Oleh: Adib Fattah Suntoro, M.Ag
Liberalisasi pemikiran Islam di Indonesia memiliki akar yang dapat ditelusuri sejak masa penjajahan Belanda. Namun, secara sistematis, upaya ini mulai menonjol dari dalam tubuh organisasi Islam pada awal tahun 1970-an.[1] Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), Nurcholish Madjid, secara resmi mengusulkan pentingnya sekularisasi Islam. Dalam makalahnya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, ia menegaskan pentingnya liberalisasi pemikiran Islam. Ia mendorong pembaruan dengan meninggalkan nilai-nilai tradisional dan mengadopsi pandangan progresif yang berorientasi pada masa depan. Proses liberalisasi Majid ini mencakup tiga langkah utama: sekularisasi, kebebasan intelektual, dan penguatan gagasan tentang kemajuan serta sikap terbuka terhadap perubahan.[2]
Gagasan liberalisasi yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Pemikiran ini kemudian dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk memperluas diskursus liberalisasi secara lebih intensif. Dampaknya, gerakan liberalisasi yang semakin masif memicu gejolak dan berbagai peristiwa di dunia pemikiran Islam yang sulit dikendalikan. Dengan terinspirasi oleh pemikiran Harvey Cox dalam The Secular City,[3] Nurcholish Madjid membuka jalan bagi sekularisasi dan liberalisasi dalam Islam. Ia tampaknya mengambil pelajaran dari pengalaman serupa dalam tradisi Yahudi dan Kristen, sehingga melihat perlunya memulai babak baru dalam pembaruan pemikiran keagamaan di Indonesia.
Namun, apa yang dianggap sebagai pembaruan pemikiran Islam tersebut memicu kontroversi dan penolakan dari cendekiawan Muslim di Indonesia. Banyak yang melihat gagasan ini tidak hanya mengaburkan ajaran Islam yang autentik, tetapi juga membuka peluang bagi masuknya nilai-nilai asing yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Salah satu tokoh pemikir yang berada di garis depan dalam menentang gerakan liberalisasi ini adalah Hamid Fahmy Zarkasyi. Berbeda dengan sebagian besar tokoh Muslim kala itu yang lebih menggunakan pendekatan tekstual dalam mengkritisi liberalisme, Hamid mampu mengadopsi pendekatan rasional, sehingga menghasilkan kritik yang lebih mendalam dan berbobot.
Kritik terhadap liberalisasi pemikiran Islam telah dituangkan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi dalam berbagai karya, salah satunya melalui bukunya berjudul Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, yang diterbitkan oleh CIOS Universitas Darussalam Gontor.[4] Dalam buku tersebut, Hamid secara mendalam mengungkap keterkaitan antara gerakan liberalisasi dengan agenda missionaris, orientalis, dan kolonialis yang berupaya merusak prinsip-prinsip ajaran Islam. Dengan pendekatan yang kritis dan sistematis, ia menjelaskan apa itu liberalisme, bagaimana sejarah perkembangannya serta bagaimana proses liberalisasi dijalankan. Tidak hanya itu, buku ini juga menampilkan kritik ilmiah atas gerakan ini dan bagaimana sikap yang bijak bagi umat Islam dalam menghadapi liberalisasi.
Makna dan Sejarah Liberalisme
Sebelum mengungkap bagaimana gerakan liberalisiasi dijalankan, terlebih dahulu Hamid menjelaskan apa makna dari liberalisme dan bagaimana sejarahnya. Hamid mengungkap bahwa istilah “liberal” berasal dari bahasa Latin yang berarti bebas atau bukan budak. Konsep kebebasan kemudian menjadi ciri dari kelas masyarakat terpelajar di Barat, yang mendorong sikap untuk membuka pintu kebebasan berpikir (the old liberalism). Hamid menjelaskan bahwa liberalisme berkembang dalam berbagai aspek, seperti politik, sosial maupun ekonomi. Dalam konteks politik, liberalisme merujuk pada ideologi yang menempatkan individu sebagai pusat, di mana individu dianggap memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk hak atas persamaan yang dihormati, kebebasan berekspresi, serta kebebasan dari ikatan agama dan ideologi.[5] Secara sosial, liberalisme mengacu pada etika yang membela kebebasan (liberty) dan persamaan (equality), sementara dalam konteks ekonomi, menurut Alonzo L. Hamby, liberalisme adalah paham yang menekankan pada kebebasan (freedom), persamaan (equality), dan kesempatan (opportunity).[6] Artinya liberalisasi adalah proses yang mengadopsi prinsip-prinsip kebebasan individu dalam politik, sosial, dan ekonomi, yang bertujuan melepaskan masyarakat dari keterikatan tradisional dan membuka ruang bagi kebebasan berpikir, persamaan, dan kesempatan.
Sejarah liberalisme, menurut Hamid berakar dari kondisi sistem ekonomi dan politik yang feodal. Perkembangan awal dimulai pada tahun 1215, ketika Raja John di Inggris mengeluarkan Magna Charta, yang menjadi langkah awal dalam memperkenalkan prinsip-prinsip kebebasan. Selanjutnya, revolusi tak berdarah pada tahun 1688, dikenal sebagai The Glorious Revolution, berhasil menurunkan Raja James II dan James VII. Setahun setelahnya, muncul Bill of Rights yang menegaskan hak-hak individu, memperkuat dasar-dasar liberalisme di dunia Barat.
Liberalisme dalam konteks ekonomi dan politik berkembang melalui konsep ekonomi pasar bebas yang dikenal dengan laissez-faire, dipopulerkan oleh Adam Smith pada abad ke-18. Sementara di Prancis pada 1700-an, Montesquieu mengusulkan pemisahan kekuasaan sebagai dasar sistem politik liberal, dan Rousseau menekankan bahwa kekuasaan sejatinya milik rakyat. Pada puncaknya, liberalisme pada abad ke-19 mendorong dihapuskannya praktik perbudakan. Di abad ke-20, prinsip-prinsip liberalisme terus berkembang dengan penerapan demokrasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta kebebasan individu yang lebih luas.
Sementara itu, liberalisme keagamaan awalnya muncul dari Revolusi Prancis, yang salah satu tuntutannya adalah pemisahan otoritas keagamaan dari kekuasaan negara. Perkembangan pemikiran liberal dalam konteks keagamaan meliputi beberapa fase utama. Fase pertama dapat dilihat sejak abad ke-17, ketika Renaissance mendorong gerakan Enlightenment yang dipelopori oleh Rene Descartes, yang menekankan penggunaan akal sehat. Kemudian pada abad ke-18, individualisme berkembang dengan pemikiran Kant yang menekankan otonomi moral individu. Sementara pada abad ke-19 hingga 20, liberalisme keagamaan terus berevolusi ke arah modernisme dan postmodernisme. Adapun di Amerika Serikat, karakteristik liberalisme keagamaan terlihat jelas dalam lima aspek, yaitu percaya pada Tuhan tetapi tidak sebagai Tuhan Kristen, memisahkan doktrin Kristen dari etika Kristen, menolak doktrin ortodoks Kristen, mendukung pemisahan gereja dan negara, serta menegakkan kebebasan dan toleransi dalam beragama.
Liberalisasi Pemikiran Islam di Indonesia
Liberalisasi pemikiran Islam di Indonesia mulai muncul sejak awal abad ke-20, dipicu oleh interaksi antara tradisi keagamaan lokal dengan pemikiran Barat yang masuk selama masa kolonial. Gerakan ini memperkenalkan ide-ide yang mendorong pembaruan dalam memahami ajaran Islam, seperti sekularisasi, kebebasan intelektual, dan penerimaan terhadap modernitas. Nurcholish Madjid, salah satu tokoh yang paling berpengaruh, menjadi motor penggerak utama liberalisasi dengan gagasannya tentang pentingnya melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan membuka pintu terhadap nilai-nilai masa depan.
Liberaliasi pemikiran Islam di Indonesia juga mendapat dukungan dari beberapa lembaga dan jaringan internasional, seperti The Asian Foundation yang aktif mendanai penyebaran gagasan ini. Hamid Fahmy Zarkasyi mengungkap bahwa The Asian Foundation telah memberikan bantuan kepada berbagi ormas Islam sejak 1970-an. Bahkan The Asian Foundation telah membantu lebih dari 30 LSM guna mempromosikan konsep bahwa nilai-nilai Islam itu dapat menjadi asas bagi sistem politik demokratis, ati-kekerasan, dan toleransi beragama.[7]
Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi proyek liberalisasi ini dijalankan oleh tiga kekuatan yang saling menopang, yaitu orientalis, kolonialis dan missionaris. Hamid menjelaskan ketika Barat masuk ke wilayah-wilayah Muslim, mereka tidak hanya membawa misi politik, ekonomi, dan kebudayaan, tetapi juga menyertakan agenda keagamaan dan seperangkat doktrin yang didasarkan pada pandangan hidup mereka. Aktivitas missionaris yang mereka jalankan terbagi menjadi dua, yaitu distruksi pemikiran dan proses konversi. Distruksi pemikiran bertujuan untuk mengubah cara pandang umat Islam, menjauhkan mereka dari ajaran agamanya, dan menggantinya dengan pola pikir yang sejalan dengan perspektif Barat. Hal ini, seperti yang diakui oleh Samuel Zwemmer, merupakan strategi untuk melemahkan keterikatan umat Islam pada keyakinan mereka. Selain itu, melalui proses konversi, Barat berusaha memurtadkan umat Islam dengan mengalokasikan dana besar untuk mendukung upaya ini. Strategi ini menjadi salah satu cara efektif dalam melemahkan kekuatan umat Islam, baik secara pemikiran maupun keyakinan.[8]
Adapun gerakan orientalisme, menurut Hamid, mulai dikenal pada abad ke-18, berawal dari upaya penerjemahan berbagai karya khazanah intelektual Islam di Eropa. Gerakan ini kemudian berkembang pesat hingga menjadi tradisi akademik yang mapan di universitas-universitas Barat. Secara umum, terdapat dua motif utama di balik kajian orientalis terhadap Islam, yaitu motif keagamaan dan motif politik. Motif keagamaan muncul karena Islam dianggap sebagai agama yang bertentangan dengan doktrin keagamaan Barat. Islam sering dipandang mengkritik dan mengoreksi keyakinan mereka, sehingga mereka merasa perlu untuk menyerang Islam. Sementara itu, motif politik didorong oleh pandangan Barat terhadap Islam sebagai peradaban besar yang berhasil menyebar ke seluruh dunia, tidak hanya karena kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga karena tradisi keilmuan yang luar biasa. Dalam upaya melemahkan pengaruh ini, orientalis berusaha menjauhkan umat Islam dari tradisi keilmuan yang sejati dengan menimbulkan kebingungan dan keraguan terhadap agama mereka sendiri.[9]
Sementara itu, kolonialisme, menurut Hamid merupakan kekuatan politik yang bertujuan menyebarkan budaya dan kultur Barat, dengan motif utama berupa kepentingan ekonomi dan politik. Cheryl Bernard, melalui lembaga Rand Corporation, merancang strategi untuk menguasai dunia Islam dengan membagi umat Islam ke dalam empat kategori: fundamentalis, tradisionalis, modernis, dan sekularis. Berdasarkan pembagian ini, mereka kemudian merumuskan langkah-langkah strategis dan praktis untuk mencapai tujuan tersebut.[10]
Hamid Fahmy Zarkasyi menyoroti berbagai upaya liberalisasi pemikiran Islam yang dilakukan melalui penyebaran sejumlah gagasan tertentu. Di antaranya adalah (1) doktrin relativisme yang merelatifkan kebenaran agama, (2) kritik terhadap al-Qur’an yang bertujuan melemahkan otoritasnya, serta (3) penguatan paham pluralisme agama yang menyamaratakan semua keyakinan. Selain itu, terdapat pula upaya (4) mendekonstruksi syariah untuk menggoyahkan dasar hukum Islam, serta penyebaran ide (5) feminisme dan gender yang kerap bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Strategi ini, menurut Hamid, menjadi bagian dari agenda besar untuk mengubah cara pandang umat terhadap agama mereka.[11] Berikut ini penjelasan ringakas dari masing-masing agenda tersebut.
- Penyebaran doktrin relativisme
Doktrin relativisme awalnya berasal dari pemikiran Protagoras, seorang filsuf Sofis yang mengemukakan prinsip bahwa “manusia adalah ukuran segala sesuatu” (man is the measure of all things). Pandangan ini menempatkan manusia sebagai penentu kebenaran, sehingga segala sesuatu bersifat relatif terhadap persepsi individu. Pemikiran ini kemudian berkembang menjadi landasan bagi filsafat modern, termasuk dalam doktrin nihilisme yang dipopulerkan oleh Friedrich Nietzsche. Nietzsche mengajukan gagasan “God is dead” sebagai simbol kematian otoritas absolut, termasuk nilai-nilai moral dan agama, yang selama ini dianggap sebagai landasan kehidupan manusia. Kedua doktrin ini, relativisme dan nihilisme, membuka jalan bagi pandangan dunia yang mengesampingkan kebenaran universal dan menggantinya dengan perspektif subjektif. Hal ini memiliki implikasi besar terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk filsafat, etika, dan agama, di mana kebenaran cenderung dianggap sebagai sesuatu yang fleksibel dan tergantung pada interpretasi individu.[12]
Hamid menjelaskan bahwa doktrin relativisme mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran absolut, termasuk dalam ranah agama. Pandangan ini menolak klaim bahwa agama memiliki otoritas untuk menetapkan kebenaran universal. Relativisme kemudian berkembang menjadi doktrin global yang memengaruhi berbagai disiplin ilmu pengetahuan, di mana kebenaran dianggap bersifat subjektif dan kontekstual, bergantung pada perspektif individu atau budaya tertentu. Pendekatan ini, meskipun tampak inklusif, berpotensi mereduksi nilai-nilai universal yang selama ini menjadi fondasi peradaban, termasuk dalam pemikiran agama.[13]
Pengaruh doktrin ini tidak hanya terbatas pada dunia akademik Barat, tetapi juga mulai merasuk ke kalangan cendekiawan Muslim. Beberapa pendidik Muslim bahkan mengadopsi pandangan ini dengan mengajarkan kepada mahasiswa bahwa kebenaran tidak memihak, dan pemikiran manusia bersifat relatif. Mereka menyatakan bahwa satu-satunya kebenaran absolut hanyalah Tuhan, sementara segala sesuatu yang dipahami manusia adalah hasil interpretasi subjektif.[14] Meskipun pernyataan ini terlihat menekankan keagungan Tuhan, pendekatan semacam ini dapat berimplikasi pada pengaburan prinsip-prinsip dasar agama dan melemahkan keyakinan terhadap kebenaran yang bersumber dari wahyu Ilahi. Hal ini menimbulkan tantangan besar bagi umat Islam untuk tetap mempertahankan nilai-nilai kebenaran yang bersandar pada al-Qur’an dan sunnah di tengah arus relativisme global.
- Melakukan kritik terhadap Al-Qur’an
Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, selain menanamkan doktrin relativisme, langkah liberalisasi yang paling strategis adalah melakukan kritik terhadap Al-Qur’an, sebuah skenario yang didasarkan pada pengalaman Barat Kristen. Salah satu contoh signifikan adalah karya Theodore Noldeke, Sejarah Al-Qur’an. Akibatnya penerapan metode kritis ilmiah (biblical criticism), muncul berbagai pandangan kontroversial dari para orientalis, seperti klaim bahwa Al-Qur’an mengalami distorsi, standarisasi teksnya didorong oleh motif politik, Al-Qur’an ditulis dalam bahasa Aram, bukan bahasa Arab, hingga anggapan bahwa Al-Qur’an merupakan karangan Nabi Muhammad sendiri. Pandangan ini menjadi titik awal diskursus yang kompleks dalam studi Al-Qur’an.[15]
Upaya kritik terhadap Al-Qur’an ini kemudian diadopsi oleh seorang dosen di Makassar yang menulis karya bertema kritik teks Al-Qur’an. Dalam tulisannya, ia mengemukakan bahwa mushaf Utsmani masih menyisakan berbagai masalah mendasar terkait tulisan dan bacaan. Selain itu, ia juga menerbitkan buku berjudul Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, di mana ia mempertanyakan kesempurnaan mushaf Utsmani dan berpendapat bahwa mushaf tersebut tidak layak untuk dianggap suci.[16]
Hamid menjelaskan bahwa kritik terhadap Al-Qur’an juga berkaitan erat dengan penerapan metode hermeneutika dalam memahami teksnya. Langkah pertama dalam hermeneutika adalah mengubah status Al-Qur’an dari teks suci menjadi teks yang bersifat basyari (manusiawi). Setelah itu, teks tersebut didekonstruksi melalui berbagai analisis kritis. Dengan pendekatan hermeneutika, seseorang dapat menginterpretasi ulang teks (nash) dan memodifikasi maknanya dari konteks aslinya, sehingga makna baru yang dihasilkan lebih sesuai dengan konteks sosial yang bersifat humanis. Pendekatan ini sering kali digunakan untuk menantang pemahaman tradisional terhadap Al-Qur’an.[17]
- Penyebaran paham pluralisme agama
Penyebaran paham pluralisme agama merupakan salah satu agenda penting dalam proses liberalisasi pemikiran Islam. Paham ini berkaitan erat dengan gagasan postmodernisme, khususnya dekonstruksionisme, yang menekankan bahwa semua agama dianggap sama baik dan benarnya. Secara umum, pluralisme agama terbagi menjadi dua aliran besar, yaitu konsep kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religions) dan teologi global (global theology). Meskipun berbeda dalam pendekatan, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni menghapus sifat eksklusivitas dalam agama-agama. Salah satu upaya strategis yang digunakan adalah melalui dekonstruksi makna tradisional istilah seperti ahlulkitab, sehingga konsep ini direinterpretasi agar mencakup makna yang lebih universal dan inklusif.[18]
Salah satu tokoh utama dalam pluralisme agama, John Hick, berpendapat bahwa semua agama, tanpa kecuali, merupakan jalan yang sah menuju satu kebenaran universal. Menurutnya, perbedaan doktrin dalam agama-agama hanyalah ekspresi kontekstual dari pengalaman manusia terhadap realitas ilahi yang sama. Doktrin ini pada intinya menghapus klaim keunggulan atau eksklusivitas suatu agama tertentu, mendorong pandangan bahwa semua tradisi religius memiliki nilai yang setara dalam membawa manusia menuju kebenaran dan keselamatan. Pendekatan ini tidak hanya menantang pandangan tradisional, tetapi juga menjadi isu yang memicu perdebatan teologis yang intens di kalangan pemikir Islam.[19]
- Mendekonstruksi syariah
Salah satu cara agar Islam dapat dipahami sesuai dengan kerangka pemikiran Barat adalah melalui dekonstruksi syariah, yang dilakukan dengan mengubah cara penafsiran terhadap teks-teks keagamaan. Strategi ini mencakup beberapa pendekatan, seperti menekankan kontekstualisasi ijtihad, mengutamakan rasionalitas dan pembaruan, serta mengembangkan paham pluralisme sosial dan agama. Dalam hal kontekstualisasi Al-Qur’an, misalnya, Al-Qur’an sering kali diposisikan sebagai respons spontan terhadap kondisi sosial masyarakat Arab pada masa pewahyuannya, sehingga dianggap bersifat kontekstual. Bahkan, Nasr Hamid Abu Zaid menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya, yang secara logis berarti bahwa sifatnya tidak universal. Akibatnya, dalil ushuliyah al-‘ibratu bi ‘umumi al-lafzh la bi khususi as-sabab diganti menjadi al-‘ibratu bi khususi as-sabab la bi ‘umumi al-lafzh, sehingga perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dipahami berdasarkan konteks budaya saat teks tersebut diturunkan.[20]
Konsekuensi dari pendekatan ini adalah orientasi hukum Islam menjadi berbasis pada konteks budaya tertentu, yang membuka ruang bagi dekonstruksi berbagai hukum syariah. Banyak hukum yang dianggap bersifat universal, seperti larangan khamr, zina, dan pembagian warisan, direduksi menjadi ketentuan yang hanya relevan pada masa lalu. Dengan mengubah orientasi hukum menjadi lebih kontekstual, berbagai ketentuan syariah direkonstruksi ulang agar sesuai dengan nilai-nilai modern dan pemikiran humanis. Namun, pendekatan ini menuai kritik tajam karena berpotensi menghilangkan dimensi transendensi dan universalitas hukum Islam yang merupakan inti dari wahyu Ilahi.[21]
- Penyebaran paham feminisme dan gender
Gerakan feminisme dan gender berakar dari pandangan hidup dan kondisi sosial budaya masyarakat Barat. Inti gerakan ini adalah upaya untuk mengubah pandangan masyarakat bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidak ditentukan oleh faktor biologis, melainkan oleh konstruksi sosial budaya. Oleh karena itu, konsep gender yang ada dianggap dapat diubah dengan merekonstruksi cara pandang masyarakat. Gerakan ini didasari oleh doktrin kesetaraan (equality) dalam semua aspek kehidupan, termasuk sosial dan seksual. Sebagai contoh, feminisme radikal menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, termasuk dalam hal kepuasan seksual, yang diklaim dapat diperoleh dari sesama jenis. Dengan demikian, gerakan ini mendukung hak-hak lesbianisme dan homoseksualitas serta mendorong kemandirian perempuan tanpa bergantung pada laki-laki. Paham ini juga disebarluaskan oleh tokoh-tokoh seperti Irsyad Manji, yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan ide-idenya, serta melalui buku-buku karya Aminah Wadud, Fatimah Mernissi, dan Binti Syati’, yang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.[22]
Hamid menjelaskan bahwa pengaruh feminisme dan gender ini, yang berpadu dengan pendekatan baru dalam memahami syariah, telah melahirkan sejumlah ijtihad hukum yang tidak merujuk pada pendapat ulama klasik dan sering kali dianggap asing dalam tradisi Islam. Misalnya, ada klaim bahwa poligami seharusnya diharamkan, serta pandangan yang menghalalkan perkawinan beda agama antara seorang muslim atau muslimah dengan non-muslim. Selain itu, beberapa pandangan mengusulkan pernikahan tanpa wali, di mana ijab-qabul dapat dilakukan oleh calon mempelai sendiri tanpa keterlibatan pihak ketiga. Hal ini juga mencakup gagasan bahwa masa iddah tidak hanya diwajibkan bagi perempuan, tetapi juga laki-laki dengan durasi 130 hari, serta pendapat bahwa pembagian warisan harus sama rata antara laki-laki dan perempuan.[23]
Pada akhirnya, liberalisasi pada dasarnya bertujuan membebaskan manusia dari aturan agama, dengan keyakinan bahwa manusia mampu mengatur dirinya sendiri tanpa memerlukan petunjuk Tuhan. Dalam pandangan kaum liberal, agama sering kali direduksi menjadi sekadar aliran kepercayaan yang diciptakan manusia untuk memenuhi kebutuhan akan sesuatu yang transenden. Pemikiran ini jelas bertentangan dengan prinsip Islam yang menempatkan agama sebagai sumber utama petunjuk hidup. Oleh karena itu, umat Islam perlu waspada agar tidak terjebak dalam paham liberalisme yang berpotensi melemahkan akidah dan nilai-nilai syariah.
Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan umat Islam untuk menangkal pengaruh liberalisme. Pertama, menanamkan kesadaran bahwa produk-produk pemikiran Barat tidak sejalan dengan ajaran Islam. Kedua, memperluas cakupan tradisi bahtsul masail, tidak hanya berfokus pada pemikiran ulama klasik tetapi juga mengkaji pemikiran Barat yang menjadi tantangan bagi umat. Ketiga, melakukan kaderisasi dan menyediakan pendidikan yang baik untuk mencetak generasi penerus yang memahami Islam secara komprehensif dan tidak terpengaruh paham liberal. Terakhir, para pengusaha dan pihak yang berkecukupan secara finansial diharapkan memberikan dukungan dengan mendanai lembaga-lembaga keislaman agar mampu menjadi benteng bagi umat dalam menghadapi arus liberalisasi.[]
[1] Adian Husaini, “Liberalisasi Islam Di Indonesia,” Gema Insani (Jakarta: Gema Insani, 2015), 1, ardianfajar.wordpress.com.
[2] Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam Dan Masalah Integrasi Umat,” PUSAD Paramadina, 1970, https://www.paramadina-pusad.or.id/keharusan-pembaruan-pemikiran-islam-dan-masalah-integrasi-umat/.
[3] Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective (Princeton: Princeton University Press, 2013), https://doi.org/10.1080/10848770.2016.1169591.
[4] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, Dan Kolonialis (Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2008).
[5] Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1996), v.s. liberalism sebagaimana dikutip oleh Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, pt. 25.
[6] Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, Dan Kolonialis, pt. 26.
[7] Zarkasyi, pt. 87.
[8] Zarkasyi, pts. 47–56.
[9] Zarkasyi, pts. 56–67.
[10] Zarkasyi, pts. 67–84.
[11] Zarkasyi, pt. 92.
[12] Zarkasyi, pt. 92.
[13] Zarkasyi, pt. 93.
[14] Zarkasyi, pt. 93.
[15] Zarkasyi, pt. 100.
[16] Zarkasyi, pt. 101.
[17] Zarkasyi, pt. 104.
[18] Zarkasyi, pt. 106.
[19] Zarkasyi, pt. 107.
[20] Zarkasyi, pt. 108.
[21] Zarkasyi, pt. 109.
[22] Zarkasyi, pt. 113.
[23] Zarkasyi, pt. 115.