Oleh: Adib Fattah Suntoro, M.Ag
Dalam dunia modern, isu keadilan sosial seringkali menjadi arena pertarungan ideologis yang sengit antara sosialisme dan kapitalisme. Sosialisme berusaha menciptakan keadilan dengan mengutamakan kesetaraan ekonomi melalui pengaturan kepemilikan dan distribusi sumber daya oleh negara. Di sisi lain, kapitalisme mempromosikan kebebasan individu dalam kepemilikan pribadi dan pasar bebas, dengan harapan bahwa kompetisi yang sehat akan mendorong kesejahteraan bersama. Namun, masing-masing sistem ini mengundang problematika tersendiri—sosialisme kerap dikritik atas keterbatasan kebebasan pribadi dan kecenderungan kontrol totalitarian, sementara kapitalisme dianggap memicu kesenjangan yang tajam dan memperburuk ketidakadilan ekonomi.
Di tengah pergulatan ideologi-ideologi besar ini, pemikiran Islam menawarkan perspektif alternatif tentang keadilan sosial yang tidak terikat pada ekstremitas kapitalisme maupun sosialisme. Pemikiran ini tercermin jelas dalam gagasan Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), seorang ulama, sastrawan, dan pemikir terkemuka Indonesia, yang menempatkan keadilan sosial sebagai pilar penting dari ajaran Islam. Bagi Hamka, keadilan sosial dalam Islam bukan sekadar isu ekonomi, tetapi lebih merupakan panggilan etis dan moral yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan harmonis. Islam, menurut Hamka, mengandung prinsip-prinsip keadilan yang mampu memberikan solusi atas ketimpangan yang ditimbulkan oleh kedua sistem besar tersebut.
Dalam bukunya yang berjudul Keadilan Sosial dalam Islam, Hamka menegaskan bahwa konsep keadilan sosial dalam Islam tidak sekadar menyangkut redistribusi kekayaan. Baginya, keadilan sosial adalah prinsip menyeluruh yang mencakup penghormatan atas hak individu, perlindungan bagi kelompok yang termarjinalkan, serta keseimbangan antara hak dan kewajiban setiap orang. Hamka menunjukkan bahwa Islam mampu menjadi pedoman etis yang relevan dan aplikatif dalam menghadapi tantangan ketidakadilan dan ketimpangan modern.
Artikel ini akan mengeksplorasi pemikiran Buya Hamka tentang keadilan sosial dalam perspektif Islam, dengan membandingkan visinya dengan tantangan yang dihadirkan oleh sosialisme dan kapitalisme. Melalui analisis ini, kita akan melihat bagaimana pandangan Hamka tentang Islam sebagai jalan tengah yang mampu menyeimbangkan antara kepentingan individu dan kolektif, memberikan ruang bagi keadilan tanpa mengorbankan kebebasan. Pandangan Hamka tentang keadilan sosial bukan hanya memiliki relevansi bagi masyarakat Indonesia pada masanya, tetapi juga memberikan kontribusi berharga bagi diskusi global tentang peran agama dalam menjawab ketimpangan dan ketidakadilan dalam sistem-sistem ekonomi besar dunia.
Epistemologi Konsep Keadilan Sosial Islam
Dalam karyanya Keadilan Sosial dalam Islam, Hamka menyoroti universalitas ajaran Islam. Bukan karena Islam lahir di Arab maka lantas agama ini hanya terbatas pada masyarakat Arab, melainkan Islam bersifat universal bagi seluruh umat manusia. Keadilan sosial merupakan salah satu nilai inti dari ajaran Islam yang universal tersebut. Dalam sejarahnya, nilai keadilan sosial telah dibangun oleh Rasulullah SAW sepanjang karir kenabiannya. Hamka menyoroti bahwa sebelum mengimplementasikan keadilan sosial dalam konteks pemerintahan, penting untuk membangun karakter dan pemahaman moral di dalam diri individu, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW selama tiga belas tahun di Makkah.[1] Jika komponen masyarakat diisi oleh individu-individu yang menjunjung nilai moral yang luhur (akhlakul karimah), niscaya keadilan sosial dalam konteks yang lebih luas bukan sekedar utopia.
