’an; jika alihannya didasarkan pada makna yang dimungkinkan, meskipun lemah, tetapi didukung oleh dalil, maka itulah takwil yang benar. Namun, jika alihannya didasarkan pada anggapan semata, maka itu dianggap sebagai takwil yang salah. Jika tidak didasarkan pada apapun, maka itu bukanlah takwil, melainkan sekadar main-main.
Oleh karena itu, memahami makna zahir dari setiap kata adalah suatu keharusan, karena makna tersebut memiliki kekuatan argumen yang kuat karena sifatnya yang aksiomatik. Mengubah ungkapan menjadi majaz sedangkan hakikatnya masih memungkinkan, akan mengabaikan semua aturan pembicaraan dan makna kata secara keseluruhan. Jika hal itu terjadi, maka fungsi bahasa dapat terganggu dan bahasa tidak akan lagi dapat menyampaikan makna yang jelas.
Antara Takwil Batini dan Tafsir Isyari
Sekilas, takwil batini mirip dengan tafsir isyari yang diprakarsai oleh ulama Sunni. Namun sejatinya tafsir isyari, seperti yang dijelaskan oleh ulama ahli tafsir, seperti Syaikh Muhammad Khidhir Husain (Grand Syaikh al-Azhar), berbeda dengan takwil batini. Menurut beliau, kelompok yang menganut pemahaman batiniyah cenderung mengalihkan makna ayat dari makna tekstual atau logisnya ke arah makna yang sesuai dengan tujuan tertentu, dengan alasan bahwa itu adalah maksud sebenarnya Allah, bukan makna lainnya. Sementara tafsir isyari, sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Bakr ibnu al-Arabi dalam kitabnya al-Awashim minal Qawashim, adalah proses membawa lafal-lafal syariah sesuai dengan aturan dan mendudukannya di tempatnya yang tepat, namun mereka percaya bahwa di balik lafal-lafal tersebut terdapat makna-makna yang lebih dalam dan samar yang bisa dijangkau melalui isyarat dari berbagai lafal zahir. Dengan kata lain, mereka menempuh jalur isyarat ini dengan merenungkannya dan menganggapnya sebagai jalan untuk berzikir.
Muhammad Abdul Azim al-Zarqani, dalam karyanya Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an, menetapkan beberapa prinsip dan ketentuan dalam metode takwil isyari, yaitu: (1) Konsistensi dengan makna zahir (teks) Al-Qur’an, (2) Mengakui bahwa tidak hanya makna isyari yang benar, (3) Memperkuat penafsiran dengan dalil syara’ lainnya, (4) Memastikan bahwa penafsiran tidak bertentangan dengan dalil syara’ atau akal, (5) Tetap mempertahankan susunan kalimat Al-Qur’an, dan (6) Tidak bertentangan dengan pemahaman yang sudah diterima oleh masyarakat umum.
Sampai di sini terlihat bahwa pemahaman Syiah mengenai Al-Qur’an berbeda dengan pemahaman Ahlussunnah. Kaum Syiah meyakini bahwa Al-Qur’an yang beredar saat ini tidak lengkap karena tidak menyinggung keimaman Ali bin Abi Thalib. Oleh karena itu, mereka mengembangkan metode interpretasi yang disebut takwil bathini. Dalam pendekatan ini, terlihat jelas adanya upaya pemaksaan dalam menafsirkan makna Al-Qur’an, yang pada dasarnya bertujuan untuk melegitimasi doktrin imamah mereka semata.
Selain itu, perlu dicatat bahwa takwil bathini yang dipraktikkan oleh Syiah berbeda dengan takwil isyari. Takwil isyari memiliki persyaratan dan ketentuan yang harus dipatuhi, salah satunya adalah konsistensi dengan makna zahir Al-Qur’an. Namun, takwil bathini, sebaliknya, sering kali bertentangan dengan makna zahir ayat. Oleh karena itu, pendekatan takwil bathini ala Syiah ini tidak dapat diterima.[]
Oleh: Adib Fattah Suntoro, M.Ag