Ustaz Fatah Yasin Adiguna: Orientalisme Merupakan Hasil dari Sejarah Penjajahan

SIMAN–Dalam acara CIOS Researcher Forum (CRF) perdana yang digelar di Hall CIOS, Selasa (2/7) malam, Ustaz Fatah Yasin Adiguna, salah satu peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) angkatan ke-18, berkesempatan membawakan materi berjudul “Muslim dan Penerapan Syariat Islam: Studi Kasus Pra dan Pascakolonialisme”. Ia mencermati dampak penjajahan terhadap penerapan syariat Islam, khususnya di Indonesia.   

Kader ulama dari Surakarta ini mengungkap bahwa orientalisme merupakan praktik penjajahan pengetahuan dari Barat terhadap jajahannya, untuk dijadikan rujukan kebijakan dan “pember-adab-an” negara asal penjajah. Sehingga, masyarakat jajahannya tetap berpikir dan bertindak sesuai dengan rencana-rencana kolonialisme.

“Bahkan, orientalisme merupakan hasil dari sejarah penjajahan,” katanya mengutip kata-kata Syed Husein al-Attas dari buku berjudul Mitos Pribumi Malas.

Selain itu, lanjut Ustaz Fatah, penjajah-penjajah itu memiliki tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri. Pertama, mereka akan mengaburkan sejarah negeri yang dituju. Kedua, mereka akan menghancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tak bisa dibuktikan kebenarannya. Ketiga, mereka akan memutuskan hubungan penduduk terjajah dengan leluhurnya. Mereka akan mengatakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.

Bagi negara-negara berpenduduk Muslim yang terjajah, penjajahan semacam ini tentu saja berdampak buruk terhadap pemahaman dan penerapan syariat Islam.  Penjajahan bangsa Barat merusak ingatan umat Islam, sehingga membuat mereka menderita penyakit amnesia. Para sarjana Muslim justru membangun penghalang epistemologis (episthemologic block) bagi kaum Muslim untuk melihat tradisi atau syariatnya.

Menurut Ustaz Fatah, sebelum mengalami penjajahan atau pada masa prakolonialisme, sistem pengadilan dan lembaga pendidikan di Indonesia berjalan dengan baik. Gerakan ijtihad bersifat solutif, tidak kaku, sehingga banyak mazhab fikih berkembang dan diterima masyarakat karena adaptif terhadap kebutuhan lokal. Selain itu, tidak ada lembaga negara yang melakukan intervensi.

Hal bertolak belakang pun terjadi pascakolonialisme. Pada masa ini terjadi dikotomi ilmu pengetahuan. Kekayaan hukum Islam tereduksi menjadi teks-teks yang kaku. Sikap adaptif hukum Islam pun lenyap. Para penjajah menghapus dan mengganti segala sesuatu dengan produk Barat, kecuali pada aspek ibadah ritual dan keluarga karena dianggap tidak bisa jadi alat untuk kolonialisasi sekaligus sebagai trik untuk mencitrakan pemerintahan kolonial masih mengakui kesakralan hukum Islam. Pada akhirnya, peran fukaha sebagai civil leaders (pemimpin sipil) tergeserkan oleh lembaga koersif milik negara.

Di akhir presentasinya, Ustaz Fatah menegaskan perlunya tindakan nyata dan langkah-langkah strategis yang dilakukan umat Islam jika ingin kembali ke situasi penerapan syariat Islam prakolonialisme. Jika tidak, maka dampak-dampak negatif dari penjajahan tersebut di atas akan terus berlanjut dan bertambah buruk terhadap implementasi syariat Islam.

“Kita tidak boleh berpangku tangan. Mari kuatkan stamina intelektual untuk melawan hegemoni konsep Barat tentang negara modern. Kita harus mulai membangun kesadaran struktural di masyarakat untuk menguatkan peran dalam pengaturan syariat. Selain itu, peran lembaga koersif yang dekonstruktif terhadap syariat Islam harus diminimalkan,” tutupnya. gigih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *