Relasi antara akal dan wahyu merupakan suatu diskursus yang telah lama diperdebatkan dalam tradisi pengetahuan Islam. Salah satu aliran pemikiran yang disebut Mu’tazilah, berpandangan bahwa akal diberikan otoritas dan kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan wahyu. Beberapa di antara mereka bahkan menjadikan akal sebagai hujjah dan dalil utama dalam konteks masalah tauhid.
Di sisi lain, ada juga aliran pemikiran yang kurang memaksimalkan akal untuk menelaah wahyu, sehingga terkesan sangat tekstual dalam memahami wahyu. Menegahi dua kubu tersebut, terdapat pandangan bahwa akal dan wahyu seharusnya tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Mereka mencari harmonisasi dengan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara kontekstual dan memadukan pengetahuan rasional dengan hikmah-hikmah ilahi.
Dalam konteks ini, diskusi tentang harmonisasi antara akal dan wahyu menjadi penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Bagaimana menyeimbangkan penalaran rasional dengan panduan wahyu Allah tetap menjadi titik sentral dalam upaya mencari pemahaman yang utuh dan mendalam terhadap kebenaran dalam tradisi intelektual Islam.
Pemikiran Buya Hamka
Buya Hamka termasuk salah satu tokoh yang menyatakan bahwa hubungan akal dan wahyu dalam Islam, bersifat harmonis. Menurutnya, antara wahyu dan akal tidak pernah saling bertentangan. Dalam salah satu tulisannya, Hamka menekankan bahwa agama berfungsi sebagai panduan untuk akal, membimbingnya dalam mencapai pemahaman yang benar. Dikatakan bahwa agama membentuk akal sesuai dengan jalur yang seharusnya ditempuh. Baginya, tidak ada konflik antara agama dan akal; sebaliknya, agama menjadi pemimpin untuk meningkatkan tingkat akal manusia.
Hamka menekankan keselarasan dan sinergi antara wahyu dan akal dalam perjalanan mencari kebenaran. Dalam salah satu tulisannya Hamka mengatakan, ”Sebab itu agama adalah penuntun akal. Memberinya bentuk yang lurus menurut jalan yang harus dilalui. Di anatara agama dan akal tidak pernah berselisih, tetapi adalah agama jadi pimpinan untuk mencapai kenaikan tingkat akal.”
Akal: Definisi, Fungsi dan Kedudukannya
Secara bahasa menurut Hamka kata akal artinya adalah ikatan. Ia berkata, “Arti kata akal adalah ikatan. Kata ini cocok betul dengan tempat pengambilan, ibarat tali mengikat unta, akal itu mengikat manusia. Dalam pepatah Melayu pun telah ada,” Mengikat binatang dengan tali, mengikat manusia dengan akal.” Jadi sebagaimana tali mengikat unta supaya tidak lari, akal manusia mengikatnya pula supaya tidak lepas mengikuti hawa nafsu. “
Lawan dari akal adalah kebodohan (jahil), sebagaimana yang Hamka katakan, “Lawan akal dan lawan ilmu yang diberantas oleh kedua-duanya sehabis-habisnya upaya, alah kejahilan. Kejahilan itu ialah alamat bekunya perasaan dan lemahnya otak. Kata hukama , “Buta hati lantaran jahil, lebih berbahaya dari pada buta mata.”
Adapun pengertian akal secara istilah bisa dilihat pada beberapa tulisan Hamka, di antaranya seperti dalam perkataan Amin bin Abdul Kudus yang dikutip oleh Hamka, yang mana menyatakan bahwa akal adalah pengetahuan akan perkara yang mesti diketahui. Jalannya terbagi menjadi dua, pertama didapat dengan pancaindra, yang kedua permulaan dari dalam diri sendiri.
Hamka mengungkapkan ada orang yang berpendapat bahwa orang yang berakal ialah orang yang cerdik cendekia, arif bijaksana, tahu mengagak-mengagihkan. Hamka mengutip perkataan seorang Hukama yang berkata,” Penderitaan menyebabkan putih rambutnya yang hitam, pengalaman menjernihkan pikirannya, segala yang dilihat dan didengarnya memupuk jiwanya, karena percobaannya, kenallah dia akan awal dan akhir, sebab dan akibat. Orang beginilah yang patut disebut orang yang berakal. Adalah dia di dalam kaumnya mengarah-arahi Nabi di dalam umatnya menjadi pilihan Tuhan buat mengirit merentangkan, berjalan di barisan muka. Maka mengalirlah dari sumber ketangkasannya dan dari kecerdikan akalnya serta lautan ilmunya, segala perkara yang dapat ditiru, diteladani, dijadikan pedoman dalam hidup”.
Menurut Hamka, Islam sangat mendorong manusia untuk menggunakan akal dengan semestinya, karena itu Islam melarang manusia untuk taklid buta dan mengekor tanpa ilmu. Hamka mengatakan dalam bukunya, “Agama Islam sangat membenci turut-turutan, mencukupkan saja mengekor kepada pendapat orang lain. Melainkan paham mesti diperluas, akal mesti dipertajam, pikiran diperpanjang karena kita disuruh datang ke dunia bukan untuk menjadi ekor. Kalau hanya akan menggenapkan bilangan saja, mengapalah kita menjadi manusia dan mengapa kita ada akal.”
Menurut Hamka, negara haruslah menjamin kemerdekaan berpikir, karena berpikir merupakan keutamaan manusia dari binatang dan dengan berpikir manusia akan mencapai kemajuan. Menurutnya pula pikiran boleh disampaikan kepada khalayak umum, dengan catatan tidak merusak kewajiban sendiri dan menyinggung kemerdekaan pikiran orang lain.
Pemaparan lain yang Hamka sampaikan adalah bahwa akal merupakan syarat taklif. Hal ini selaras dengan pendapat para ulama. Di antaranya pendapat Imam asy-Syinqithi, yang mana beliau berkata, “Ada pun syarat-syarat taklif yang harus ada pada mukalaf di antaranya adalah akal, baligh, tidak lupa dan tidak tertidur.” Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW yang artinya,
“Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan : (1) orang yang tidur sampai ia bangun, (2) anak kecil sampai mimpi basah (baligh), dan (3) orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).”(HR. Abu Daud, No.4400)
Oleh karena itu Hamka menegaskan bahwa di antara bentuk pemuliaan Islam terhadap akal adalah dengan mengharamkan segala hal yang dapat merusak akal, sepeti meminum khamr dan sebagainya.
Wahyu: Definisi, Fungsi dan Kedudukannya
Hamka dalam penafsiran ayat 163 Surah An-Nisa’ menyampaikan lima makna wahyu secara etimologis. Pertama, wahyu bisa diartikan sebagai isyarat, contohnya pada Nabi Zakaria yang, ketika tidak dapat berbicara, menggunakan isyarat untuk berkomunikasi dengan kaumnya, seperti yang terdapat dalam Surah Maryam ayat 11.
Kedua, wahyu dapat merujuk pada naluri atau insting, seperti dijelaskan oleh Hamka dalam tafsir ayat ke-68 dari Surah An-Nahl. Naluri ini diilustrasikan sebagai insting (gharizah) pada binatang untuk mempertahankan hidup, dianggap sebagai bentuk wahyu.
Ketiga, wahyu juga dapat diartikan sebagai ilham, seperti yang terdapat dalam Surah Al-Qashash ayat 7 yang menyebutkan bahwa Allah memberikan ilham kepada ibu Musa. Hamka menyebut banyak ahli tafsir memahami wahyu dalam konteks ini sebagai ilham yang diberikan kepada ibu Musa.
Keempat, wahyu dapat merujuk pada isyarat buruk, contohnya pada Surah Al-An’am ayat 112. Dalam ayat ini, setan-setan, baik manusia maupun jin, saling membisiki dan menghasut dengan kata-kata kosong yang tidak berarti, yang disebut dengan kata wahyu.
Kelima, wahyu dapat diartikan sebagai perintah dan aturan kepada langit agar berjalan sesuai dengan ketentuan Allah dalam garis edarnya masing-masing, seperti yang terdapat dalam Surah Fushilat ayat 12. Hamka menjelaskan bahwa ini adalah bentuk wahyu yang mengandung perintah dan aturan dari Allah kepada langit.
Adapun pengertian wahyu secara terminologis menurut Hamka adalah tuntunan yang diberikan Allah dengan perantaraan Malaikat Jibril, langsung kepada Rasul-Nya. Wahyu itu terkadang berupa mimpi yang besar. Jadi wahyu menurut Hamka mencakup dua bentuk, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, Hamka juga menjelaskan bahwa wahyu berbeda dengan ilham, karena ilham adalah perasaan yang timbul sendiri pada manusia, dari dalam jiwanya yang murni setelah mendapat rangsangan dari luar, sedangkan wahyu adalah dari Allah.
Bagi Hamka, wahyu merupakan sumber paling tinggi. Ketika menafsirkan surah An-Nisa’ ayat 59 yang berbunyi,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
” Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS.An-Nisa’: 59).
Hamka berkata, “Peraturan yang Mahatinggi ialah perturan Allah. Inilah yang pertama wajib ditaati. Allah telah menurunkan peraturan itu dengan mengutus rasul-rasul dan penutup segala rasul ialah Nabi Muhammad.” Hamka juga menyebutkan sumber-sumber hukum dalam Islam, dan Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang pertama. Hamka berkata, “Sumber hukum ialah Al-Qur’an. kemudian ialah Sunnah Rasul. Kalau tidak bertemu pada Sunnah dipakailah ijtihad. Tetapi ijtihad itu harus di dalam lingkaran Al-Qur’an dan Sunnah tadi juga. Di sinilah timbulnya apa yang disebut ijma’ dan qiyas.”
Dari sini dapat diketahui pula bahwa pendapat Hamka tentang kedudukan wahyu, sama dengan pendapat para ulama, yaitu menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum tertinggi. Syaikh Abdul Wahab Khalaf mengatakan dalam kitab ushul fikih karangannya bahwa berdasarkan penelitian (istiqra’), dalil-dalil syar’i yang dengannya dapat disimpulkan berbagai hukum amali (fikih) dikembalikan pada empat hal, yaitu; Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas. Pengambilan hukum (istidlal ) dengan keempat dalil ini telah menjadi kesepakatan oleh mayoritas kaum muslimin. Begitu pula dengan urutan-urutannya; pertama adalah Al-Qur’an, lalu Sunnah, ijma’ dan terahir qiyas.
Relasi Akal dan Wahyu
Dalam pandangan Hamka, akal dan wahyu memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Menurutnya dengan memadukan antara keduanya, maka manusia akan dapat menemukan hidayah Islam. Hamka menggambarkan wahyu adalah cahaya gaib yang berasal dari Allah, sedangkan akal adalah cahaya dari diri manusia, maka ketika cahaya Islam datang, kemudian akal mampu menangkapnya dengan baik, manusia akan dapat melihat hidayah Islam. Demikianlah keterangan Hamka sebagaimana yang ia tulis dam bukunya ‘Lembaga Hidup’.
Menurut Hamka, akal saja tidaklah cukup untuk membawa manusia menuju hidayah Allah. Bahkan menurutnya ketika manusia hanya bersandar pada akal saja tanpa bimbingan wahyu, maka manusia akan selalu berada dalam kebodohan, primitif dan jauh dari kemajuan. Dalam bukunya Hamka menulis, “Karena cahaya yang ada dalam diri tidaklah memadai untuk keselamatan jiwa dan tubuh, kalau tidak menerima sinaran dari cahaya yang sejati. Sebab itu umat yang belum didatangi agama, belumlah dapat dipercayai kemajuannya, kalau hanya semata-mata berpedoman kepada akal saja; lantaran hanya semata-mata berpedoman kepada akal saja lantaran akallah mereka orang yang masih biadab (primitif) mengayau kepala manusia untuk jadi kemegahan, lantaran akal merekalah orang-orang yang masih jauh dari kemajuan, bertelanjang bugil, dan benci akan pakaian.”
Hal ini selaras dengan penjelasan Ibnu Taimiyah. Menurut Ibnu Taimiyah, akal merupakan syarat dalam memahami pengetahuan, kesempurnaan dan amal kebaikan. Dengannya akan sempurna perpaduan antara ilmu dan amal. Namun akal tidaklah berdiri sendiri, akan tetapi ia adalah naluri yang ada dalam jiwa dan kekuatanya seperti kekuatan pandangan yang ada pada mata. Apa bila akal yang tersinari oleh cahaya iman dan Al-Qur’an, seumpama mata yang tersinari cahaya matahari dan api. Apabila akal berdiri sendiri maka tidak akan tampak olehnya hal-hal yang kasat mata, dan apabila hilang cahaya itu secara keseluruhan, maka perbuatan dan ucapan tanpa bimbingan itu sebagimana binatang.
Jadi, menurut Hamka wahyu adalah penuntun akal, yang akan menunjukkan mana-mana jalan yang harus dilalui, antara keduanya tidak pernah berselisih. Karena wahyu akan menghantarkan manusia untuk mencapai tingkatan akal. Menurut Hamka inilah salah satu perbedaan agama Islam dengan selainnya. Ia menyatakan dalam doktrin agama lain terjadi pemerkosaan terhadap akal atau akal mesti berjalan sendiri dan agama (wahyu) berjalan sendiri. Kekuatan iman bagi mereka adalah dengan menekan perjalanan akal.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Ibnu Taimiyah bahwa akal tidak mungkin bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, karena kaidahnya adalah akal yang lurus tidak akan bertentangan dengan wahyu yang shahih. Maka bila ada pertentangan yang terjadi antara akal dan wahyu, kemungkinannya tidak lepas dari hal-hal berikut:
1) Apa yang diperkirakan masuk akal padahal tidak, akan tetapi itu hanyalah syubhat yang mengaburkan, sehingga ia mengira akalnya benar padahal salah.
2) Wahyu yang ia duga shahih, ternyata tidak. Bisa jagi sanadnya yang ternyata tidak shahih, atau pemahamannya yang keliru.
3) Ia tidak bisa membedakan antara sesuatu yang tidak mampu dijangkau akal dan sesuatu yang tidak diketahui akal. Karena wahyu datang untuk menjelaskan apa yang tidak diketahui akal, bukan untuk menjelaskan sesuatu yang tidak dijangkau aka
Kesimpulannya, dalam memandang hubungan akal dan wahyu, pendapat Hamka sama dengan pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Yaitu bahwa akal dan wahyu dalam Islam sejatinya tidak saling bertentangan. Keduanya harus saling disinergikan agar dapat mencapai kebenaran dari Allah. Sebab akal tidak dapat mengetahui kebenaran dengan sendirinya tanpa bantuan wahyu. Begitupun wahyu tidak bisa dipahami tanpa piranti akal. Adib Fattah S