Snouck Hurgronje dan Tradisi Orientalisme di Indonesia

Para sarjana Barat telah banyak melakukan pengkajian terhadap budaya Timur sejak berabad-abad silam. Maraknya pengkajian tersebut kemudian membentuk suatu gerakan yang pada abad ke-18 mulai disebut dengan istilah orientalisme.

Dalam perkembangan selanjutnya, orientalisme identik ditujukan kepada orang-orang Kristen yang sangat berkeinginan untuk melakukan studi terhadap Islam dan bahasa Arab. Demikianlah Muhammad Salih al-Bundaq menyimpulkan bahwa gerakan orientalisme sangat memerhatikan agama Islam dengan kajiannya yang mendalam terhadap al-Qur’an, hadis Nabi, kelompok-kelompok Islam, bahasa, dan segala hal lainnya yang terkait dengan Islam.  Maka, tidak mengherankan jika orientalisme cenderung berkonotasi pada kajian para sarjana Barat terhadap Islam.

Indonesia yang terletak di Timur dan memiliki penganut Islam terbesar di dunia tentunya tak lepas dari kajian para orientalis. Salah seorang orientalis terkemuka yang pernah ada di wilayah ini adalah Snouck Hurgronje. Dengan beragam kontroversinya, Hurgronje menjadi perhatian serius para cendekiawan untuk lebih mengenalnya secara mendalam, utamanya terkait alur dan buah pikirannya.

Salah satu isu kontroversial orientalis asal Belanda itu adalah soal peristiwa masuk Islamnya yang digunakannya untuk dapat masuk ke jantung umat Islam, mempelajari Islam dan penganutnya, untuk kemudian menghasilkan ide yang digunakan penjajah Belanda sebagai acuan dalam perumusan strategi perang dan politik mereka. Terbukti, saran-saran yang diberikan Snouck kepada Pemerintahan Hindia-Belanda sangat membantu proyek kolonialisme dan imperialisme Belanda.

Oleh karena itu, kajian dan penelitian terhadap sejarah hidup dan pemikiran Snouck Hurgronje yang penuh kontroversi ini patut dilakukan. Tulisan ini berupaya mendeskripsikan sejarah hidup dan pemikiran orientalisme Snouck Hurgronje serta menganalisis kerangka pikir dan kerja (framework) yang ia gunakan.

Sepak Terjang Christian Snouck Hurgronje

Hurgronje memiliki nama lengkap Christian Snouck Hurgronje. Ia dilahirkan di Oosterhoud, Belanda, pada 8 Februari 1857. Ayahnya merupakan seorang pendeta Protestan bernama J. J. Snouck Hurgronje dan ibunya bernama Annamaria yang juga seorang putri pendeta. Van Koningsveld dalam tulisannya tentang Hurgronje menceritakan bahwa pernikahan kedua orang tuanya ini didahului oleh suatu hubungan gelap, yang menyebabkan keduanya dipecat dari Gereja Herford di Thalthen (Zeeland). 

Kisah masa lalu yang tak sedap ini mendorong mereka untuk mendidik Hurgronje menjadi seorang pendeta sebagai bentuk penebusan kesalahan mereka di masa lalu. Namun, Hurgronje muda ternyata lebih tertarik mempelajari sastra Semit ketimbang menjadi pendeta. Setelah tamat dari Hogere Burgerschool (Sekolah Menengah Lima Tahun) di usia 18 tahun, ia masuk ke Universitas Leiden pada tahun 1875 pada jurusan Teologi.

  Saat menjadi mahasiswa di Universitas Leiden, minat dan bakat Hurgronje pada kajian Islam semakin kuat dan terasah. Terlebih di tahun 1878, setalah lulus dari fakultas Teologi, Hurgronje mulai terjun ke dalam dunia orientalisme. Perjumpaannya dengan kaum modernis Leiden membuat Hurgronje mengubah tujuan awalnya menjadi pendeta. 