Secara teologis, konsep keadilan sosial dalam Islam dibangun di atas risalah kenabian yang tertuang dalam Al-Qur;an dan Hadis Nabi SAW. Hamka mengutip beberapa ayat Al-Qur’an yang relevan. Salah satunya dalam surah al-Hujurat ayat 12 yang berisi petunjuk kepada individu muslim supaya dapat menjadi anggota masyarakat yang menjunjung nilai keadilan sosial. Terjemahaan ayat tersebut berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari sangka-sangka, karena sebagian dari sangka-sangka itu adalah dosa. Dan janganlah kalian mengintai atau mencari-cari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah seorang di antara kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu saja kalian merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”
Dalam Tafsir al-Azhar Hamka menafsirkan ayat tersebut, ia mendefinisikan prasangka adalah tuduhan tanpa dasar yang dapat merusak hubungan antar individu dan menciptakan stigma sosial. Prasangka ini tidak hanya berpotensi menimbulkan perlakuan yang tidak adil terhadap seseorang, tetapi juga menghalangi terciptanya masyarakat yang harmonis dan saling menghormati, yang merupakan inti dari keadilan sosial.[2]
Selain ayat yang menyoroti upaya pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs) dari penyakit hati seperti prasangka buruk tersebut, al-Qur’an juga menekankan keharmonisan antar sesama dalam urusan bertetangga. Misalnya seperti dalam surah an-Nur ayat 28 yang memberikan petunjuk agar meminta izin kepada pemilik rumah jika ingin bertamu dan mengundurkan diri jika tuan rumah tidak meghendaki kehadiran tamu. Kata Hamka, ini adalah bentuk dari pengakuan hak diri dan hak rumah tangga, sebab dari sanalah ditagakkan bangunan keadilan sosial.[3]
Selain ayat-ayat al-Quran, konsep keadilan sosial dalam Islam juga dibangun diatas petunjuk hadis Nabi. Hamka mengutip hadis dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, yang menyatakan bahwa, “Setiap orang dari kalian adalah penggembala dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas penggembalaannya.” Melalui hadis ini, Hamka menekankan konsep tanggung jawab individu dalam menciptakan keadilan sosial. Bagi Hamka, setiap orang memiliki peran penting dalam membangun masyarakat yang adil, dan ini mencakup peran sebagai pemimpin, anggota keluarga, maupun masyarakat secara luas.[4] Keadilan sosial dalam pandangan Hamka tidak hanya menjadi tugas pemerintah atau penguasa, tetapi merupakan kewajiban setiap muslim dalam setiap aspek kehidupannya. Ketika seseorang menjalankan amanahnya dengan adil dan penuh tanggung jawab—baik di rumah, di tempat kerja, maupun dalam kehidupan bermasyarakat—maka terciptalah keadilan sosial yang sesungguhnya. Hadis ini, bagi Hamka, menjadi landasan bahwa setiap individu berperan sebagai pemelihara yang dituntut untuk berlaku adil, sehingga tercipta kesejahteraan dan kemaslahatan bersama dalam masyarakat.
Bagi Hamka, keadilan sosial dalam Islam dibangun di atas prinsip saling mengingatkan (amar ma’ruf nahi mungkar). Hamka mengutip firman Allah dalam surah Ali Imran: 104 dan 110, seraya mengjelaskan bahwa apabila dalam suatu komunitas manusia tidak ada yang berani menyatakan kebenaran dan membasmi kejahatan maka keadilan sosial akan hilang, dan masyarakat akan jatuh dalam ketidakadilan dan kezaliman.[5] Ketika suatu masyarakat berani menegakkan kebenaran dan melawan kebatilan, mereka menjaga keseimbangan sosial dan menghindarkan diri dari kerusakan moral. Prinsip ini mengajarkan bahwa keadilan sosial bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi setiap individu memiliki peran untuk menjaga keadilan dan kebaikan dalam lingkungannya.
Prinsip Musyawarah, Asas Keadilan Sosial
Keadilan sosial tidak akan terwujud jika musyawarah tidak dijalankan. Dalam bukunya Keadialan Sosial dalam Islam, Hamka bahkan sampai mengulang penjelasan tentang pentingnya musyawarah atau syura dalam tiga sub pembahasan. Menurut Hamka keadilan sosial yang sejati akan dapat diwujudkan apabila manusia menyadari falsafah keberadaannya di dunia sebagai khalifatullah yang menjalankan perintah Allah untuk menjaga dunia dengan hukum-hukumnya. Lebih lanjut, peran ke-khalifahan itu hanya dapat diimplementasikan dengan prinsip syura (musyawarah).[6]
Menurut Hamka keadilan sosial dalam berbagai bidang kehidupan seperti pemerintahan, ekonomi, sosial, kebudayaan, dan pendidikan merupakan prinsip yang sangat mendasar dalam Islam. Dalam Islam, keadilan tidak hanya berarti memberikan hak kepada setiap orang, tetapi juga memastikan bahwa setiap orang mendapatkan kesempatan yang adil untuk berkembang sesuai dengan potensinya. Untuk mencapai keadilan sosial ini, Hamka menekankan pentingnya prinsip syura atau musyawarah dalam kepemimpinan. Prinsip ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad saw., yang menyatakan, “Tangan Allah adalah bersama suara yang terbanyak (jama’ah).”[7] Artinya, keputusan yang diambil secara kolektif melalui musyawarah cenderung mendapat berkah dan bimbingan dari Allah SWT. Dalam konteks kepemimpinan Islam, syura berarti bahwa setiap keputusan yang diambil pemimpin harus melibatkan suara masyarakat atau perwakilan yang dipercaya. Hal ini bukan saja untuk menjamin keadilan, tetapi juga untuk menghindari kekuasaan yang otoriter dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat banyak.
