Konflik Israel-Palestina yang semakin memanas belakangan ini telah menyita perhatian warga Dunia. Melalui media sosial, kita disuguhkan berbagai video dan foto yang menampilkan kondisi mengenaskan di Palestina. Ribuan warga sipil tak berdosa, baik dari kalangan lansia, wanita, anak-anak bahkan bayi, menjadi korban. Ratusan bangunan baik gedung sekolah, rumah, masjid, hingga rumah sakit luluh lantah. Sebagai bentuk kecaman dan kepedulian atas tragedi ini, aksi solidaritas digalakan di berbagai penjuru dunia. Seruan boikot terhadap berbagai produk yang diduga mendukung Israel juga menggema di mana-mana.
Namun di sisi lain, sejumlah media Barat dan publik figur yang pro Israel membuat narasi bahwa Israel hanya membela diri atas serangan pejuang Hamas pada 7 September 2023 lalu. Narasi ini menggiring opini, seolah ini adalah konflik yang baru. Padahal faktanya, konflik ini telah bermula sejak puluhan tahun yang lalu. Yaitu bermula dari gerakan Zionisme yang diprakarsai oleh Theodor Herzl, yang menjadi dalang penjajahan Israel atas Palestina.
Siapakah Theodor Herzl?
Theodor Herzl (Ibrani: תאודור הֶרְצֵל), lahir pada 2 Mei 1860, merupakan seorang jurnalis, pengacara, dan aktivis politik Austria-Hongaria yang memainkan peran sentral dalam awal gerakan Zionisme. Herzl dibesarkan dalam keluarga Yahudi di Budapest, dan pengalaman ini sangat memengaruhi perspektifnya terhadap isu-isu Yahudi.
Dikenal juga dengan nama Ibrani Binyamin Ze’ev (Ibrani: בִּנְיָמִין זְאֵב), Herzl menerima pendidikan yang dipengaruhi oleh semangat pencerahan Yahudi Jerman dan menghargai nilai-nilai budaya modern. Namanya kemudian diabadikan dalam Deklarasi Kemerdekaan Israel, dan secara resmi diakui sebagai “Bapak Negara Yahudi” (The Father of the Jewish State).
Herzl berupaya keras untuk mencapai visinya, dan kontribusinya terhadap gerakan Zionisme tercermin dalam upaya kerasnya untuk membentuk sebuah tanah air bagi orang Yahudi di Palestina. Pada tanggal 3 Juli 1904, Herzl meninggal dunia, tetapi warisannya terus hidup melalui peranannya yang penting dalam sejarah pendirian Negara Israel.
Theodor Herzl memiliki peran kunci sebagai pemimpin intelektual dan politik dalam gerakan Zionisme. Perannya mencuat ketika ia memimpin Kongres Zion Pertama di Basel, Swiss, pada tahun 1897. Herzl berperan penting dalam merumuskan visi politik untuk mendirikan negara Yahudi dan mendirikan Federasi Zionis Dunia untuk mengoordinasikan usaha Zionis global. Awalnya, Herzl pindah ke Wina pada tahun 1878 untuk mengejar pendidikan hukum dan kemudian menjadi penulis drama, wartawan, dan penulis koran.
Pengaruh besar terhadap Herzl datang dari Peristiwa Dreyfus di Prancis pada tahun 1894, yang membawa kesadaran akan penindasan terhadap kaum Yahudi di wilayah kekaisaran Rusia dan sebagian Eropa Timur. Kesadaran ini mendorongnya untuk menerbitkan buku Der Judenstaat (Negara Yahudi) pada tahun 1896, di mana ia mengusulkan pendirian negara Yahudi, meskipun mendapat kritik.
Pada Kongres Zion Pertama di Basel pada tahun 1897, Herzl diangkat sebagai pemimpin gerakan dan menyampaikan tujuan utama gerakan Zionis. Selanjutnya, Herzl melakukan upaya diplomatik, termasuk berusaha membujuk Sultan Abdul Hamid II untuk mengizinkan pemukiman Yahudi di Palestina, yang ditolak mentah-mentah oleh Sultan.
Selain Palestina, Herzl juga mempertimbangkan daerah lain seperti Uganda sebagai alternatif tempat pendirian negara Yahudi. Namun, usulan ini ditolak oleh beberapa aktivis Zionis. Pengembangan selanjutnya melibatkan konflik Israel-Palestina dan akhirnya pendirian Negara Israel pada tahun 1948, yang merupakan kelanjutan dari gerakan Zionisme yang dipimpin oleh Herzl.
Sejarah munculnya Zionisme
Asal usul nama Zionisme, menurut beberapa sarjana, memiliki beberapa versi. Beberapa mengaitkannya dengan salah satu dari empat gunung tempat kota Aurushlīm (kota perdamaian atau Yerusalem) dibangun, sementara yang lain berpendapat bahwa kata ini berasal dari bahasa Arab al-Shawn wa al-Tahshin (perlindungan dan benteng), merujuk pada benteng al-Quds. Pendapat ini pada dasarnya serupa, menunjukkan bahwa Zionisme terkait dengan bukit Sion sebagai tempat penjagaan atau perlindungan. Bukit ini, yang dulu menjadi istana Nabi Daud setelah ia pindah dari Hebron pada abad ke-11 SM, menjadi lokasi rencana pembangunan kuil oleh Nabi Daud dan diselesaikan oleh Nabi Sulaiman tahun 953 SM.
Para sarjana kemudian mengidentifikasi Zionisme sebagai sebuah gerakan nasionalis Yahudi internasional yang bertujuan mendirikan negara Yahudi di wilayah Palestina. Muhammad al-Hasan dalam Al-Madhāhib Wa Al-Afkār Al-Muāṣirah Fī Al-Taṣawwur Al-Islāmī menganggapnya sebagai gerakan politik Yahudi rasis yang ingin mendirikan negara Yahudi di Palestina, mengambil nama dari Gunung Zion selatan Yerusalem, dengan tujuan mengembalikan kejayaan Israel. Sementara itu, Alwi Abd al-Halim Mahmoud menyebut Zionisme sebagai gerakan Yahudi yang berupaya memulihkan kerajaan Bani Israel, membangun kembali haikal Sulaiman di atas reruntuhan Masjid al-Aqsha, dan menginginkan dominasi dunia dengan kekuasaan berpusat di Yerusalem, dipegang oleh seorang Mesias dari keturunan Daud.
Secara historis, gerakan ini muncul di Eropa tengah dan timur pada akhir abad ke-19, mengajak orang Yahudi untuk pindah ke tanah Palestina dengan harapan kembali ke tanah leluhur mereka (Eretz Israel). Tujuannya adalah menciptakan masyarakat Yahudi yang eksklusif dan murni sebagai langkah untuk membebaskan diri dari Antisemitisme dan penganiayaan yang dialami selama ribuan tahun.
Pada akhir abad ke-19, gerakan Zionisme mulai tumbuh dan Theodor Herzl menjadi salah satu pemimpin utama. Puncak awal gerakan ini terjadi pada Kongres Zion Pertama tahun 1897 di Basel, Swiss, yang dipimpin oleh Herzl sebagai presiden. Dari sana, gerakan Zionis terus berkembang, memotivasi ribuan Yahudi untuk bermigrasi ke Palestina.
Ideologi Zionisme
Ideologi Zionisme dibangun dari Talmud (kitab suci yang telah diubah dan disesuaikan oleh orang-orang Yahudi) dan Protocols of Zion (rangkuman pemikiran, tujuan, dan gerakan Zionis). Pada tahun 1901, seorang pendeta Ortodoks Rusia bernama Prof. Sergey Nilus berhasil menerjemahkan Protocols of Zion. Muhammad Baharun dalam Isu Zionisme Internasional menyebutkan bahwa dokumen itu adalah rahasia yang ditemukan oleh seorang wanita Freemasonry yang berkhianat.
Setidaknya, ada dua doktrin utama yang berkembang dalam konteks gerakan Zionisme. Pertama, pandangan bahwa Israel dianggap sebagai “bangsa pilihan Tuhan” (The Chosen People). Kedua , tanah Palestina dianggap sebagai “tanah yang dijanjikan Tuhan” (The Promised Land). Kedua doktrin ini bersumber dari teks suci Yahudi, seperti Taurat dan Talmud, dan diuraikan ulang dalam dokumen yang dikenal sebagai “Protokolat”. Ideologi ini menjadi landasan bagi identitas Yahudi modern dalam dimensi teologis, historis, politis, dan ekonomi.
Gerakan politik Zionis di Palestina
Sejak terbentuknya gerakan Zionisme pada 1897 mereka telah menetapkan misi utama, yaitu mengembalikan orang-orang Yahudi ke Palestina dan membentuk negara di dalamnya. Untuk mewujudkan misi tersebut, Zionis yang dipimpin oleh Theodor Herzl mengadopsi dua pendekatan yang saling terintegrasi. Pertama, mengupayakan lobi untuk mencapai kesepakatan dengan Sultan Usmani (Abdul Hamid II) karena Palestina merupakan bagian dari wilayah Kekaisaran Turki Usmani. Kedua, memobilisasi negara-negara Barat, terutama Jerman, Inggris, Austria, Italia, dan Amerika Serikat, untuk memberikan tekanan kepada Sultan Usmani agar menerima proyek Zionisme di Palestina.
Langkah pertama yang mereka upayakan ternyata gagal, sebab Sultan Abdul Hamid II menolak dengan tegas semua permintaan mereka, termasuk tawaran materi sebagai imbalan kepada Sultan yang mencapai jumlah 5 juta Lira Emas. Dengan sangat marah Sultan Abdul Hamid II berkata kepada Theodor Herzl:
“Jangan lagi membicarakan soal ini. Saya tidak dapat memberikan sejengkal tanah pun kepada orang lain, karena tanah/negeri itu bukan milik saya, tetapi milik rakyat. Rakyat saya berjuang untuk mendapatkan tanah itu dan menyuburkannya dengan darah mereka…Biarkanlah orang Yahudi menyimpan berjuta-juta emas mereka di peti mereka.”
Setelah upaya yang dilakukan oleh Harzl dengan Sultan Abd Hamid II tidak berhasil, langkah selanjutnya adalah melakukan lobbying kepada negara-negara Barat agar memberikan tekanan kepada Sultan Abdul Hamid II untuk menerima tawaran-tawaran Zionisme. Namun, upaya tersebut juga tidak berhasil, dan akhirnya, peran Theodore Herzl berakhir setelah kematiannya pada 3 Juli 1904.
Selanjutnya gerakan Zionisme dinahkodai oleh Chaim Azriel Weizmann (Ibrani: חיים עזריאל ויצמן). Ia menerapkan stategi yang disebut sebagai “Synthetic Zionism”. Yaitu melakuakan upaya pembangunan pemukiman bagi komunitas Yahudi di Palestina dan merelokasi mereka. Selanjutnya, mereka berupaya untuk memperoleh lisensi internasional yang menjamin hak orang Yahudi untuk mendirikan negara di Palestina. Inilah pendekatan yang ditempuh oleh gerakan Zionis hingga akhirnya berhasil memperoleh lisensi tersebut, membuka jalan bagi pembentukan negara Israel.
Setelah sebelumnya Zionis gagal dalam upaya lobi terhadap Sultan Turki Utsmani, selanjutnya mereka melakuakan cara yang lebih licik. Zionis berupaya keras meruntuhkan Khilafah Turki Utsmani dari dalam. Pada tahun 1908, Kaum Zionis bersama Gerakan Turki Muda berhasil mengorganisir aksi yang mengubah sistem pemerintahan dari monarki absolut menjadi monarki konstitusi. Peristiwa ini dikenal dengan nama Revolusi Turki Muda. Meskipun Kaum Zionis berhasil mencapai revolusi tersebut, mereka dan Gerakan Turki Muda tidak berhasil menggulingkan Sultan Abdul Hamid II dari kekuasaannya. Walaupun demikian, Kaum Zionis berhasil membatasi ruang gerak Sultan, meskipun tidak berhasil melakukan kudeta terhadapnya, sehingga memberikan Kaum Zionis kebebasan untuk melanjutkan gerakannya.
Jalan untuk mendirikan negara Israel di Palestina semakin mulus dengan hadirnya sokongan dari Inggris menjadi negara pertama yang mendukung Zionisme, dan pada tanggal 2 November 1917 Masehi atau 17 Muharram 1336 Hijriah, pemerintah Inggris diwakili oleh Menteri Luar Negeri, Arthur James Balfour (yang memiliki keturunan Yahudi), memberi tahu pemimpin Zionis Inggris “Lord Rothschild” bahwa Inggris akan memperkuat pemukiman Yahudi di Palestina sebagai bagian dari dukungan mereka terhadap pembentukan tanah air Yahudi.
Lima tahun kemudian, pada 24 Juli 1922, Liga Bangsa-Bangsa (cikal bakal PBB) memberikan mandat kepada Inggris untuk menguasai Palestina. Pada tahun 1944, partai buruh Inggris yang berkuasa secara terbuka menyatakan kebijakan untuk membiarkan orang Yahudi terus masuk ke Palestina jika mereka ingin menjadi mayoritas. Maka bermulalah gelombang imigrasi Yahudi dari berbagai belahan dunia ke Palestina.
Beberapa tahun kemudian, tapatnya pada 29 November 1947, PBB mengeluarkan resolusi nomor 2/181 yang menetapkan pembagian wilayah Palestina menjadi dua negara dan menetapkan kota al-Quds (Yerusalem) sebagai kota Internasional. Wilayah yang diberikan kepada negara-negara Arab mencakup 42,88%, sementara wilayah yang diberikan kepada komunitas Yahudi mencapai 56,47%, dengan 0,65% sisanya ditetapkan sebagai wilayah internasional. Dengan adanya resolusi PBB ini, dapat dianggap bahwa secara esensial, negara Israel telah terbentuk.
Untuk mengukuhkan status negara ini dan mendapatkan pengakuan dari komunitas internasional, tokoh-tokoh Zionis segera mendeklarasikan Negara Israel. Sehari sebelum berakhirnya mandat Inggris di Palestina, tepatnya pada 14 Mei 1948, para pemukim Yahudi mengumumkan secara resmi pendirian negara Israel. Pernyataan ini dibacakan oleh tokoh Zionis David ben Gurion.
Setelah proklamasi berdirinya negara Israel di atas tanah Palestina tersebut, pengakuan dan dukungan internasional segera mengalir. Negara pertama yang menyatakan dukungannya adalah Amerika Serikat pada tanggal 15 Mei 1948, diikuti oleh Guatemala (16 Mei 1948), Uni Soviet (17 Mei 1948), serta negara-negara lain seperti Belanda, Uruguay, Nikaragua (18 Mei 1948), Cekoslovakia, Yugoslavia (19 Mei 1948), dan Afrika Selatan (21 Mei 1948). Akhirnya pada tanggal 11 Mei 1949, PBB secara resmi menerima keanggotaan Israel dengan nomor 273.
Rentetan sejarah tersebut merupakan bukti konkret bahwa gerakan Zioisme yang diprakarsai oleh Theodor Herzl adalah gerakan penjajahan yang mengatasnamakan doktrin teologis. Sejarah tersebut sekaligus mengungkap bahwa konflik Israel-Palestina hari ini bukanlah konflik yang baru. Namun, konflik ini telah bermula sejak Zionis di bentuk dan dimulainya aksi pencaplokan wilayah Palestina. Adib FS