Pada tanggal 24 November 1880, studinya di universitas itu berakhir dengan sebuah disertasi doktoral tentang perjalanan haji ke Makkah berjudul Het Mekkaansche Feeest (Perayaan di Makkah).  Disertasinya berfokus pada asal-muasal ritual haji yang disandarkan pada sumber-sumber tekstual pokok ajaran Islam berupa al-Qur’an dan hadis-hadis yang otoritatif, seperti Bukhari dan Muslim.

Berkat penelitian doktoralnya yang membahas tentang haji, Hurgronje ditugaskan oleh pemerintahan Belanda untuk melakukan penelitian tentang jemaah haji Hindia Belanda di kota suci Makkah pada tahun 1884. Kisah perjalanannya di Makkah ia dokumentasikan dalam sebuah buku diari yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul Mekka in the Latter Part of the 19th Century

Untuk mempermudah misinya ini, Hurgronje perlu menyatu dengan masyarakat Muslim. Ia pun masuk Islam di hadapan Qadhi Jeddah pada tanggal 16 Januari 1885 dan menggunakan nama Abdul Gaffar.  Keislaman Hurgronje menimbulkan kontroversi di kalangan peneliti, banyak yang menyebutkan bahwa ia masuk Islam hanya sebagai siasat demi menjalankan misinya.

Setelah masuk Islam, Hurgronje dengan leluasa masuk ke kota Makkah pada 21 Februari 1885. Di sana, ia memperoleh banyak kesempatan bertemu dengan jemaah haji asal Indonesia, yang hasilnya ia mendapat banyak informasi tentang perang yang ada di Aceh.  Akan tetapi, Hurgronje merasa tidak puas hanya dengan menggali informasi dari jemaah haji asal Aceh di Makkah. Ia lantas berkeinginan untuk datang langsung ke Aceh.

Kesempatan pun bersambut ketika pada tahun 1889, pemerintah Belanda memberikannya jabatan sebagai Penasihat Urusan Penduduk Asli dan Arab dan mengirimnya ke Aceh. Hurgronje melakukan perjalanan rahasia ke pedalaman Aceh dan tiba di istana Sultan Aceh di Keumala. Perjalanan rahasia ini bertujuan untuk menggali informasi strategi militer guna kepentingan perang Belanda di Aceh.

Pada 11 Mei 1889, Hurgronje melanjutkan misi sebagai agen mata-mata ke Batavia (Jakarta) yang merupakan langkah awal misinya di Jawa. Ditemani Haji Hasan Mustapha,  ia memulai penelitiannya menjelajahi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dimulai dari Bandung pada 17 Juli 1889, kemudian ke Garut, Calincing, Cirebon, Ciamis, Tegal, Pekalongan, Bumiayu, Purbalingga, Wonosobo, dan seterusnya, hingga kembali lagi ke Garut dan berakhir di Cianjur pada 15 Desember 1889. 

Selepas perjalanannya di Jawa, Hurgronje ditugaskan ke Aceh (16 Juli 1891-4 Februari 1892). Tugas ini tidak berbeda jauh dengan tugasnya di Makkah dahulu, yaitu mengadakan penyelidikan mengenai agama dan politik di sana.  Hurgronje memulai laporan awalnya tentang kehidupan sosial masyarakat Aceh yang meliputi berbagai aspek, baik adat istiadat, agama, sosial, dan politik.

Temuan dari penelitiannya tersebut kemudian dirangkum dalam sebuah laporan berjudul “Verslaq Omtrentreligieus Politike Toestandenin Atjeh”, yaitu laporan tentang keadaan politik dan agama di Aceh yang sangat berguna sebagai masukkan strategis bagi pemerintahan penjajah Belanda.  Laporan-laporan tersebut kemudian dibukukan dengan judul De Atjehers dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Achehnese pada 1906.