Hukum Islam yang Berkeadilan Sosial
Dalam al-Qur’an dan hadis, Allah menyebutkan prinsip-prinsip keadilan sebagai asas hukum yang disyariatkan-Nya. Beberapa ayat yang Hamka sebutkan, misalnya dalam surah an-Nahl: 90 yang artinya,” Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” Dan juga surah an-Nisa’: 58,”Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.” Nabi Muhammad saw. mempertegasnya dengan menyatakan, “Demi Allah! Sekiranya Fatimah binti Muhammad, putriku sendiri, mencuri, maka tetap akan aku potong tangannya” (HR Muslim), yang menunjukkan bahwa hukum Islam tidak pandang bulu, bahkan terhadap keluarga. Prinsip keadilan ini bukan sekadar memberi hukuman, tetapi juga menciptakan keseimbangan dan ketentraman dalam masyarakat. Hamka memahami keadilan sebagai kewajiban absolut yang melindungi hak semua orang dan menegaskan bahwa hukum dalam Islam haruslah objektif, tegas, dan dijalankan demi kebaikan bersama serta untuk mendorong masyarakat pada nilai-nilai kebajikan dan ketakwaan.[8]
Berbanding terbalik dari keadilan hukum Islam, Hamka mengkritik tajam ketidakadilan dalam sistem hukum sekuler modern, yang masih kerap bias dan diskriminatif terutama dalam hal ras dan agama. Ia mengungkapkan contoh kasus Bertha Hertog, seorang perempuan Belanda yang telah memeluk Islam dan menikah dengan Mansur Adabi, tetapi kemudian dipisahkan secara paksa oleh otoritas Inggris yang mengabaikan status agama dan hak-hak pernikahannya. Menurut Hamka, ini mencerminkan bias rasis yang mendalam di antara para hakim kolonial, yang masih diliputi prasangka warna kulit. Hamka juga menyoroti kasus tujuh pria kulit hitam di Amerika Serikat, yang dipimpin Joe Henry Jamptoi, dihukum mati dengan kursi listrik karena dituduh membunuh seorang perempuan kulit putih di Virginia. Ironisnya, sementara itu, aksi brutal kelompok supremasi kulit putih Ku Klux Klan yang membantai dan menggantung orang kulit hitam di muka umum sering kali luput dari hukuman. Hamka mempertanyakan keadilan hukum yang seperti ini, yang tampaknya lebih melindungi dominasi ras tertentu daripada menjalankan asas keadilan bagi semua manusia tanpa diskriminasi.[9]
Menurut Hamka, keadilan dalam hukum Islam bukan hanya sekadar konsep ideal, tetapi prinsip yang nyata dan telah diterapkan sepanjang sejarah. Dalam menegakkan keadilan, Islam mengajarkan bahwa rakyat harus menghormati dan menaati pemimpin yang adil. Rasulullah saw. menegaskan hal ini dengan sabda, “Dengar dan taatilah, walaupun yang diangkat menjadi keapala pemerintahanmu seorang budak habsyi! Seakan-akan kepalanya (lantaran keriting rambutnya) serupa anggur kering, selama dia masih mendirikan kitab Allah” (HR Bukhari). Ketaatan pada pemimpin bersyarat pada pelaksanaan ajaran Allah; jika pemimpin mulai bertindak zalim, melanggar perintah Allah, dan menyimpang dari ajaran Rasulullah, rakyat tidak boleh diam. Hamka mengutip sabda Nabi yang menyatakan bahwa siapa pun yang melihat pemimpin zalim, yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah, melanggar perjanjian-Nya, atau menindas dengan dosa dan permusuhan, harus melawannya baik dengan tindakan atau perkataan. Jika rakyat membiarkan kezaliman, maka mereka turut memikul akibatnya di hadapan Allah. Bagi Hamka, prinsip ini menegaskan keseimbangan dalam hukum Islam: rakyat wajib menghormati pemimpin yang adil, namun juga memiliki kewajiban untuk menolak pemimpin yang menindas, demi menjaga keadilan dan kebenaran sesuai ajaran Islam.[10]
Keadilan Sosial dalam Aspek Penjagaan Harta (Hifdz al-Mal)
Dalam pandangan Hamka, Islam mengatur harta secara komprehensif sebagai bagian dari prinsip penjagaan harta (hifdz al-mal) untuk mewujudkan keadilan sosial. Harta dalam Islam tidak sekadar menjadi milik pribadi, melainkan sebagai amanah yang harus diatur dengan bijak agar memberi manfaat bagi diri sendiri dan masyarakat luas. Hamka menekankan bahwa harta hanyalah wasilah atau alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dan menegakkan agama. Hal ini sesuai dengan sejumlah ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa harta benda tidak boleh dijadikan tujuan utama, melainkan sarana untuk mencari rida Allah dan menjaga jalan-Nya (sabilillah). Dalam QS Al-Munafiqun: 9, Allah mengingatkan agar harta dan keturunan tidak menjadi penghalang bagi manusia untuk mengingat-Nya, menunjukkan bahwa harta harus ditempatkan dalam posisi yang seimbang dan tidak menjadi sumber kelalaian dari ketaatan kepada Allah.[11]
Hamka melihat bahwa harta bukanlah milik mutlak manusia atau masyarakat, tetapi milik Allah yang dipinjamkan kepada manusia untuk dimanfaatkan sebaik mungkin. Pemahaman ini penting dalam menghindari keserakahan dan ketidakadilan dalam penggunaan harta. Dalam pandangan Hamka, harta diberikan Allah untuk dipergunakan secara adil, sehingga setiap orang dapat memenuhi kebutuhannya dan masyarakat dapat merasakan kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, Islam mengajarkan prinsip keadilan dalam kepemilikan dan distribusi harta, menghindari akumulasi berlebihan yang dapat menimbulkan kesenjangan sosial.[12] Harta yang melimpah tidak boleh disimpan atau dibelanjakan hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan harus didistribusikan dengan prinsip zakat, infak, dan sedekah yang memberikan hak kepada mereka yang membutuhkan.
Bagi seorang Muslim, harta dianggap sebagai pinjaman dari Allah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat, dan karenanya harus dikelola dengan penuh tanggung jawab. Hamka menegaskan bahwa pengelolaan harta dalam Islam harus memenuhi hak-hak individu dan masyarakat sekaligus, dengan mengutamakan keadilan dan keseimbangan. Dalam penerapan prinsip hifdz al-mal, seorang Muslim diharapkan menjaga harta dengan baik, tidak hanya untuk kesejahteraan pribadi tetapi juga untuk kemaslahatan umum, serta tidak menyalahgunakan atau menimbunnya secara berlebihan. Dengan demikian, konsep harta dalam Islam sebagaimana dipahami Hamka bukanlah untuk mencari keuntungan pribadi, melainkan untuk memastikan keadilan sosial dan kesejahteraan bersama melalui pengelolaan yang sesuai dengan kehendak Allah.[13]
Hamka menilai bahwa konsep kepemilikan dalam Islam menawarkan keadilan yang sejalan dengan naluri manusia yang ingin memperoleh hasil sesuai dengan upaya yang dikeluarkannya: semakin besar usaha, maka seharusnya semakin besar pula hasil yang didapatkan. Berbeda dengan filsafat komunisme Karl Marx, yang menolak kepemilikan pribadi dan menganggap semua harta milik bersama, Islam memberikan ruang bagi kepemilikan personal yang bertanggung jawab. Hamka berpendapat bahwa penghapusan hak milik pribadi, seperti yang diajukan oleh Marx, bersifat utopis dan justru melemahkan dorongan manusia untuk berusaha, sebab usaha individu tidak akan dihargai secara proporsional. Menurutnya, pandangan Marx yang menekan hak individu terlalu mengandalkan idealisme dan mengabaikan kebutuhan manusia untuk memperoleh penghargaan atas jerih payahnya. Islam, dalam perspektif Hamka, memberikan keseimbangan dengan menjaga hak individu dan memastikan keadilan sosial, sehingga mendorong usaha yang produktif tanpa melalaikan tanggung jawab sosial.[14]
Keadilan Sosial terhadap Kaum Minoritas
Dalam pandangan Hamka, Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keadilan sosial, termasuk terhadap kaum minoritas, dan tuduhan diskriminatif yang sering dilontarkan oleh para orientalis bertentangan dengan fakta sejarah. Orientalis kerap mengklaim bahwa Islam menyebarkan ajarannya melalui kekerasan, dan mereka menuduh Nabi Muhammad saw. memimpin patroli untuk merampas harta kaum Quraisy. Namun, tuduhan ini tidak berdasar jika melihat praktik langsung Nabi dalam mengelola pemerintahan Madinah yang multikultural. Di kota Madinah, Nabi tidak hanya memimpin komunitas Muslim, tetapi juga memerintah kaum Yahudi dan para pengikut agama-agama lainnya, tanpa sedikit pun memaksa mereka untuk masuk Islam. Nabi justru membentuk masyarakat yang harmonis di mana berbagai komunitas dapat hidup berdampingan, membuktikan bahwa keadilan Islam tidak terbatas pada umat Muslim saja.[15]
Hamka menggarisbawahi bahwa keadilan sosial dalam Islam terwujud dalam sikap toleransi dan penghormatan terhadap keyakinan orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 256 yang menegaskan, “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” Dalam perspektif Hamka, prinsip ini menunjukkan bahwa Islam tidak pernah memaksa individu untuk memeluk agama tertentu, melainkan memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memilih keyakinan mereka. Nabi Muhammad saw. mempraktikkan nilai ini dengan memberi hak yang sama kepada kaum Yahudi, Nasrani, dan musyrik di Madinah, di mana mereka dapat beribadah, menjalankan tradisi, dan memiliki identitas sendiri.[16] Pendekatan ini memperlihatkan bahwa Islam mendukung perdamaian, toleransi, dan rasa hormat, yang menjadi dasar bagi hubungan yang adil antara berbagai kelompok dalam masyarakat.
Menurut Hamka, keadilan sosial terhadap kaum minoritas ini adalah bukti bahwa Islam mengedepankan nilai-nilai universal yang melampaui sekat agama dan budaya. Ketika Nabi Muhammad saw. memimpin Madinah, beliau menjaga keseimbangan antara hak-hak kaum Muslim dan non-Muslim, menciptakan tatanan yang damai dan adil bagi seluruh penduduk. Dalam konteks ini, Hamka melihat Islam sebagai agama yang memprioritaskan kesetaraan dan persaudaraan manusia, yang bertentangan dengan stereotip kekerasan dan diskriminasi yang sering dikaitkan dengan Islam oleh para pengkritik. Baginya, keadilan Islam mencakup seluruh manusia, dan pendekatan yang diambil Nabi di Madinah adalah contoh nyata bagaimana masyarakat majemuk dapat hidup damai dalam bingkai keadilan sosial tanpa mengorbankan prinsip-prinsip agama.[17]
Dari uraian di atas, jelas bahwa Buya Hamka melihat keadilan sosial Islam sebagai jalan tengah yang berbeda dari sosialisme maupun kapitalisme. Islam mengakui hak kepemilikan pribadi, namun dengan tanggung jawab sosial yang kuat dan berorientasi pada kemaslahatan bersama. Dalam pandangan Hamka, Islam bukanlah sekadar teori ekonomi, melainkan pedoman hidup yang mendorong keadilan dalam segala aspek—dari pengelolaan harta, relasi sosial, hingga pemerintahan. Prinsip-prinsip seperti syura (musyawarah), amar ma’ruf nahi mungkar (mengajak kebaikan dan mencegah keburukan), serta penghormatan terhadap hak individu dan masyarakat menjadi fondasi untuk menciptakan keseimbangan. Bagi Hamka, keadilan sosial dalam Islam bersifat universal, melampaui batas agama, budaya, dan kelas sosial—sebuah visi kesejahteraan yang merangkul seluruh umat manusia.[]
[1] Hamka, Keadilan Sosial Dalam Islam, ed. Ratih Kumalaningrum (Depok: Gema Insani, 2015), 3–4.
[2] Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar Vol. IX (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1982), 6831.
[3] Hamka, Keadilan Sosial Dalam Islam (Depok: Gema Insani, 2015), 4–5.
[4] Ibid., 6.
[5] Ibid., 10.
[6] Ibid., 21.
[7] Ibid., 22.
[8] Ibid., 49.
[9] Ibid., 51.
[10] Ibid., 51–52.
[11] Ibid., 75–76.
[12] Ibid., 77.
[13] Ibid., 78.
[14] Ibid., 80.
[15] Ibid., 159.
[16] Ibid., 161.
[17] Ibid., 162.