Oleh: Adib Fattah Suntoro, M.Ag
Sekularisasi menjadi isu sentral dalam perkembangan modern banyak negara, terutama di dunia Muslim. Turki adalah salah satu contoh paling mencolok, di mana setelah Perang Kemerdekaan (1919-1923) yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Atatürk, negara tersebut mendeklarasikan diri sebagai republik dengan orientasi sekuler. Bahkan, sekularisasi yang diterapkan di Turki jauh lebih ekstrem dibandingkan negara-negara Barat. Alih-alih hanya memisahkan agama dan negara, proses sekularisasi di Turki secara agresif membatasi peran agama, khususnya Islam, hanya pada ruang privat, sementara budaya Barat diadopsi sebagai standar kehidupan publik. Bagi Atatürk, modernisasi Turki yang pesat harus diiringi dengan sekularisasi penuh agar negara tersebut dapat “beradab” dan setara dengan negara-negara Barat.[1]
Dalam konteks sekularisasi yang ketat di Turki tersebut, pemikiran Said Nursi muncul sebagai respons kritis. Ia menolak anggapan bahwa modernisasi berarti memisahkan agama dari kehidupan sosial dan politik. Bagi Nursi, Islam tetap relevan dan memiliki peran penting dalam kemajuan masyarakat. Melalui karyanya yang terkenal, Risale-i Nur, ia menegaskan bahwa agama dan ilmu pengetahuan bisa saling melengkapi. Nursi melihat peluang untuk memperkuat iman dan menghubungkannya dengan tantangan dunia modern. Ia menekankan pentingnya pendidikan, spiritualitas, dan moralitas sebagai fondasi dalam menghadapi perubahan zaman.
Pemikiran Nursi sangat menarik untuk dikaji di era kontemporer, di mana banyak negara Muslim berhadapan dengan tantangan serupa terkait sekularisme dan identitas keagamaan. Karya-karyanya memberikan wawasan berharga tentang bagaimana iman dan pengetahuan dapat berjalan beriringan. Pendekatannya menawarkan inspirasi bagi generasi baru yang mencari keseimbangan antara kemajuan dan nilai-nilai spiritual dalam hidup mereka.
Mengenal Sang Mujaddid
Badiuzzaman Said Nursi adalah seorang tokoh intelektual terkenal dari Turki. Ia lahir pada tahun 1293 Rumi (1877 M) di Desa Nurs, Isparit, Kota Hizan, Provinsi Bitlis. Lahir dari keluarga sederhana suku Kurdi, Nursi adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, dengan ayah bernama Mirza dan ibu bernama Nuriye. Sejak kecil, Nursi sudah menunjukkan bakat luar biasa dengan kebiasaan aktif bertanya dan mengeksplorasi berbagai masalah yang belum dipahami. Ia sering mengikuti kajian pendidikan yang dihadiri para ulama di sekitarnya, bahkan ketika ia masih sangat muda.[2]
Pada usia sembilan tahun, Nursi mulai belajar di Madrasah yang dipimpin oleh Muhammad Afandi di Desa Tag pada tahun 1882. Namun, ia tidak lama belajar di sana karena terlibat konflik dengan seorang teman sekelas bernama Mehmet.[3] Nursi dikenal sebagai sosok yang sangat menjaga harga diri dan tidak suka diremehkan, sehingga ia sering terlibat pertengkaran dengan teman-temannya. Setelah itu, ia meminta kepada ayahnya untuk tidak disekolahkan hingga ia cukup dewasa. Selama waktu itu, ia belajar secara mandiri dengan kakaknya, Molla Abdullah, yang sangat berdedikasi dalam mengejar ilmu. Nursi sering membandingkan dirinya dengan kakaknya sebagai motivasi untuk terus belajar dan bertekad untuk meningkatkan pendidikan di desanya yang masih banyak buta huruf, serta membagikan ilmunya kepadaorang lain.[4]