Penjelajahan Snouck Hurgronje di Indonesia berakhir pada tanggal 12 Maret 1906 dan ia kembali ke Belanda.  Di negara asalnya itu ia diangkat sebagai Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Leiden. Di sela-sela kesibukannya itu, ia juga mengajar para calon-calon Zending di Oestgeest. Pada tanggal 26 Juni 1936, Hurgronje meninggal pada usia ke 81 tahun.  Hingga kini, ia dikenang sebagai seorang “legenda” dalam bidang Arabistiek-Islamologi dan Orientalisme. Karena jasa-jasanya yang luar biasa bagi Belanda, didirikanlah monumen Snouck Hurgronjehuis di Rapenburg yang masih berdiri megah hingga sekarang.

Pemikiran Orientalisme Snouck Hurgronje

Akar pemikiran Hurgronje dalam kajian orientalisme sudah tumbuh semenjak mengenyam pendidikan di Universitas Leiden. Hal ini dibuktikan dengan kesuksesannya dalam menyusun disertasi doktoral tentang perjalanan haji ke Makkah berjudul “Het Mekkaansche Feeest” (Perayaan di Makkah).  Karya ilmiahnya ini selanjutnya menjadi pembuka jalannya untuk terus terjun lebih dalam di bidang kajian orientalisme. Berikut ini beberapa pemikiran orientalisme Snouck Hurgronje tentang Islam, yang di dalamnya mencakup strategi dalam menghadapi umat Islam, khususnya Muslim Indonesia.

  1. Tentang Ibadah Haji

Hurgronje mengemukakan urgensi haji dalam ajaran Islam dan merinci tata cara ritualnya. Selain itu, ia meyakini bahwa ritual haji dalam Islam merupakan ritual peninggalan ajaran paganisme (watsaniyah) bangsa Arab.  Tidak hanya itu, bahkan bagi Snouck sebagian ajaran Islam diadopsi oleh Nabi Muhamad dari agama-agama sebelumnya. 

Dari sudut pandang Islam, tentu ini adalah kesimpulan yang keliru. Jika dianalisis, kesimpulan Hurgronje ini disebabkan ia sama sekali tidak mengungkap fakta sejarah bahwa ritual haji telah ada semenjak zaman Nabi Ibrahim dan bangunan Ka’bah sudah ada bahkan semenjak jaman Nabi Adam.  Hanya saja, memang, ritual haji mengalami banyak pergeseran pada zaman Jahiliah dengan masuknya berbagai ritual pagan. Namun dengan diutusnya Nabi Muhammad, ritual haji menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang Islam hingga hari kiamat.  Dengan demikian, haji bukanlah ritual pagan yang diadopsi orang Islam.

Pandangannya tentang haji di atas, menunjukkan framework kajian orientalisme sangat mendominasi pemikirannya, di mana ia mengaitkan ajaran Islam dengan ajaran-ajaran agama sebelumnya dengan tujuan untuk menggoyahkan keyakinan tentang kemurnian ajaran Islam.  Jika orientalis sebelumnya, seperti Abraham Geiger  dan Theodore Noldeke,  membandingkan al-Qur’an dengan kitab lain, maka Hurgronje membandingkan ritual haji dalam Islam dengan praktiknya pada masa Jahiliah. Tujuannya sama, yaitu untuk memutarbalikkan fakta sejarah dan menimbulkan keraguan di kalangan umat Islam.  Dengan demikian, mereka ingin agar jumlah jemaah haji semakin berkurang. Ini penting karena menurut catatan Snouck, kebanyakan orang yang melawan Belanda adalah mereka yang pulang dari ibadah haji.

Oleh sebab itu, Pemerintah Kolonial Belanda telah lama ikut campur dalam mengatur kelangsungan ibadah haji di Indonesia. Mereka berupaya menekan jumlah jemaah haji, salah satunya dengan membuat resolusi (putusan) yang memberatkan jemaah haji.  Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda terkait haji tersebut dikenal dengan “politik haji”. Latar belakang lahirnya “politik haji” ini adalah sebab Belanda melihat para haji mendapat kedudukan istimewa di masyarakat, sehingga mereka berpeluang menjadi penggerak untuk melawan Belanda.

