Kajian yang komprehensif terkait pemikiran tasawuf tidak bisa dilepaskan dari konsep walayah atau kewalian. Bahkan sejatinya bangunan tasawuf berdiri di atasnya.[1] Konsep walayah atau kewalian dalam Islam telah menjadi perhatian utama dalam teks-teks suci seperti al-Qur’an dan hadis Nabi. Terdapat kata-kata kunci yang merujuk pada konsep kewalian, seperti wali, awliya, walayah, dan lain-lain. Makna-makna ini berkembang seiring waktu melalui pengalaman spiritual para tokoh agama, terutama dalam tradisi sufi.[2]
Dalam kajian tasawuf di Nusantara, sebutan wali ini sudah mulai dikenal bersama dengan masuknya Islam ke negeri ini. Sebutan tersebut menjadi sangat populer dengan munculnya penyebutan Wali Songo. Dalam pengembangan selanjutnya, memasuki abad ke-17 sampai 18, dengan ramainya para pencari ilmu ke Timur Tengah, muncullah para penulis muslim awal di Nusantara, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Abdur Rauf al-Sinkili; lalu diikuti oleh Yusuf al-Maqassari, Abdus Samad al-Falimbani, Muhammad Nafis al-Banjari dan juga Hasyim Asy’ari.[3]
Hasyim Asy’ari adalah tokoh ulama yang sangat dihormati dan diterima di semua kalangan umat Islam. Selain dikenal sebagai ulama yang banyak mengulas permasalahan akidah dan syariah melalui karya-karyanya, ternyata Hasyim juga mengulas tentang tasawuf dalam karya-karyanya. Tentu saja pembahasan tentang kewalian tidak luput dalam kajian tasawufnya. Di antara karyanya yang mengulas tentang kewalian adalah yaitu ad-Durar al-Muntathirah fi Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah. Dalam karyanya ini, Hasyim menyoroti penyimpangan-penyimpangan dalam tradisi tasawuf di Nusantara khususnya terkait pengkultusan seorang tokoh yang dianggap sebagai wali. Hasyim menyoroti banyak fenomena di masyarakat awam muslim yang tidak mengerti apa kriteria seorang wali yang sesungguhnya. Sehingga banyak orang yang tertipu dengan pengakuan para wali palsu. Maka, Hasyim Asy’ari berupaya meluruskan pandangan terkait wali dalam karya-karyanya.[4]
Berangkat dari problem di atas, konsep kewalian dalam perspektif Hasyim Asy’ari menjadi sangat menarik untuk dikaji. Terlebih tokoh ini mendapat predikat sebagai Hadrat al-Syaikh oleh kaum muslim di Indonesia, bahkan menjadi pahlawan nasional. Selain itu Hasyim dipandang sebagai tokoh yang mu’tadil sehingga diterima oleh semua golongan. Juga menjadi unik bahwa pemikiran Hasyim Asy’ari, khususnya dalam kewalian, bercorak akhlaqi bukan falsafi. [5] Namun sejauh ini, masih belum banyak karya ilmiah yang mengkaji tentang konsep kewalian dalam perspektif Hasyim Asy’ari. Maka dari itu, tulisan ini akan berusaha menelusuri bagaimana sebenarnya konsepsi Hasyim Asy’ari tentang kewalian.
Pandangan Hasyim Asy’ari tentang kewalian dalam tasawuf
Pandangan-pandangan Hasyim Asy’ari tentang tasawuf dituangkan dalam berbagai karyanya. Meskipun sebagian besar karyanya tidak membahas tasawuf secara spesifik. Namun terdapat setidaknya tiga karya yang cukup banyak menerangkan tentang tasawuf, yaitu ad-Durar al-Muntathirah fi Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah (Mutiara-mutiara tercecer tentang Sembilan Belas Masalah), al-Tibyan fi an-Nahyi ‘an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Akhwan (Penjelasan Mengenai Larangan Memutuskan Hubungan Kerabat dan Teman), dan Tamyiz al-Haq min al-Bathil (Pembedaan yang Haq dari yang Bathil), yang beliau tulis sekitar tahun 1340-1360 Hijriyah.[6] Namun di antara karya tersebut yang paling banyak menyoroti tentang kewalian adalah ad-Durar al-Muntathirah fi Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah.
Di awal pembahasan dalam ad-Durar al-Muntathirah fi Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, Hasyim Asy’ari menyoroti tentang kabar akan datangnya suatu fitnah (cobaan). Salah satu fitnah yang dipandang merusak adalah orang-orang yang mengaku sebagai wali, bahkan menurutnya ada yang sampai mengaku sebagai wali quthb dan Imam Mahdi. Sehingga banyak dari kalangan awam kaum muslimin yang mengikuti mereka, tanpa bisa membedakan mana yang benar-benar wali dan mana yang bukan. Maka kemudian beliau menekankan pentingnya memahami ilmu agama, agar tidak salah dalam bersikap.[7]
Berangkat dari fenomena banyaknya orang yang mengaku sebagai wali dan dikultuskan oleh awam muslimin, maka Hasyim Asy’ari menulis buku ad-Durar al-Muntathirah fi Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah. Dalam kitab ini diterangkan mengenai definisi, ciri, dan syarat-syarat wali yang benar. Untuk kemudian dapat dibedakan dengan wali yang tidak benar. Gaya penulisan buku ini adalah tanya jawab, di mana ada terdapat sembilan belas pertanyaan terkait kewalian dalam tasawuf yang beliau jawab. Buku ini ditulis dengan aksara Arab Jawi dan dalam bahasa Jawa.[8]
Definisi Wali Menurut Hasyim Asy’ari
Terkait dengan pengertian wali, menurut Hasyim Asy’ari secara bahasa lafal wali memiliki dua makna. Pertama, lafal wali mengikuti pola (wazn) faîl (فعيل) yang mengandung makna objek/maf’ûl (مفعول) sehingga berarti orang yang dilindungi Allah dari melakukan dosa besar atau kecil dan dari pengaruh hawa nafsunya walaupun sejenak, sehingga apabila mereka melakukan dosa akan segera bertobat. Kedua, lafal wali mengikuti wazn (pola) faîl (فعيل) yang mengandung makna mubalaghah (hiperbola) dari subjek/fâil (فاعل), sehingga maknanya adalah orang yang tekun beribadah dan taat kepada Allah tanpa banyak maksiat.[9] Apabila kedua makna tersebut dijadikan satu maka akan membentuk sebuah proposisi bahwa wali adalah orang yang dilindungi Allah dari melakukan dosa besar atau kecil dan dari pengaruh hawa nafsunya serta orang yang tekun beribadah dan taat kepada Allah tanpa banyak maksiat.
Dari dua pengertian wali secara etimologi tersebut, Hasyim Asy’ari kemudian menyimpulkan bahwa sifat kewalian adalah bertakwa. Hal ini berdasarkan dari ayat al-Qur’an yang berbunyi اتقوا الله حق تقاته , artinya ,”bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya.”[10] Hasyim menafsirkan kata “takwa” dalam ayat tersebut yaitu patuh terhadap apa yang Allah perintahkan dan menjauhi apa yang Allah larang dengan penuh rasa takut kepadanya. Begitu juga ayat yang lain, lebih jelas lagi menyebutkan ,”Sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada diri mereka dan tidak pula bersedih hati, yaitu orang yang beriman dan mereka bertakwa.”[11]
Selain dari dua ayat yang dikutip Hasyim Asy’ari di atas, sesungguhnya ajaran tentang kewalian (al-walayah) memang memiliki basis yang kuat dalam al-Qur’an dan hadis. Dalam term Al-Qur’an kata walayah disebutkan hanya sekali: …هُنَالِكَ الْوَلَايَةُ لِلَّهِ الْحَقِّ. Kata walayah diderivasi dari huruf wa, lam, dan ya. Istilah walayah sepadan dengan kata wali, awliya’, dan mawla, karena diderivasi dari kata yang sama. Kata wali disebutkan 20 kali dalam al-Qur’an, sedangkan dalam bentuk jamaknya, Awliya’, sebanyak 10 kali dan mawla sebanyak 7 kali.[12] Istilah “Wali” dalam bentuk tunggal (mufrad) sering dinisbahkan kepada Allah, seperti pada ayat: “Allah adalah Wali (pelindung) bagi orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.”[13] Sedangkan lafal “Wali” dalam bentuk plural (jama’) biasanya digunakan oleh al-Qur’an dinisbahkan untuk selain Allah, di antaranya untuk orang-orang beriman, seperti pada ayat yang dikutip Hasyim Asy’ari di atas: “Ingatlah, sesungguhnya para wali Allah, mereka tidak (ditimpa) rasa takut dan mereka tidak pula merasa bersedih.”[14] Menurut al-Thabari (w. 310 H) tidak takut (la khauf) dalam ayat tersebut adalah tidak takut akan azab Allah di Akhirat, sedangkan tidak bersedih hati (la yahzan) adalah tidak khawatir akan apa yang luput darinya di dunia. Hali itu dikarenakan rida Allah kepada mereka.[15] Adapun al-Baidhawi (w. 685 H) menafsirkan bahwa awliya’ Allah adalah mereka yang taat kepada Allah dan diberikan oleh Allah karamah atau kemuliaan.[16] Dari sini dapat dilihat bahwa walayah dalam al-Qur’an mempunyai kaitan semantik dengan ayat-ayat yang lain. Dalam artian konsepsi walayah terkait dengan konsep iman, takwa, ma’rifah, karamah, dan lain sebagainya.[17]
Adapun hadis yang paling populer dalam menggambarkan tentang sifat-sifat wali adalah hadis qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah berikut:
“Sesungguhnya Allah berfirman, “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, Aku umumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dibandingkan ia melakukan hal yang Aku wajibkan terhadapnya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah (nafilah) kecuali Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Aku adalah (yang menolong) pendengarannya saat ia mendengar, penglihatannya saat ia melihat, tangannya saat ia memukul, dan kakinya saat ia melangkah. Jika ia meminta kepada-Ku, sungguh Aku akan memberikannya. Jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, Aku akan melindunginya.”[18]
Al-Qastallani, seorang pakar hadis dan teolog, ketika mensyarh makna wali pada hadis di atas, memberikan keterangan yang sangat mirip dengan keterangan Hasyim Asy’ari yang telah disebutkan di atas. Ia menjelaskan bahwa lafal wali merupakan wazn faîl (فعيل) yang mengandung makna objek/maf’ûl (مفعول). Yaitu orang yang menetapi perintah Allah dan tunduk pada hawa nafsunya walau sesaat. Selain itu lafal wali juga mengikuti wazn (pola) faîl (فعيل) yang mengandung makna mubalaghah (hiperbola) dari subjek/fâil (فاعل). Yaitu orang yang menetapi ibadah kepada Allah tanpa banyak maksiat. Dengan demikian terlihat jelas bahwa pandangan Hasyim Asy’ari tentang makna wali memiliki akar yang jelas secara kebahasaan dan sesuai dengan keterangan para ulama terdahulu.[19]
Secara umum dapat diketahui bahwa hadis di atas mencoba menggambarkan sifat dan ciri-ciri wali. Sifat wali yaitu senantiasa mendekatkan diri kepada Allah degan melaksanakan amalan-amalan wajib dan sunah. Adapun ciri-ciri wali adalah orang yang mendapat kecintaan Allah karena ketaatan mereka, sehingga apa yang ia kerjakan selalu dalam bingkai rida Allah. Selain itu Allah berkenan untuk mengabulkan doa seorang wali dan memberi pertolongan apabila mereka meminta tolong. Apabila diperhatikan lebih seksama sifat dan ciri-ciri yang demikian merupakan sifat dan ciri-ciri orang yang bertakwa. Artinya wali adalah orang yang bertakwa. Maka definisi wali yang dipaparkan Hasyim Asy’ari, sejatinya selaras dengan kandungan al-Qur’an dan hadis yang berbicara tentang wali.
Selain selaras dengan al-Qur’an dan hadis, pandangan Hasyim Asy’ari tentang walayah juga selaras dengan pandangan para ulama terdahulu. Kebanyakan para ulama memaknai walayah secara bahasa berarti; al-qurbu dan al-dunuw yang berarti kedekatan.[20] Seperti pandangan Ibnu Taimiyah tentang wali, Menurutnya, al-Walayatu lawan dari kata al-adawah. Menurutnya pangkal dari kewalian adalah al-mahabbah dan al-qurb sedangkan yang menjadi pangkal terjadinya al-adawah adalah al-bughdhu dan al-bu’du.[21] Hakim al-Tirmidzi, seorang ulama sufi pengarang buku Khatm al-Awliya’, berpandangan bahwa walayah adalah dekat kepada Allah, hadir bersama-Nya dan dengan-Nya. Kedekatan ini menjadikan wali mempunyai karakteristik tertentu di antaranya sabar dalam menunaikan ketaatan, melaksanakan segala kewajibannya, menjaga batas-batas larangan Allah sehingga tidak berlebihan bahkan dalam hal yang mubah sekalipun.[22]
Ciri-Ciri Wali Menurut Hasyim Asy’ari
Hasyim Asy’ari juga menerangkan bahwa seseorang bisa mencapai derajat kewalian adalah karena kesempurnaan pengetahuannya (ma’rifah). Ia mengutip dari kitab Nataij al-Afkar bahwa ma’rifah adalah keyakinan yang sempurna terhadap wajib al-wujud (yaitu Allah) dengan seluruh kesempurnaan sifat-Nya.[23] Lebih jauh lagi, Hasyim juga menukil keterangan dari kitab Risalah Qusyairiyah yang menyatakan bahwa ma’rifah yang terucap dari lisan ulama adalah ilmu, maka setiap ilmu itu ma’rifah dan setiap ma’rifah juga ilmu, maka semua orang yang ‘alim terhadap Allah itu ‘arif, begitu pula semua ‘arif itu ‘alim.[24] Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan Abu Hamid al-Ghazali yang menyebutkan bahwa wali itu adalah mereka yang mengambil ilmu dari Allah dengan ilham. Mereka yang telah mendapatkan ilmu mukasyafah yang dengannya penutup keghaiban tersingkap sampai tampak baginya kebenaran di semua urusan sampai sang wali menikmati ma’rifah.[25]
Lebih lanjut Hasyim Asy’ari menerangkan cara untuk mengetahui kewalian seseorang antara yang asli (autentik) dan yang palsu. Mengutip keterangan dari kitab Risalah Qusyairiyyah, Hasyim Asy’ari menyebutkan parameter yang dapat digunakan yaitu dengan melihat sejauh mana seseorang dalam menunaikan hak Allah dan hak sesama manusia sesuai dengan tuntunan syariat.[26] Artinya inti dari sifat seorang wali adalah taat pada syariat. Maka menurut Hasyim Asy’ari, siapa saja yang mengaku dirinya wali namun pada kenyataannya ia banyak melanggar ketentuan syariat, apalagi mengajarkan sesuatu yang secara jelas bertentangan dengan syariat, sejatinya kewaliannya itu dusta. Argumen ini diperkuat lagi dengan keterangan dari kitab Nataij al-Afkar yang dikutipnya, yang menerangkan bahwa siapa saja yang mengaku dirinya sebagai wali tanpa dibuktikan dengan ketundukan dan kepatuhan pada syariat (mutaba’ah), maka pengakuannya tersebut palsu dan dusta.[27] Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri utama seorang wali menurut Hasyim Asy’ari adalah taat pada aturan syariat. Siapa saja yang mengaku seorang wali akan tetapi perilakunya bertentangan dengan syariat maka pengakuannya tersebut dusta.
Hasyim Asy’ari sangat menekankan bahwa sifat utama wali adalah berpegang teguh pada syariat. Maka ia menolak dengan tegas, pandangan yang menyatakan seorang wali yang telah mencapai derajat tertentu sehingga dekat dengan Tuhan boleh meninggalkan beberapa kewajiban syariat, misalnya tidak shalat fardhu atau shalat jum’at tanpa khutbah. Hasyim Asy’ari mendasari pandangannya ini dari keterangan dalam kitab Risalah Qusyairiyyah di mana diterangkan bahwa setiap orang yang menyelisihi ketentuan syariat maka ia termasuk orang yang tertipu dan terperdaya oleh hawa nafsunya dan bujuk rayu setan.[28] Bahkan seorang wali yang sesungguhnya, bukan hanya tidak boleh menyelisihi syariat tapi harus konsisten dalam menjalankan syariat hingga dalam persoalan adab keseharian yang terkecil sekalipun. Untuk menjelaskan hal ini, Hasyim Asy’ari menceritakan sebuah hikayat dari seorang tokoh sufi yang sangat populer, Abu Yazid al-Busthami. Diceritakan bahwa suatu ketika Abu Yazid dan murid-muridnya hendak berziarah menemui seorang yang disebut-sebut sebagai seorang wali yang sangat hebat. Setibanya di tempat tujuan, Abu Yazid melihat orang yang dianggap wali tersebut membuang ludah di dalam masjid. Maka spontan Abu Yazid mengajak para muridnya untuk pulang, sembari mengatakan bahwa orang tersebut tidak pantas dijadikan panutan.[29]
Kedudukan Abu Yazid al-Busthami dalam bidang tasawuf memang tidak diragukan lagi. Ia termasuk tokoh yang sangat berpengaruh dalam bidang tasawuf, bahkan memiliki teori-teorinya tersendiri di bidang ini. Tidak heran jika al-Asfahani memasukkan namanya dalam buku Hilyah al-Awliya’ sebagai salah satu rujukan dalam ilmu tasawuf . Oleh sebab itu pantas jika Hasyim Asy’ari mengutip kisah dari Abu Yazid al-Busthami sebagai penguat argumentasi, bahkan Hasyim menyebutnya sebagai pemimpinnya para wali (Sulthan al-Awliya’). Terdapat sebuah ungkapan yang semakin memperkuat proposisi bahwa kewalian seseorang harus dilihat dari kesesuaian perilakunya terhadap syariat. Abu Yazid al-Busthami berkata:
“Jika kalian melihat seseorang yang terlihat memiliki banyak karamah bahkan seandainya ada orang yang bisa melayang di udara, maka janganlah kalian tertipu sebelum kalian melihat bagaimana perilakunya terhadap perintah dan larangan Allah, batas-batas aturan-Nya dan bagaimana ia melaksanakan syariat.”[30]
Oleh sebab itu, Hasyim Asy’ari tidak segan-segan mengkritik pandangan orang yang ditokohkan di zamannya jika pandangan mereka secara jelas menyelisihi ketentuan syariat. Salah satu buktinya bisa dilihat dalam kitab Tamyiz al-Haq min al-Bathil di mana Hasyim Asy’ari mengkritik dengan tegas pernyataan Kiai Sukowangi Rebah Kandangan Pare Kediri dan praktik tarekat yang dilakukan oleh para pengikutnya yang dianggap menyimpang dari ketentuan syari’at. Terdapat 12 poin pernyataan Kiai Sukowangi yang dianggap menyimpang, di antaranya seperti shalat cukup dengan takbir saja, tidak butuh sesuatu yang lain dan pernyataannya bahwa melihat sesuatu yang diharamkan oleh syariat tidak berdosa jika hatinya mengingat Allah. Maka dalam buku tersebut Hasyim memberikan pernyataan yang berbunyi:
“Ketahuilah bahwa hukum-hukum syariat itu ada lima, yatiu: wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah. Tidak boleh menetapkan sesuatu tanpa ada landasan hukum (dalil), dan sesuatu yang tidak ada dasar hukumnya, maka tidak dianggap. Adapun rujukan dalil syariat terdapat pada al-Kitab, al-Sunnah, al-Ijma’ al-Qiyas dan al-Istshab. Supaya saudara semua mengetahui, bahwa pernyataan-pernyataan Tuan Guru tersebut sama sekali tidak ada dasar hukumnya (dalil), bahkan berlawanan dengan dalil.” [31]
Hasyim Asy’ari juga memberikan penjelasan tentang sebuah ungkapan yang di ambil dari kitab Qut al-Qulub yang bunyi teksnya,” Apabila Allah telah mencintai seorang hamba maka dosa tidak lagi membahayakannya.”[32] Untuk menjelaskan maksud dari perkataan tersebut, Hasyim Asy’ari mengutip keterangan dari kitab Futuhat Ilahiyyah yang menerangkan bahwa maksud pernyataan tersebut adalah bahwa sesungguhnya Allah akan melindunginya dan menjaganya dari pengaruh hawa nafsunya, maka jadilah setiap tingkah lakunya dilandasi karena Allah, untuk Allah dan hanya kepada Allah. Oleh sebab itulah bagi seorang wali, tidak mudah tergoda untuk melakukan dosa, karena ia menyadari bahwa apa yang ia kerjakan adalah atas izin Allah, dilakukan ikhlas karena Allah dan ia menyadari bahwa segala sesuatu akan kembali kepada Allah. [33] Dari uraian di atas, dapat disimpulkan ciri utama seorang wali adalah bertakwa dan taat pada aturan syariat. Dengan demikian pengakuan kewalian seseorang yang secara tindak-tanduk tidak sesuai dengan syariat tidak dapat diterima, meskipun orang tersebut terlihat memiliki karamah.
Syarat-Syarat Wali Menurut Hasyim Asy’ari
Beranjak dari keterangan di atas, Hasyim Asy’ari kemudian menerangkan tentang syarat seorang wali. Menurutnya syarat seorang wali haruslah mahfudz sebagaimana syarat seorang nabi harus ma’shum. Keterangannya ini mengacu pada kutipan dari kitab Risalah Qusyairiyyah.[34] Adapun yang dimaksud dengan mahfuz menurutnya—berdasarkan keterangan dari Risalah Qusyairiyyah—yaitu seorang wali itu dijaga oleh Allah untuk terus-menerus terjerumus dalam kesalahan dan dosa. Maka apabila ia melakukan kesalahan dan dosa akan diberi ilham untuk segera bertobat dan kembali kepada kebenaran.[35]
Pada penjelasan berikutnya Hasyim Asy’ari menjelaskan tentang perbedaan antara mahfudz bagi wali dan ma’sum bagi nabi. Pertanyaan ini dijawab dengan cukup singkat oleh Hasyim Asy’ari. Berdasarkan keterangan dari kitab Nata’ij al-Afkar yang dikutipnya, perbedaan antara mahfudz dan ma’shum adalah seorang yang mahfudz masih mungkin melakukan pelanggaran (dosa) sedangkan ma’shum tidak.[36] Maka, seorang wali yang mahfudz itu masih berpeluang untuk melakukan dosa, namun dengan adanya penjagaan (mahfudz) dari Allah, maka ia akan segera bertobat sehingga tidak terus-menerus melakukan dosa. Adapun seorang nabi yang ma’shum, tidak mungkin melakukan pelanggaran yang bernilai dosa, meskipun masih mungkin melakukan kesalahan dalam kapasitasnya sebagai manusia, namun kesalahan yang dilakukan seorang nabi tidak sampai pada pelanggaran yang bernilai dosa.[37] Dari sini dapat diketahui bahwa Hasyim Asy’ari mencoba mengungkap benang merah keterkaitan antara kewalian dan kenabian. Atau dapat pula disimpulkan bahwa kewalian sejatinya setingkat lebih rendah dari kenabian.
Apabila melihat pandangan para pakar tasawuf terdahulu, pada umumnya ajaran tentang kewalian (al-walayah) sering kali dikaitkan dengan kenabian (al-nubuwah) dan kerasulan (al-risalah). Al-Risalah adalah derajat paling tinggi, di bawahnya al-nubuwwah dan di bawahnya lagi al-walayah. Karena itu, rasul menempati peringkat tertinggi dalam kedudukannya di antara manusia banyak, di bawahnya ada nabi dan di bawahnya lagi ada baru wali, sementara manusia kebanyakan berada di bawahnya lagi. Ibn ‘Arabi menempatkan kewalian sebagai basis dari kerasulan dan kenabian. Menurutnya, semua nabi dan rasul adalah wali. Kenabian dan kerasulan adalah martabat khusus dalam kewalian. Seorang rasul adalah seorang wali yang paling utama, ia diberi tugas eksternal menyampaikan pesan Tuhan. Sedangkan seorang nabi adalah juga seorang wali yang menonjol di antara para wali berdasarkan pengetahuannya tentang alam gaib.[38] Dari sini terlihat bahwa kedudukan rasul berada di puncak, di bawahnya nabi, dan di bawahnya lagi wali. Hirarki seperti ini, sama dengan pandangan Hasyim Asy’ari hanya saja ia tidak menyebutkannya secara eksplisit.
Pengakuan Kewalian Seseorang Menurut Hasyim Asy’ari
Hasyim Asy’ari dengan tegas menerangkan bahwa tidak ada wali yang mengaku dirinya sebagai wali. Maka ketika ada orang yang menyebut dirinya wali, justru pengakuannya itu adalah bukti bahwa ia bukanlah wali. Hal ini menurut Hasyim Asy’ari adalah karena ia mengatakan sirr al-khususiyah (rahasia-rahasia kekhususan), dan membuat kedustaan atas Allah. Pernyataan ini berdasarkan keterangan dalam kitab Nata’ij al-Afkar yang berbunyi:
“Seorang wali tidak akan membuka tabir kewaliannya, dan tidak akan mengaku kalau dirinya wali. Bahkan andaikan mereka bisa mengubur jasad mereka di tanah, niscaya akan mereka lakukan. Maka siapa yang justru mengungkap bahwa dirinya wali kepada khalayak ramai, maka dia bukan termasuk ahli tarekat, bahkan justru kebalikannya”[39]
Tidak sebatas pada pernyataan-pernyataan lisan maupun tertulis, penolakan Hasyim Asy’ari terhadap pengakuan kewalian seseorang juga tampak dari sikapnya. Disebutkan bahwa Hasyim Asy’ari menentang orang yang menyatakan kewalian Kyai Khalil. Pertikaian antara Syaikh Hasyim dan Kyai Ramli Peterongan Jombang tentang sikap mengkultuskan dan memandang wali terhadap Kyai Khalil, amat terkenal di kalangan ulama Jawa Timur waktu itu. Padahal, Kyai Khalil adalah guru Syaikh Hasyim Asy’ari. Hal ini jelas menunjukkan bahwa Syaikh Hasyim sangat menolak pernyataan kewalian seseorang.[40]
Pandangan Hasyim Asy’ari yang menyatakan seseorang tidak mengetahui dirinya wali, sejatinya tidak keluar dari pikirannya sendiri. Yusuf bin Ismail al-Nabhani dalam Jami’ Karamat al-Awliya’ juga telah berpendapat demikian. Ia membangun argumentasinya dengan beberapa alasan. Alasan pertama, jika seseorang mengetahui bahwa dirinya adalah wali, maka ia akan merasa aman. Padahal merasa aman yang demikian tidak diperbolehkan. Allah berfirman, “Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.”[41] Putus asa juga tidak diperbolehkan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir”.[42] Artinya, rasa aman hanya akan dirasakan oleh orang yang keyakinannya lemah, keputusasaan hanya akan dirasakan oleh orang yang keyakinannya sedikit. Alasan kedua, Seorang wali tidak mengetahui bahwa dirinya wali, sebab ia menjadi wali karena Allah mencintainya, bukan karena ia mencintai Allah, demikian juga sebaliknya seseorang menjadi musuh Allah karena Allah memusuhinya bukan karena ia memusuhi Allah. Alasan ketiga, seorang wali tidak mungkin mengetahui bahwa dirinya wali karena hukum yang menentukan bahwa seseorang termasuk wali, orang yang berpahala, dan penghuni surga tergantung pada akhir kehidupan, dalilnya adalah firman Allah yang menyatakan, Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya pahala sepuluh kali lipat amalnya, dan barang siapa membawa amal yang buruk maka dia ia hanya diberi balasan yang sepadan dengan amal buruknya.[43] Firman Allah tersebut bukan berbunyi, Barang siapa mengerjakan kebaikan, maka baginya pahala sepuluh kali lipat sepadan dengan perbuatannya itu. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan pahala dari Allah tergantung pada akhir pelaksanaan, bukan pada awal perbuatan.[44]
Penutup
Dari pemaparan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, pertama, menurut Hasyim Asy’ari wali adalah orang yang dilindungi oleh Allah dari terjerumus ke dalam perbuatan dosa (mahfudz) dan orang yang tekun dalam beribadah kepada Allah. Atau dalam ungkapan lain wali adalah orang yang bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa. Kedua, parameter untuk mengetahui kewalian pada seseorang adalah dengan melihat sejauh mana seseorang dalam menunaikan hak Allah dan hak sesama makhluk sesuai dengan tuntunan syariat. Maka, seseorang yang mengaku dirinya wali namun pada kenyataannya ia banyak melanggar ketentuan syariat, apalagi mengajarkan sesuatu yang secara jelas bertentangan dengan syariat, sejatinya kewaliannya itu dusta. Ketiga, Hasyim Asy’ari menerangkan bahwa tidak ada wali yang mengaku dirinya sebagai wali. Maka ketika ada orang yang menyebut dirinya wali, justru pengakuannya itu adalah bukti bahwa ia bukanlah wali. Hal ini menurut Hasyim Asy’ari adalah karena ia mengatakan sirr al-khususiyah (rahasia-rahasia kekhususan), dan membuat kedustaan atas Allah.
Konsep kewalian Hasyim Asy’ari banyak terpengaruh dengan pandangan para ahli tasawuf klasik yang bercorak akhlaki. Tokoh yang paling sering dirujuk dalam karya-karyanya adalah Abu al-Qasim al-Qusyairi. Pengaruh pandangan al-Qusyairi terkait kewalian terlihat jelas ketika Hasyim mendefinisikan wali, menjelaskan syarat-syarat wali dan ketika menerangkan tentang perbedaan mahfudz dan ma’shum. Pada intinya, karya Hasyim Asy’ari yang membahas tentang kewalian merupakan respons dan jawaban terhadap kesalahpahaman masyarakat muslim awam tentang konsepsi wali. Dengan demikian, Hasyim Asy’ari telah benar-benar melaksanakan tugasnya sebagai ulama, yaitu menjadi benteng akidah umat dari paham-paham yang keliru.
Oleh: Adib Fattah Suntoro, M.Ag
[1] Yunasril Ali, “Kewalian Dalam Tasawuf Nusantara,” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 3, no. 2 (2013): 203. https://doi.org/10.15642/teosofi.2014.4.1.145-166
[2] Ryandi, “Konsep Kewalian Menurut Hakim Tirmidzi,” Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 12, no. 2 (2014): 314.
[3] Ali, “Kewalian Dalam Tasawuf Nusantara,” 207.
[4] Syamsun Ni’am, Wasiat Tarekat Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 115.
[5] Tasawuf akhlaqi adlah tasawuf yang konsentrasinya pada teori-teori perilaku, akhlak, atau budi pekerti. Sedangkan tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat. Lihat: Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal Ila Al-Tashawwuf Al-Islam, trans. Ahmad Rofi’ Utsmani (Bandung: Pustaka, 1985),187.
[6] Hakam, “K.H. Hasyim Asy’ari Dan Urgensi Riyadah Dalam Tasawuf Akhlaqi,” 155.
[7] Hasyim Asy’ari, “Ad-Durar Al-Muntathirah Fi Masa’il Al-Tis’a ‘Asyarah,” in Irsyad Al-Sari, ed. Muhammad Ishom Hadziq (Jombang: Pustaka Warisan Islam Tebu Ireng, n.d.), 2.
[8] Ni’am, Wasiat Tarekat Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, 114.Ibid.
[9] Asy’ari, “Ad-Durar Al-Muntathirah Fi Masa’il Al-Tis’a ‘Asyarah,” 3.
[10] QS. Ali Imran: 102.
[11] QS Yunus: 62.
[12] Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfaz Al-Qur’an Al-Karim (Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyah, n.d.), 766–768.
[13] QS. Al-Baqarah [2]: 257
[14] QS. Yunus [10]: 62.
[15] Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami’ Al-Bayan Fi Ta’wil Ay Al-Qur’an, ed. Ahmad Muhammad Al-Syakir (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 118–119.
[16] Nashir al-Din Al-Baidhawi, Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, n.d.), 35.
[17] Ryandi, “Konsep Kewalian Menurut Hakim Tirmidzi,” 317.
[18] Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Bukhâri, Shahih Al-Bukhari, no. 6502, Vol:8 (Dar Thuq al-Najah, 1422), 105
[19] Syihab al-Din Al-Qastallani, Irsyad Al-Sari Li Syarh Al-Bukhari, vol. 9 (Maktabah Kubra al-Amiriyah, n.d.), 289.
[20] Ibrahim Anis, Al-Mu’jam Al-Wasiṭ, (Mujamma’ al-Lughah al-Arabiah, 1972), 723.
[21] Ibnu Taimiyah, Al-Fuqan Baina Auliyai Al-Rahman Wa Auliyai Al-Syaithan (Beirut: al-maktabah al-Ashriyah, 2012), 33.
[22] Al-Hakim Al-Tirmidzi, Khatm Al-Awliya’, ed. Usman Isma’il Yahya (Beirut: al-Matba’ah al-Katulikiyyah), n.d.), 331.
[23] Asy’ari, “Ad-Durar Al-Muntathirah Fi Masa’il Al-Tis’a ‘Asyarah,” 13.
[24] Ibid.
[25] Samīh Aṭif Al-Zaīn, Al-Sūfiyah Fī Naẓari Al-Islām, (Beirut: Dār al-Kutub al-Lubnāni, 1985), 409.
[26] Abul Qosim Qusyairī, “Al-Risālah Al-Qushairiyah,” 1989, 436.
[27] Zakariya bin Muhammad Al-Anshori, Nataij Al-Afkar Al-Qudsiyyah Fi Syarh Al-Risalah Al-Qusyairiyyah (Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007), 382. Sebagaimana dikutip Asy’ari, “Ad-Durar Al-Muntathirah Fi Masa’il Al-Tis’a ‘Asyarah,” 4.
[28] Qusyairī, “Al-Risālah Al-Qushairiyah,” 436.
[29] Asy’ari, “Ad-Durar Al-Muntathirah Fi Masa’il Al-Tis’a ‘Asyarah,” 6.
[30] Al-Asfahani, Hilyah Al-Awliya’ Wa Tobaqat Al-Ashfiya’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 40.
[31] Hasyim Asy’ari, “Tamyiz Al-Haq Min Al-Bathil,” in Irsyad Al-Sari, ed. muhammad ishom hadziq (Jombang: Pustaka Warisan Islam Tebu Ireng, n.d.), 4–5.
[32] Abu Thalib Al-Makki, Qut Al-Qulub Fi Ma’alim Al-Mahbub Wa Washfi Thoriq Al-Murid Ila Maqam Al-Tauhid, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), vol. II, 82.
[33] Asy’ari, “Ad-Durar Al-Muntathirah Fi Masa’il Al-Tis’a ‘Asyarah,” 7.
[34] Qusyairī, “Al-Risālah Al-Qushairiyah,” 436.
[35] Asy’ari, “Ad-Durar Al-Muntathirah Fi Masa’il Al-Tis’a ‘Asyarah,” 5.
[36] Al-Anshori, Nataij Al-Afkar Al-Qudsiyyah Fi Syarh Al-Risalah Al-Qusyairiyyah, 376.
[37] Asy’ari, “Ad-Durar Al-Muntathirah Fi Masa’il Al-Tis’a ‘Asyarah,” 5.
[38] Ibn ‘Arabi, Fushus Al-Hikam, ed. A. Afifi (Lahore: Ashraf Press, 1946), 62.
[39] Asy’ari, “Ad-Durar Al-Muntathirah Fi Masa’il Al-Tis’a ‘Asyarah,” 15..
[40] Ni’am, Wasiat Tarekat Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, 116.
[41] QS Al-A’raf [7]: 99.
[42] QS Yusuf [12]: 87.
[43] QS Al-Maidah [6]: 160.
[44] Yusuf Ismail Al-Nabani, Jami’ Karamat Al-Awliya’ (Beirut: Dar al-Shadir, n.d.), 15–16.