Sama seperti Naquib al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi juga melihat bahwa hegemoni Barat melalui westernisasi telah menginfiltrasi pemikiran muslim hingga di bidang keilmuan. Bahkan tidak sedikit sarjana-sarjana muslim yang berpendidikan Barat telah memperkuat westernisasi dan sekularisasi di lingkungan perguruan tinggi. Ironisnya, meskipun umat Muslim dalam lingkungan perguruan tinggi dan di kalangan cendekiawan telah terpengaruh oleh budaya Barat, namun tetap saja mereka belum mampu menghasilkan prestasi yang sebanding dengan keunggulan kreatifitas Barat. Fenomena ini terjadi karena Islam telah kehilangan inti dari pandangan vertikalnya, yaitu pandangan yang terhubung erat dengan nilai-nilai Islam. Al-Faruqi menyebut hal ini sebagai “the lack of vision”(kekurangan visi), yang menggambarkan keadaan di mana umat Islam kehilangan pemahaman yang jelas tentang tujuan yang harus dicapai dan diperjuangkan hingga berhasil.[1] Untuk itu, diperlukan Islamisasi sebagai respons dan solusi atas westernisasi ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslimin.
Landasan Epistemologi
Islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Faruqi, berorientasi pada paradigma pengetahuan manusia yang disusun kembali dari sudut pandang Islam. Untuk itu al-Faruqi membangun landasan epistemologi Islamisasinya para “prinsip tauhid” yang terdiri dari lima macam kesatuan. Pertama, Konsep Keesaan Tuhan menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang menciptakan dan mengurus alam semesta. Dalam konteks pengetahuan, hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidaklah hanya tentang menjelaskan dan memahami realitas sebagai sesuatu yang terpisah dari realitas yang mutlak (Tuhan), tetapi juga sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan Tuhan itu sendiri.[2]
Kedua, prinsip kesatuan penciptaan mengindikasikan bahwa semua aspek semesta, baik yang bersifat materi, psikis, spasial, biologis, sosial, maupun estetis, merupakan satu kesatuan yang utuh. Dalam konteks Islamisasi ilmu, hal ini menegaskan bahwa setiap penelitian dan upaya pengembangan ilmiah harus diarahkan sebagai cerminan dari keyakinan keagamaan dan pelaksanaan ibadah kepada Tuhan.[3]
Ketiga, prinsip kesatuan kebenaran dan pengetahuan menegaskan bahwa semua pengetahuan berasal dari satu realitas tunggal, yaitu Tuhan, sehingga kebenaran tidak dapat ada lebih dari satu. Ini berarti tidak mungkin ada konflik antara wahyu dan akal pikiran, karena sifat kebenaran yang absolut berasal dari Yang Maha Absolut, yaitu Tuhan.[4]
Keempat, konsep kesatuan kehidupan, artinya dalam Islamisasi harus ditegaskan bahwa tidak ada pemisahan antara aspek spiritual dan materi, serta antara dimensi jasmani dan rohani. Al-Faruqi berpendapat bahwa kehendak Tuhan terwujud melalui hukum alam (sunnatullah) yang bisa diamati dan hukum moral yang harus diikuti, dan keduanya berjalan sejalan dalam karakter seorang Muslim.[5]
Kelima, kesatuan umat manusia. Prinsip ini menurut Al-Faruqi menunjukkan bahwa tata sosial dalam Islam bersifat universal, mencakup seluruh manusia tanpa memandang perbedaan. Istilah “umat” digunakan untuk kelompok Muslim, tanpa membedakan bangsa, suku, atau etnis. Konsep ini menekankan bahwa pemahaman umat bersifat lintas batas geografis, ekologis, dan etnis. Dalam konteks Islamisasi, hal ini mengajarkan bahwa setiap perkembangan ilmu harus didasarkan pada kepentingan kemanusiaan secara keseluruhan, bukan hanya kepentingan kelompok atau ras tertentu.[6]
Islamisasi ilmu, menurut konsepsi Al-Faruqi, bertujuan untuk memberikan respons positif terhadap dominasi ilmu pengetahuan modern yang cenderung sekularis dalam pendekatan menyeluruh terhadap pengetahuan baru. Secara rinci, tujuan tersebut mencakup lima aspek utama: (1) Penguasaan terhadap disiplin-disiplin modern, (2) Penguasaan terhadap warisan intelektual Islam, (3) Penentuan relevansi khusus Islam dalam setiap bidang ilmu pengetahuan modern, (4) Pencarian cara kreatif untuk menyintesakan warisan intelektual Islam dengan ilmu pengetahuan modern, (5) Pengarahan pemikiran Islam menuju kepada prinsip-prinsip yang sesuai dengan rencana Allah.[7]
Langkah Kerja Sistematis
Untuk mencapai tujuan tersebut, Al-Faruqi merancang 12 langkah sistematis dalam proses Islamisasi ilmu pengetahuan. Langkah pertama adalah penguasaan terhadap disiplin ilmu modern. Al-Faruqi menjelaskan bahwa langkah awal ini melibatkan analisis terperinci terhadap ilmu modern, dengan memecahnya menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi, permasalahan, dan topik yang sejalan dengan struktur isi buku teks klasik..[8]
Langkah kedua adalah melakukan survei terhadap disiplin ilmu. Setelah kategori-kategori disiplin ilmu telah ditetapkan, sebuah survei komprehensif perlu disusun untuk setiap disiplin ilmu tersebut. Langkah ini penting untuk memungkinkan sarjana-sarjana Muslim memperoleh pemahaman yang mendalam tentang setiap disiplin ilmu modern, sehingga mereka dapat mengidentifikasi dengan baik kelebihan dan kekurangan masing-masing disiplin ilmu tersebut.[9]
Ketiga, menguasai warisan intelektual Islam. Warisan intelektual Islam perlu dipahami dengan cermat, terutama terkait dengan disiplin ilmu yang bersangkutan.[10] Sedangkan langkah keempat adalah menganalisis secara mendalam warisan intelektual Islam. Pada tahap ini, dilakukan analisis terhadap warisan intelektual Islam dengan memperhatikan konteks historisnya dan relevansinya dengan berbagai aspek kehidupan manusia.[11]
Langkah kelima adalah menetapkan relevansi khusus Islam dalam setiap disiplin ilmu. Menurut Al-Faruqi, relevansi ini dapat dikonfirmasi dengan menjawab tiga pertanyaan: (1) kontribusi apa yang telah diberikan Islam, mulai dari Alquran hingga pemikiran modernis, dalam isu-isu yang telah diakui oleh ilmu-ilmu modern; (2) seberapa signifikan kontribusi tersebut dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah dicapai oleh disiplin-disiplin ilmu modern tersebut; dan (3) jika ada area di mana warisan intelektual Islam kurang menekankan, bagaimana kaum Muslim dapat berupaya mengisi kekosongan tersebut.[12]
Langkah keenam melibatkan evaluasi kritis terhadap disiplin ilmu modern dan perkembangannya saat ini. Setelah melakukan deskripsi dan analisis terhadap berbagai disiplin ilmu, tahap selanjutnya adalah melakukan evaluasi kritis terhadap masing-masing disiplin ilmu dari perspektif Islam.[13]
Ketujuh, evaluasi kritis terhadap warisan intelektual Islam. Analisis harus dilakukan terhadap kontribusi warisan intelektual Islam dalam berbagai aspek kehidupan manusia, dan relevansinya dengan kondisi kontemporer harus diidentifikasi.[14]
Langkah kedelapan adalah melakukan survei terhadap tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam. Suatu penelitian yang sistematis perlu dilakukan untuk memahami masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual, budaya, moral, dan spiritual yang dihadapi oleh umat Muslim.[15]
Langkah kesembilan melibatkan survei terhadap tantangan yang dihadapi oleh umat manusia. Sebagian dari wawasan dan pandangan Islam adalah bertanggung jawab tidak hanya terhadap kesejahteraan umat Muslim, tetapi juga terhadap kesejahteraan seluruh umat manusia dengan segala keragaman dan bahkan mencakup seluruh alam semesta.[16]
Pada langkah kesepuluh, dilakukan analisis sintesis yang kreatif. Pada tahap ini, sarjana Muslim diharapkan mampu menyatukan warisan intelektual Islam dengan konsep-konsep dalam disiplin ilmu modern, serta mengatasi kesenjangan yang menghambat perkembangan peradaban Islam selama berabad-abad.[17]
Langkah kesebelas melibatkan penyusunan ulang disiplin ilmu dalam kerangka kerja Islam. Pada tahap ini, seimbangnya integrasi antara warisan intelektual Islam dan disiplin ilmu modern telah tercapai. Dengan demikian, buku-buku teks universitas perlu disusun kembali untuk mencerminkan pandangan Islam dalam disiplin-disiplin ilmu tersebut.[18]
Langkah terakhir, yaitu langkah kedua belas, melibatkan penyebaran ilmu yang telah diintegrasikan dengan prinsip-prinsip Islam. Setelah disiplin ilmu modern berhasil direformasi dengan baik sesuai dengan perspektif Islam, langkah selanjutnya adalah menyebarkan karya-karya yang berharga tersebut kepada seluruh masyarakat Muslim.[19]
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa dengan pendekatan yang sistematis dan terperinci, konsep Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Ismail Raji al-Faruqi menawarkan pandangan yang holistik dan progresif terhadap pengintegrasian nilai-nilai Islam dengan pengetahuan modern. Melalui pemahaman yang dalam terhadap prinsip-prinsip tauhid dan kesatuan, serta langkah-langkah metodologis yang terstruktur, upaya Islamisasi ilmu bukan hanya mengarah pada penguasaan disiplin ilmu modern dan warisan intelektual Islam, tetapi juga pada sintesis kreatif antara keduanya. Dengan demikian, tujuan utama Islamisasi ilmu adalah tidak hanya memperkaya pemahaman akademis umat Muslim, tetapi juga menginspirasi perkembangan peradaban yang berdasarkan pada nilai-nilai Islam yang inklusif dan universal, yang pada gilirannya berkontribusi pada kemajuan dan kesejahteraan manusia secara keseluruhan.[]
Oleh: Adib Fattah Suntoro. M.Ag.*
*Peneliti Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS) Universitas Darussalam Gontor
[1] Erni Haryanti Ela Komala, Nanat Fatah Natsir, “Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Ismail Raji Al-Faruqi,” Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan 7, no. 8 (2021): 766, https://doi.org/10.5281/zenodo.5809015.
[2] Asnawan, “Diskursus Islamisasi Ilmu Perspektif Ismail Raji Al-Faruqi,” Adabiyah Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 1 (2017): 7, https://doi.org/10.21070/ja.v2i1.1256.
[3] Ahmad Khudori Soleh, “Mencermati Gagasan Lslamisasi Llmu Al-Faruqi,” El-Harakah 4, no. 2 (2002): 10.
[4] Iqbal Maulana Alfiansyah, “Islamisasi Sains Perspektif Ismail Raji Al-Faruqi Sebagai Upaya Mengintegrasikan Sains Dan Ilmu Agama,” in Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam Dan Sains, vol. 3, 2021, 142.
[5] Soleh, “Mencermati Gagasan Lslamisasi Llmu Al-Faruqi,” 11.
[6] Asnawan, “Diskursus Islamisasi Ilmu Perspektif Ismail Raji Al-Faruqi,” 9.
[7] Ela Komala, Nanat Fatah Natsir, “Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Ismail Raji Al-Faruqi,” 767–768.
[8] Soleh, “Mencermati Gagasan Lslamisasi Llmu Al-Faruqi,” 12.
[9] Alfiansyah, “Islamisasi Sains Perspektif Ismail Raji Al-Faruqi Sebagai Upaya Mengintegrasikan Sains Dan Ilmu Agama,” 143.
[10] Zuhdiyah, “Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-Faruqi,” Tadrib II, no. 2 (2016): 11.
[11] Soleh, “Mencermati Gagasan Lslamisasi Llmu Al-Faruqi,” 31.
[12] Ela Komala, Nanat Fatah Natsir, “Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Ismail Raji Al-Faruqi,” 768.
[13] Soleh, “Mencermati Gagasan Lslamisasi Llmu Al-Faruqi,” 14.
[14] Alfiansyah, “Islamisasi Sains Perspektif Ismail Raji Al-Faruqi Sebagai Upaya Mengintegrasikan Sains Dan Ilmu Agama,” 143.
[15] Ela Komala, Nanat Fatah Natsir, “Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Ismail Raji Al-Faruqi,” 768.
[16] Soleh, “Mencermati Gagasan Lslamisasi Llmu Al-Faruqi,” 15.
[17] Ela Komala, Nanat Fatah Natsir, “Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Ismail Raji Al-Faruqi,” 768.
[18] Zuhdiyah, “Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-Faruqi,” 11.
[19] Soleh, “Mencermati Gagasan Lslamisasi Llmu Al-Faruqi,” 16.