Dalam kenyataannya, memang banyak pemberontakan dan perlawanan rakyat terhadap Belanda yang dipelopori oleh para haji, seperti perang jihad Palembang dan perang jihad Cilegon. Di samping itu, Belanda memandang bahwa ibadah haji bersifat kosmopolitan, di mana memungkinkan pertemuan para jemaah haji di seluruh dunia.  Sehingga, Belanda khawatir akan meluasnya pengaruh Pan-Islamisme di tanah air.

Hurgronje turut serta dalam menyusun kebijakan terkait haji tersebut. Dalam peraturan tahun 1922, ia mengusulkan agar jemaah haji wajib memiliki tiket pulang pergi sehingga terdapat batas waktu untuk menetap di Makkah. Melalui peraturan ini, Hurgronje hendak memangkas jumlah peminat haji dan mempersempit peluang pertukaran pikiran antarjemaah di Makkah.  Namun kenyataannya, hal itu tidak berhasil, sebab jumlah jemaah haji tidak pernah surut. Justru sebaliknya, jumlahnya bertambah.

Apa yang dikhawatirkan Belanda pun akhirnya terjadi. Sebagaimana dikemukakan Pieter Korver, pada tahun-tahun awal abad ke-20 terjadi kebangkitan reformasi Islam yang luar biasa. Salah satunya dengan menyebarnya pikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani yang mengarah pada perjuangan di ranah pendidikan. Maka, di tahun-tahun itu lahirlah organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama yang didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan selepas mereka pulang dari ibadah haji dan menimba ilmu di Makkah.

2. Tentang Strategi dalam Perang Aceh

Sejatinya, misi penelitian Hurgronje di Aceh tidak lepas dari tujuan militer. Maka, data dan informasi apa pun akan diarahkan demi merumuskan strategi militer Hindia-Belanda. Menurut Hurgronje, perang Aceh bukan sebuah perang antara pasukan tentara saja, melainkan perang rakyat. Perang ini tidak akan selesai selama masih ada api perlawanan di hati rakyat.

Untuk itu, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang mengarahkan rakyat kepada fanatisme politik pan-Islam.  Segala unsur politik dalam Islam harus dicurigai dan ditindak dengan tegas. Jika perlu, harus ditumpas dengan kekuatan militer bersenjata. Pencegahan pertumbuhan cita-cita pan-Islam dapat dilakukan melalui politik asosiasi, yaitu program westernisasi di segala bidang, baik ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan.  Sehingga, ketika umat Islam sudah jauh dari budaya dan agamanya, mereka akan mudah dikalahkan.

Selain itu, Hurgronje juga menyarankan Pemerintahan Hindia-Belanda agar memisahkan agama dan politik (sekularisasi). Sebab menurutnya, jika Islam bersatu dengan politik akan meningkatkan semangat perlawanan rakyat, dan itu berbahaya bagi Belanda.  Hurgronje mengusulkan agar dilakukan operasi militer di perkampungan Aceh untuk melumpuhkan perlawanan rakyat. Jika operasi militer ini berhasil, akan membuka peluang untuk membangun kerja sama dengan pemimpin lokal.

Strategi Hurgronje ini berhasil berkat dukungan yang kuat dari jaringan intelijen mata-mata dari kalangan pribumi.  Selanjutnya Hurgronje menggagas politik “Devide et Impera” (politik adu domba/belah bambu) yang ditujukan pada kaum Islamis (ulama) dan kaum adat (uleebalang). Dengan strategi politik ini, Hurgronje berharap terjadi pertentangan dan benturan (clash) yang akan melemahkan kesatuan rakyat Aceh. 

3. Tentang Hukum Islam dan Hukum Adat

Salah satu strategi yang digagas oleh Hurgronje untuk menciptakan perpecahan di kalangan rakyat Aceh adalah dengan membenturkan hukum Islam dan hukum adat. Sebagai seorang etnolog yang berpengalaman, ia mendorong adat-adat lokal untuk berkembang dan maju.  Hal ini penting karena hukum Islam dianggap sebagai dasar perlawanan dan semangat pertentangan kepada Belanda, sehingga hukum adat digunakan guna menghambat meluasnya pengaruh hukum Islam itu.

