SIMAN–Setelah resmi dibuka, Ahad (23/6) lalu, CIOS Researcher Forum (CRF) perdana dimulai Selasa (2/7) kemarin. Acara dilaksanakan di Hall CIOS mulai pukul 20.00 WIB. Pematerinya berasal dari peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) UNIDA Gontor angkatan ke-18. Ustaz Hasyanto selaku pemateri perdana menyampaikan makalah berjudul “Menelaah Makna Inklusif dalam Moderasi Beragama”.
Peserta PKU utusan Sulawesi tersebut mengawali presentasinya dengan mengungkap beberapa peraturan dari pemerintah terkait moderasi beragama. Pertama ada di Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020–2024. Kedua terdapat di Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. Ketiga bisa dilihat di Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 58 Tahun 2024 tentang Tata Cara Koordinasi, Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan Penyelenggaraan Moderasi Beragama.
Adanya peraturan-peraturan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia amat serius dalam mewacanakan dan mengimplementasikan moderasi beragama. Namun, perlu diperjelas di sini bagaimana konsep moderasi beragama yang secara formal disusun oleh pemerintah atau Kemenag RI tersebut.
Setelah ditelusuri dari buku yang ditulis Kemenag RI berjudul Moderasi Beragama, moderasi beragama yang dimaksud adalah proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, agar terhindar dari perilaku ekstrem atau berlebih-lebihan saat mengimplementasikan ajaran agama. Selain itu, moderasi agama bertujuan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Moderasi beragama kemudian dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama.
Untuk itu, pemerintah pun melakukan pengembangan kognisi, afeksi, dan motorik untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan yang moderat, subtantif, dan inklusif melalui pendidikan dan pelatihan moderasi beragama. Internalisasi nilai-nilai agama yang inklusif dilakukan dengan literasi bacaan, peningkatan kapasitas pendidik dan tenaga kependidikan, penguatan kurikulum pendidikan dan keagamaan, serta menjelaskan agama melalui media agama kebudayaan universal dan kreatif dan ramah teknologi.
Lebih jauh, Ustaz Hasyanto menyoroti kata inklusif yang digunakan Kemenag RI dalam buku terbitan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI tersebut. Di dalam buku itu disebutkan bahwa moderasi beragama meniscayakan umat beragama untuk tidak mengurung diri, tidak eksklusif (tertutup), melainkan inklusif (terbuka), melebur, beradaptasi, bergaul degan berbagai komunitas, serta selalu belajar dan memberi pelajaran.
Moderasi beragama juga harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Agama memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia terutama dalam menyusun norma-norma sosial kemasyarakatan. Agama di satu sisi menuntut penganutnya untuk bersikap eksklusif. Tapi pada sisi lain, agama juga mengajarkan sikap inklusif atau terbuka. Agama hadir dalam upaya menjaga, melindungi hak hidup masyarakat, serta untuk melindungi hajat hidup manusia. Agama memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Sehingga, dakwah inklusif adalah cara mengajak orang berbuat baik dan memperingatkan orang untuk tidak berbuat jahat dengan cara santun, toleran, menghargai, dan menghormati dengan kelompok yang berbeda kultur atau agama. Sikap ini dinilai setara dengan keputusan Konsili Vatikan II yang memang menjadi rujukan konsep moderasi beragama Kemenag RI.
Jalan tengah keberagamaan menurut Kemenag RI bisa dikampanyekan dengan menggunakan mekanisme intraagama, dengan melihat pada aspek internal agama itu sendiri melalui pengembangan etika dan spiritualitas baru yang lebih mendukung perdamaian secara nirkekerasan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menggunakan tafsir teks-teks agama yang menekankan pada sikap toleran dan inklusif yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan. Selain reinterpretasi teks agama, mekanisme internal agama juga bisa dilakukan dengan menggunakan otoritas tokoh atau pemimpin agama untuk mengajak para pengikutnya agar mengedepankan perdamaian.
Pada akhirnya, inklusif dalam ruang lingkup beragama bisa berarti mengakui bahwa dalam agama-agama lain terdapat juga kebenaran. Menurut Muchtar Luthfi, inklusivisme eksternal agama adalah keyakinan akan adanya kebenaran pada semua agama, baik dalam kapasitas yang sama maupun dengan kapasitas kebenaran yang berbeda-beda. Inilah yang dikhawatirkan dari program internalisasi nilai-nilai agama yang inklusif oleh Kemenag RI.
Ustaz Hasyanto menegaskan, jangan sampai inklusivitas dalam moderasi beragama menghapus wilayah eksklusif agama. “Kita tidak bisa menganggap bahwa setiap ajaran agama berada pada wilayah inklusif. Padahal, sejatinya ada wilayah ekslusif dalam ajaran agama. Sehingga, jangan sampai semua ajaran agama serta merta bisa disepadankan. Sikap beragama seorang Muslim harus bertumpu pada keadilan. Artinya, kita harus menempatkan sesuatu pada tempatnya. Yang benar dan yang salah itu jelas dan terang benderang dalam Islam,” ujarnya.
Selain itu, tambahnya, ada yang memahami bahwa Muslim yang moderat itu prodemokrasi yang secara tegas mendukung pluralisme agama, menolak khilafah, mendukung feminisme Islam, kritis, dan melakukan penafsiran kembali ajaran agama. Maka, jangan sampai wacana inklusif dalam moderasi beragama dikonstruksi pemaknaannya oleh individu atau kelompok yang hendak menyusupkan paham pluralisme agama, sekularisme, dan liberalisme.
Jika demikian adanya, maka kata inklusif menjadi diskriminatif dan tidak sampai pada tujuan utamanya, yakni membangun keadilan. Konsep tersebut perlu ditolak ketika pemaknaan inklusif atau moderasi beragama ditarik pada pemaknaan yang mengarah pada ciri khas pluralisme agama, sekularisme, dan liberalisme. gigih