Setelah cukup dewasa, Said Nursi melanjutkan pendidikannya di Madrasah Mir Hasan Wali di Mukus, yang dipimpin oleh Molla Abdulkarim. Namun, ia hanya bertahan beberapa hari di sana sebelum berpindah ke lokasi lain, yaitu Vastan (Gevas). Di kota kecil yang terletak di kaki Gunung Ararat ini, Nursi belajar di bawah bimbingan Syaikh Muhammad Celali. Selama tiga bulan di Vastan, ia mempelajari ilmu agama dasar, setelah sebelumnya hanya belajar nahu dan ilmu sarf. Setelah menyelesaikan masa belajarnya, Nursi berhasil mendapatkan sertifikat kelulusan dari Syaikh Muhammad Celali.[5]
Kecerdasan Nursi dalam mempelajari ilmu membuatnya cepat menguasai berbagai bidang pelajaran meskipun berpindah-pindah tempat. Ia juga belajar secara otodidak untuk mendalami ilmu yang dianggap penting, sehingga tidak heran jika ia dijuluki “Molla,” yang berarti cepat dalam belajar. Kejeniusan dan dedikasinya dalam menuntut ilmu membuatnya terkenal di masyarakat, dan ia dapat mempelajari kitab-kitab dalam waktu singkat. Dengan metode belajar yang mengandalkan pengulangan dan hafalan, Nursi mampu menguasai setiap pelajaran. Hal ini menarik perhatian banyak ulama yang ingin mengujinya, dan melalui diskusi serta pertanyaan, Nursi selalu dapat memberikan jawaban yang cerdas dan memuaskan.[6]
Kehidupan Nursi dapat dibagi menjadi dua fase. Fase pertama adalah masa mudanya, di mana ia menuntut ilmu dan mempertahankan Islam di akhir pemerintahan Utsmani. Fase kedua berfokus pada upayanya untuk mencegah arus sekularisasi di Turki. Pada tahun 1923, Mustafa Kemal Atatürk terpilih sebagai pemimpin dan mengubah sistem pemerintahan menjadi republik dengan tujuan awal untuk membangun perekonomian.[7]
Sejak saat itu, Nursi mengalami perlakuan buruk karena pemikirannya yang tidak sejalan dengan visi Atatürk. Di awal pemerintahan Atatürk, undang-undang sekularisasi pendidikan disahkan pada 3 Maret 1924, diikuti dengan penghapusan Kementerian Wakaf pada 30 Mei 1924, yang dianggap memiliki unsur agama. Pada tahun 1925, hampir semua masjid dilarang beroperasi, kecuali Masjid Abu Ayyub Al-Anshari. Nursi dibuang untuk memudarkan pengaruh ajarannya, dan pengasingan ini berlangsung hingga tahun 1950. Namun, perjuangan Nursi tidak berhenti. Di tempat pengasingannya di Barla, ia justru menghidupkan kembali sinar Islam di Turki melalui karyanya, “Risale-i Nur,” yang mengajak masyarakat kembali kepada Al-Qur’an.[8]
Pada awal Maret 1960, Nursi jatuh sakit akibat paru-paru dan kondisinya semakin memburuk. Ia pingsan beberapa kali sebelum akhirnya meninggal dunia pada 23 Maret 1960, bertepatan dengan 25 Ramadan 1379 H. Ia dimakamkan di Ulu Jami setelah sholat Ashar, tetapi pada 12 Juli 1960, atas perintah militer dan pemerintah sekuler, jasadnya dipindahkan secara paksa ke lokasi yang hingga kini tidak diketahui.[9]
Sekularisasi di Turki
Turki memiliki jumlah penganut agama Islam terbesar di dunia, yang berakar dari sejarah panjang kerajaan-kerajaan besar Islam, terutama Kerajaan Usmani. Didirikan oleh bangsa Turki Oghuz, yang memeluk Islam pada abad ke-9 atau ke-10, kerajaan ini dipimpin oleh Ertoghrul setelah melarikan diri dari serangan Mongol. Ia membantu Sultan Seljuk, Alauddin II, melawan Byzantium dan diberi tanah di Asia Kecil, mendirikan kota Syukud.[10] Setelah Ertoghrul wafat, putranya Usman memproklamirkan diri sebagai Padisyah al-Usman pada tahun 1300, menandai berdirinya Kerajaan Usmani. Kerajaan ini dikenal dengan penaklukan Konstantinopel pada tahun 1453 di bawah Sultan Muhammad II, yang menjadikan kota itu penghubung antara Eropa dan Asia, dan mencapai puncak kejayaannya di bawah Sulaiman I (1520-1566).[11]
Kemunduran Kerajaan Turki Usmani dimulai setelah kematian Sulaiman Al-Qonuni, ketika para penerusnya kurang mampu memimpin, ditambah dengan pemberontakan militer dan stagnasi ilmu pengetahuan. Kondisi ini berlangsung hingga abad ke-19, menjadikan Kerajaan Usmani dijuluki The Sick Man of Europe, sementara negara-negara Barat mengalami kemajuan pesat. Untuk merespons tantangan ini, Sultan Mahmud II (1807-1839) melakukan reformasi dengan meniru nilai-nilai Barat, mengubah tradisi aristokrat menjadi lebih demokratis, dan mendorong penerjemahan buku ke dalam bahasa Turki.[12] Reformasi ini melahirkan tiga aliran pembaruan: Westernisme, Islamisme, dan Nasionalisme, di mana Westernisme menekankan perlunya meninggalkan tradisi lama dan memasukkan ilmu pengetahuan modern dalam pendidikan untuk menghasilkan ulama yang berpandangan modern serta memisahkan otoritas negara dari otoritas keagamaan.[13]
Pertentangan dalam gagasan pembaruan di Turki akhirnya dimenangkan oleh golongan nasionalisme, yang ditandai dengan terpilihnya Mustafa Kemal sebagai presiden pada 11 Agustus 1923 dan proklamasi Turki sebagai negara Republik pada 29 Oktober 1923.[14] Dalam upaya membawa Turki menjadi negara modern, Kemal mengadopsi nilai-nilai Barat yang berprinsip sekularisme. Reformasi yang dimulainya termasuk penghapusan kekhalifahan pada 3 Maret 1924 dan pengesahan Undang-Undang Perdata Swiss pada tahun 1926, yang menggantikan syariat Islam. Puncaknya terjadi pada tahun 1937, ketika prinsip sekularisme secara resmi dimasukkan ke dalam konstitusi.[15]
Kritik Said Nursi atas Sekularisasi
Kebijakan Mustafa Kemal yang berfokus pada sekularisasi dan westernisasi mendapatkan kritik dari berbagai kalangan, termasuk Said Nursi, seorang ulama sufi yang dikenal sebagai Badiuzzaman. Nursi berpendapat bahwa Turki seharusnya meniru Jepang dalam mengadopsi nilai-nilai Barat, dengan fokus pada teknologi dan industri, tanpa mengabaikan budaya nasional. Ia juga menekankan pentingnya menjaga syariat Islam untuk melindungi moral generasi muda Turki.[16]
Beberapa waktu sebelum proklamasi Republik Turki, terjadi ketegangan antara Said Nursi dan Mustafa Kemal yang berakar dari perbedaan pemikiran mereka. Ketika Nursi mengunjungi Ankara, ia menyaksikan banyak anggota parlemen yang mengabaikan agama dan syiar Islam dengan alasan meniru Barat. Pada 19 Januari 1923, Nursi mengeluarkan sebuah surat yang berisi sepuluh nasihat untuk para anggota parlemen. Setelah surat itu dibacakan, banyak dari mereka yang kembali melaksanakan salat. Namun, ketua parlemen, Mustafa Kemal, bereaksi negatif terhadap pernyataan Nursi, mengatakan, “Kami memerlukan ulama seperti Anda. Kami mengundang Anda untuk mendapatkan pemikiran Anda yang cemerlang, tetapi Anda malah menyoroti masalah salat dan menimbulkan perbedaan pendapat di antara kami.”[17]
Said Nursi menanggapi pernyataan tersebut dengan tegas, sambil menunjuk Mustafa Kemal dengan dua jarinya. Ia menjelaskan bahwa iman dan salat adalah pokok utama dalam Islam, dan orang yang tidak salat dianggap sebagai pengkhianat yang keputusan-keputusannya harus ditolak. Mendengar penjelasan Nursi, Mustafa Kemal hanya terdiam dan menahan amarahnya, sebelum akhirnya meminta maaf. Dua hari kemudian, Kemal mengundang Nursi untuk pertemuan di kantornya yang berlangsung selama dua jam.[18]
Beberapa tahun kemudian, sejumlah undang-undang disahkan, menghapuskan suprastruktur keagamaan yang sudah lama ada. Menyaksikan hal ini, Said Nursi menolak kebijakan sekularisme pemerintah Republik Turki dengan memilih perlawanan melalui pendidikan moral, bukan kekerasan. Pada awal tahun 1925, ketegangan dalam masyarakat mendorong para kepala suku untuk memberontak dan meminta dukungannya. Nursi menolak, dan meskipun beberapa kepala suku mengikuti nasihatnya, pemberontakan yang dikenal sebagai Pemberontakan Syekh Said terjadi pada 13 Februari 1925.[19]
Nursi mengutamakan pendekatan damai dan keselamatan rakyat. Ketika Husain Pasya mengajaknya melawan rezim Mustafa Kemal, Nursi menolak, menjelaskan bahwa perang hanya akan menyebabkan kerusakan dan menyalahi syariat Islam. Ia percaya ada cara lain untuk menegakkan Islam tanpa pertumpahan darah. Pengalamannya sebagai tawanan perang dalam Perang Dunia I membentuk pandangannya, di mana ia menyatakan bahwa melihat peperangan membuat orang cepat tua dan merasakan penderitaan yang mendalam.
Menyaksikan agama Islam semakin terpinggirkan di Turki, Said Nursi bersama murid-muridnya mengadakan kunjungan ke berbagai daerah untuk mendakwahkan ajaran Islam. Ia juga aktif menulis sebagai bentuk perlawanan terhadap sekularisme, dan karya-karyanya kini dikenal sebagai Risalah Nur, yang merupakan masterpiece dari Badiuzzaman Said Nursi.
Respons Nursi terhadap kebijakan sekular pemerintah Republik Turki menarik untuk diteliti. Meskipun ia seorang ulama sufi, Nursi berani melawan kebijakan sekularisasi melalui pendekatan kultural, bukan bersenjata. Ia menggunakan dakwah, penulisan, dan intelektualisme sebagai alat perlawanan. Sebagai akibatnya, hampir sepanjang hidupnya dilalui dengan pengasingan dan penjara, yang ia sebut sebagai Madrasah Yusufiyah.
Meskipun sering dipenjara, Nursi terus mendidik moral masyarakat di tengah arus sekularisasi dan westernisasi. Ia menekankan pendidikan moral dan prinsip kedamaian dalam menanggapi kebijakan sekular. Nursi menolak segala bentuk kritik yang mengarah pada kekerasan, mencerminkan komitmennya pada nilai-nilai sufisme.
Hingga kini, pemikiran Nursi tetap diikuti dan dihormati, seperti oleh Yayasan Nur Semesta, sebuah lembaga pendidikan nonformal yang mengkaji nilai-nilai Badiuzzaman Said Nursi. Di Universitas Darussalam Gontor bahkan telah berdiri Nursi Centre for Research and Studies (NCRS). Pusat ini melakukan kajian dan penelitian, termasuk tema-tema yang berkaitan dengan pemikiran Nursi.[]
[1] Ş. Mardin, ‘European Culture and the Development of Modern Turkey,’ in Turkey and the European Community, ed. A. Evinand and G. Denton (Leske, Budrich: Opladen, 1990), 13-23.
[2] Syaifullah Kamalie. (2020). Biografi Badiuzzaman Said Nursi Berdasarkan Tuturannya dan Tulisan Para Muridnya,Banten: Risalah Nur Press Anggota IKAPI. Hal. 5
[3] Ichwansyah Tampubolon. (2010). Pemikiran Dan Aktivitas Dakwah Bediuzzaman Said Nursi (1877-1960),
dalam jurnal Ilmu dakwah dan komunikasi Islam, 6(10),10-20.
[4] Muhammad Faiz, Integrasi Nilai Spiritual. (2013). Intelektual Dan Moral Dalam Konsep Pendidikan Said
Nursi, Jurnal Ar-Risalah, XI (1), 22-27.
[5] Cemal Sahin. (2020). Integrasi Ilmu Kalam dan Tasawuf Menurut Said Nursi dalam Tafsir Risalah, Instutut
PTIQ, Jakarta. Hal 43-44.
[6] Irmayanti. (2017). Bediuzzaman Said Nursi Studi Tentang Perannya Perkembangan Islam Masa Pemerintahan Mustafa Kemat Attaturk, Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar. Hal. 8.
[7] Ilyas Fahmi Ramadlani. (2019). Perjuangan Bediuzzaman Said Nursi dalamMembendung Arus
Sekularisasi di Turki, Jurnal peradaban dan permikiran Islam, 3(1), 44-50.
[8] Muhammad Faiz. (2023). Mengarusutamakan Moderasi Di Tengah Pluralitas Bangsa; Studi Pemikiran
Said Nursi dan Gerakan Risalah Nur di Indonesia, Tulungagung: Akademia Pustaka. Hal. 20.
[9] Rosianti Rahmawati dan Muhammad Faiz. (2023). Gerakan Pembaharuan Risalah Nur di Turki Tahun 1908-1960 M. Advances in Humanities and Contemporary Studies, 4(2), 21-29.
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013) hlm. 129-130.
[11] Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam (Medan: Perdana Publishing, 2016) hlm. 150.
[12] Isawati, Sejarah Timur Tengah Jilid I: dari Peradaban Kuno sampai Krisis Teluk I (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012) hlm. 97
[13] Muhammad Muhtarom Ilyas, “Tiga Aliran Pembaharuan: Westernisme, Islamisme, dan Nasionalisme”, Jurnal Sosial Humaniora, Vol. 7 No. 2 (November, 2014) hlm. 267-270.
[14] Nur Azizah, “Mustafa Kemal Attaturk dan Sekularisme di Turki”, Skripsi, Program Studi Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2000) hlm. 20-21.
[15] Ibid. hlm. 58-66.
[16] Sukran Vahide, Biografi Intelektual Badiuzzaman Said Nursi: Transformasi Dinasti Usmani menjadi Republik Turki (Jakarta: Anatolia, 2013) hlm. 77.
[17] Zubeyr Gunduzalp & Mustafa Sungur, Biografi Badiuzzaman Said Nursi: Berdasarkan Tuturannya dan Tulisan Para Muridnya, terj. Saifullah Kamalie (Banten: Risalah Nur Press, 2020) hlm. 173.
[18] Sukran Vahide, Biografi Intelektual Badiuzzaman Said Nursi…, 249.
[19] Ihsan Kasim Salih, Said Nursi Pemikir dan Sufi Besar Abad 20: Membebaskan Agama dari Dogmatisme dan Sekularisme, terj. Nabilah Lubis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003) hlm. 47.