Untuk itu, Hurgronje mengetengahkan “Teori Receptie” yang menyatakan bahwa yang berlaku bagi rakyat pribumi hanya hukum adat. Sementara hukum Islam hanya bisa berlaku apabila ia diterima oleh masyarakat adat itu.  Dengan teorinya ini, Hurgronje berambisi menjadikan hukum Islam sebagai hukum yang inferior.

Jika diperhatikan, sejatinya teori Hurgronje ini tidak berbeda jauh dengan pandangan William Marsden yang mengesankan bahwa kebudayaan yang dipraktikkan masyarakat Sumatera adalah indigenous (asli) hasil kreativitas masyarakat yang tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam.  Pandangan semacam ini memang khas digunakan pada framework kajian para orientalis.

Para ahli hukum pribumi pascakemerdekaan Indonesia, seperti Hazairin, Sayuti Thalib, dan Ichtijanto, justru mengungkapkan sebaliknya. Menurut mereka, bukan hukum adat yang menjadi pedoman utama masyarakat pribumi, tapi hukum Islam. Hukum adat akan digunakan ketika sesuai dengan hukum Islam.  Bantahan terhadap teori Receptie Hurgronje ini tertuang dalam tiga teori.

Pertama, teori Receptie Exit yang dikemukakan oleh Hazairin. Teori ini menyatakan bahwa hukum Islam merupakan mitra hukum adat.  Kedua, teori Receptio a Contrario yang dikemukakan oleh H. Sayuti Thalib. Teori ini ingin meneguhkan kembali bahwa hukum adat boleh berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.  Terakhir, Teori Eksistensi yang dikemukakan oleh H. Ichtijanto S A. ini menyatakan bahwa hukum Islam itu ada, dalam arti sebagai bagian integral, bahan utama dan penyaring hukum nasional Indonesia.

Penutup

Orientalisme sebelum menjadi bidang kajian ilmiah seperti sekarang ini, telah mengalami sejarah perkembangan yang panjang. Akar sejarah lahirnya orientalisme diwarnai oleh latar belakang ideologi, agama, dan kepercayaan masyarakat Barat. Sehingga betapa pun ilmiahnya kajian yang disajikan, tetap tidak akan lepas dari kesan subjektif disebabkan pengaruh pandangan hidup (worldview) Barat yang melekat pada para orientalis. Pengaruh worldview Barat ini pada akhirnya membentuk framework kajian yang khas dari para orientalis. Pada intinya, kajian orientalisme meskipun dibungkus dengan balutan kajian ilmiah, namun tujuan di balik itu sejatinya adalah untuk melancarkan misi kolonialisme, imperialisme, dan missionarisme Barat.

Christian Snouck Hurgronje adalah salah satu tokoh orientalis yang paling sukses menjalankan misi tersebut. Berbekal pengalamannya belajar di dunia Islam dan keberhasilannya dalam mengembangkan kajian keislaman berdasarkan cara pandang orientalis, Hurgronje telah berhasil menginfiltrasi masyarakat Muslim di Aceh dan memperoleh banyak informasi yang digunakan sebagai acuan strategi politik dan militer Pemerintah Hindia-Belanda. Di antara pemikiran orientalismenya yang paling fenomenal adalah tesisnya bahwa ritual haji dalam Islam merupakan peninggalan kaum pagan. Selain itu, Hurgronje juga mengembangkan Teori Receptie yang bertujuan untuk mengerdilkan hukum Islam dan menjunjung tinggi hukum adat dengan tujuan membenturkan keduanya. Cara Hurgronje yang demikian menunjukkan ia telah berhasil menjadi orientalis sekaligus menjalankan misi kolonialis di Indonesia. Adib FS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *