Muzaffar Iqbal adalah seorang cendekiawan muslim kontemporer asal Pakistan. Iqbal lahir pada 3 Desember 1954 di Lahore Pakistan. Namun sekarang ia terdaftar sebagai warga negara Kanada. Iqbal termasuk salah seorang tokoh yang menaruh perhatian besar pada proyek Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Untuk mewujudkan ide Islamisasi, Iqbal mendirikan lembaga penelitian bernama Center for Islamic Sciences di Kanada. Ia juga menulis berbagai buku tentang Islamisasi, beberapa di antaranya berjudul Islam and Science, Studies in Islam and Science Nexus dan The Making of Islamic Science.
Dalam karyanya yang berjudul The Making of Islamic Science (Perumusan Sains Islam)[1] Muzaffar Iqbal melakukan eksplorasi mendalam tentang hubungan Islam dan sains sejak munculnya tradisi keilmuan Islam pada abad kedelapan hingga saat ini. Iqbal mengidentifikasi tiga fase hubungan antara Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan. Fase pertama dimulai dengan munculnya ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam pada abad kedelapan dan berakhir dengan munculnya ilmu pengetahuan modern di Barat; fase kedua dimulai dengan kedatangan ilmu pengetahuan modern di dunia Muslim pada akhir abad kedelapan belas dan awal abad kesembilan belas pada saat sebagian besar dunia Muslim berada di bawah pendudukan kolonial; dan fase ketiga, yang dimulai sekitar tahun 1950 dan terus berlanjut.[2]
Pada permulaan tulisannya, Muzaffar Iqbal menampilkan sebuah fakta tentang perdebatan panjang antara para pendukung (proponents) gagasan “sains Islam” (Islamic science) dan para penentangnya (opponents). Perdebatan itu Iqbal gambarkan misalnya seperti, ketika para pendukung gagasan ini menemukan banyak teori ilmiah terbaru dan bahkan penemuan teknologi dalam Al-Qur’an, di sisi lain para penentang (opponents) gagasan ini berasumsi bahwa selama 800 tahun peradaban Islam hanya menyimpan sains Yunani untuk kemudian ditemukan oleh pemilik aslinya (bangsa Eropa). Begitu juga ketika pendukung gagasan sains Islam melihat bahwa sosok Darwin, Copernicus, Kepler, Newton, Harvey, dan Einstein terinspirasi oleh al-Jahiz, al-Biruni, Ibn Sina, Ibn Haytham, al-Tusi dan Ibn Nafis, di sisi lain para penentang mereka secara sarkastis mempertanyakan apa yang telah dicapai sains Muslim selama berabad-abad itu.[3] Menurut Iqbal perdebatan kedua belah pihak sering kali merambah ke ranah yang tidak terkait.
Ironisnya, ujung ekstrem dari wacana dan perdebatan ini, sebagaimana dinyatakan Iqbal, adalah kenyataan bahwa di dunia kontemporer saat ini tidak adanya yang namanya “sains Islam” di mana pun itu. Bagi Iqbal sekalipun pernah ada tradisi ilmiah yang bisa disebut Islami, namun itu masih belum layak disebut sebagai sains Islam. Maka menurut Iqbal yang penting bagi wacana ini agar dapat bergerak maju adalah kemunculan aktual dari tradisi ilmiah yang didasarkan pada prinsip-prinsip dasar studi alam yang berlabuh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.[4] Jadi Iqbal tidak merasa cukup jika gagasan sains Islam hanya sekedar berkutat pada tataran teoritis, namun Iqbal menghendaki agar sains Islam benar-benar wujud secara aktual. Oleh karena itu dalam tulisannya tersebut Iqbal mencoba memberi jawaban atas pertanyaan: Apakah sains Islam benar-benar mungkin terjadi di dunia kontemporer?
Prinsip-prinsip sains Islam
Menurut Iqbal, secara historis prinsip-prinsip sains Islam yang ideal tersebut telah diungkapkan dengan fasih oleh sejumlah kecil sarjana Muslim selama setengah abad terakhir. Secara singkat, ilmu pengetahuan Islam (Islamic science) dapat diidentifikasi dalam tiga aspek. Pertama, sains Islam adalah ilmu yang menjadikan alam sebagai tanda (Āyat) dari Allah Yang Maha Pencipta. Kedua, sains Islam berfungsi sebagai alat untuk memanfaatkan karunia alam untuk kepentingan umat manusia sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh Sang Pencipta yang menempatkan manusia sebagai penangungjawab dan khulafā’ dari semua yang Dia ciptakan. Ketiga, sains Islam memeliharahubungan organik dan dinamis antara penyelidikan ilmiah dan kebutuhan nyata dan sejati umat manusia.[5]
Pasalnya menurut Iqbal, sains modern yang telah berkembang saat ini menginvestasikan sumber daya secara tidak proporsional pada satu aspek tertentu dari ilmu pengetahuan dan penerapannya, seperti senjata berteknologi tinggi, eksplorasi ruang angkasa atau laut dalam yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tertentu dari industri pertahanan, atau teknik medis yang secara praktis hanya tersedia bagi orang kaya dan orang-orang berpengaruh. Bagi Iqbal, orientasi penelitian ilmiah seperti itu tidak mencerminkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam.[6] Sehingga aspek-aspek sains Islam yang disebutkan di atas tadi akan menggambarkan dan mendefinisikan perbedaan baik dalam teori maupun praktik dari sains dan teknologi modern yang berkembang saat ini.
Membentuk tradisi sains
Meskipun telah jelas posisi para cendekiawan Muslim tentang sifat sains Islam dan urgensi memunculkannya, kenyataannya harapan akan lahirnya sebuah komunitas ilmuwan Muslim tidak kunjung tercapai. Iqbal menyatakan bahwa memang ada ribuan ilmuwan terkemuka yang beragama Islam, tetapi tidak ada ilmuwan Muslim yang berdedikasi untuk mengeksplorasi alam dari dalam pandangan dunia Islam. Bagi Iqbal jawaban afirmatif atas pertanyaan mungkin tidaknya sains Islam diwujudkan di dunia kontemporer bukanlah sebatas buku atau artikel tentang sains Islam, tetapi sebuah tradisi sains yang benar-benar dapat dilihat dan hidup yang secara jelas menonjol melawan sains dan teknologi yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip Barat sekuler. Nantinya tradisi sains ini tidak hanya memberikan kepada umat manusia penemuan, teknik, dan produk tertentu yang bermanfaat, tetapi juga secara bersamaan membentuk kembali kehidupan menurut citranya sendiri (fitrah). Sebab Iqbal melihat bahwa tradisi sains Barat telah menyingkirkan Tuhan dari pusat kosmos dengan menata ulang seluruh ritme kehidupan melawan alam. Data ini nyata, dapat diverifikasi, dan tidak ambigu dalam menyatakan kisah sedih kehancuran yang diderita oleh gunung dan lautan, hutan hujan, sungai, ekologi, dan lapisan ozon.[7]
Lebih jauh, Iqbal mengekspos bahwa ilmu pengetahuan modern bukanlah bagian yang berdiri sendiri; ia adalah bagian dari sistem yang lebih besar yang didasarkan pada pandangan tertentu tentang alam dan kemanusiaan. Artinya di sini Iqbal mencermati bahwa kerusakan yang ditimbulkan dari perkembangan sains dan teknologi modern berakar dari filsafat hidup mereka tentang alam dan kemanusian. Bisa jadi yang dimaksud Iqbal di sini adalah filsafat humanisme Barat, yang menekankan pada kebebasan mutlak dalam pemikiran dan penelitian tanpa terikat dengan otoritas wahyu dan tradisi.[8] Bukan tanpa alasan Iqbal mengatakan demikian, sebab menurutnya secara logika jelas tidak mungkin mereka bersusah payah untuk menemukan rudal jelajah jika kemudian hanya untuk menyimpannya di lemari. Pada intinya Iqbal ingin menjelaskan bahwa kehancuran skala besar yang disaksikan oleh umat manusia dan habitat alami selama abad kedua puluh seharusnya melahirkan kesadaran baru muncul dalam komunitas ilmiah. Yaitu komunitas ilmiah yang tidak mengotak-kotakkan iman dan sains; sains dan iman harus membentuk komitmen spiritual, etika, dan moral tunggal dan terpadu.[9]
Solusi: madrasah tujuan ganda (dual-purpose madāris)
Menurut Iqbal hambatan paling signifikan pada tingkat praktis bagi munculnya komunitas global ilmuwan Muslim adalah terpisahnya ilmuwan Muslim dari tradisi keagamaan dan intelektual mereka sendiri. Menurut Iqbal hal ini disebabkan karena para ilmuwan muslim mayoritasnya selalu muncul dari lembaga pendidikan sekuler, di mana sistem pendidikan mereka telah mengasingkan mereka dari tradisi mereka sendiri. Tentunya ungkapan ini tidak berarti bahwa Iqbal mengatakan ilmuwan Muslim itu tidak saleh, tetapi sebenarnya Iqbal ingin menunjukkan bahwa kenyataannya mereka tidak mampu mengintegrasikan iman dan profesi mereka secara holistik; ilmu mereka tetap berakar kuat dalam visi selain Islam. Di sisi lain, menurut Iqbal ulama yang dilatih di madrasah tidak menerima pelatihan ilmiah yang cukup memadai untuk mempraktikkan sains sebagai sebuah profesi.[10] Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa menurut Iqbal, terdapat jurang pemisah yang begitu besar antara sains dan agama, juga antara ilmuwan dan ulama dalam komunitas muslim dewasa ini.
Lalu apa solusi yang ditawarkan Iqbal terhadap permasalahan ini? Menurutnya solusi nyata dan praktis untuk mengatasi hambatan ini adalah dengan mendedikasikan sejumlah madrasah di dunia Muslim sebagai lembaga pendidikan yang holistik, atau yang ia bahasakan sebagai madrasah tujuan ganda (dual-purpose madāris). Yaitu lembaga pendidikan yang mengajarkan pendidikan agama dan juga sains sekaligus. Iqbal mencatat bahwa proyek ini sangat sejalan dengan praktik masa lalu, ketika madrasah tertentu melayani tujuan ganda sebagai pusat agama dan juga sains. Salah satu contohnya, menurut Iqbal adalah Madrasah Ulugh Beg yang masih berdiri kokoh di Samarkan. Iqbal mengklaim dalam sebuah catatan sejarah yang ditulis oleh Ghiyath al-Din al-Kashi, seorang matematikawan dan astronom paling ulung di dunia abad kelima belas,[11] yang berisi tentang Sultan (yaitu, Ulugh Beg) yang sangat terdidik dalam ilmu Al-Qur’an, dalam tata bahasa Arab, dalam logika, dan dalam ilmu matematika. Bahkan disebutkan terdapat enam puluh atau tujuh puluh astronom dan matematikawan di madrasah tersebut. Kevin Krisciunas menyatakan bahwa pada saat observatorium Ulugh Beg berkembang, mereka melakukan pengamatan dan analisis paling canggih di mana saja. Bahkan menurut Krisciunas pada 1420-an dan 1430-an, Samarkan adalah ibu kota astronomi dan matematika dunia.[12]
Iqbal sudah mengantisipasi sanggahan kepada mereka yang mengatakan bahwa sains telah berkembang dan berubah begitu banyak dari yang ada di zaman Ulugh Beg, sehingga tidak mungkin lagi seseorang menguasai ilmu sains dan sekaligus menjadi master ilmu agama. Begitu juga kekhawatiran mereka andaikan murid-murid madrasah, diharuskan mempelajari ilmu-ilmu alam di samping kurikulum tradisional, maka tidak dapat menjadi ulama atau ilmuwan. Iqbal menjawab kekhawatiran ini dengan dua alasan: (1) apa yang diusulkan adalah upaya terencana untuk melembagakan studi dan praktik ilmu-ilmu alam di madrasah tertentu di berbagai belahan dunia Muslim dan tidak menjadikan semua madrasah menjadi institusi bertujuan ganda (dual-purpose). Jadi meskipun madrasah tujuan ganda ini mungkin tidak menghasilkan cukup banyak ulama sekaliber yang sama seperti yang ada sekarang, akan ada madrasah lain yang memenuhi peran itu. (2) Belum ada bukti bahwa studi dan praktik ilmu pengetahuan modern hanya mungkin dilakukan dengan mengorbankan semua mata pelajaran lainnya. Lagi pula, ilmuwan kontemporer muncul dari institusi tempat mereka mempelajari banyak disiplin ilmu lain sebelum mengkhususkan diri pada cabang ilmu tertentu.[13]
Sampai di sini dapat diketahui bahwa Muzaffar Iqbal cenderung menggunakan pendekatan edukatif dalam gagasan Islamisasi ilmu pengetahuannya. Bisa jadi hal ini disebabkan kedekatannya dengan Seyyed Hossein Nasr. Diketahui bahwa Iqbal juga pernah menulis buku terkait sains Islam bersama Nasr, yaitu yang berjudul Islam, Science, Muslims and Technology : Seyyed Hossein Nasr in Conversation with Muzaffar Iqbal.[14] Nasr sendiri berpandangan bahwa sains modern yang berkembang sekarang ini sekuler dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas. Nasr mengkritik sains modern yang telah menghapus jejak Tuhan di dalam keteraturan alam. Oleh sebab itu, Nasr menawarkan konsep Islamisasi dengan yang berorientasi pada sakralisasi. Yaitu memasukkan unsur-unsur metafisik dan spiritualitas ke dalam paradigma sains Barat.[15] Tidak berbeda dari Iqbal, Nasr juga menggunakan pendekatan edukatif dalam Islamisasinya. Yaitu dengan mengintegrasikan berbagai mata pelajaran ke dalam pandangan dunia Islam, sehingga akan mewujudkan suatu sistem yang akan melatih siswa untuk tetap menjadi Muslim yang taat dan terikat pada tradisi mereka sendiri sambil mempelajari disiplin ilmu seperti fisika modern, kimia, teknik atau ilmu sosial yang berasal dari Barat.[16]
Perlu digaris bawahi, bahwa bagi Iqbal sendiri usulannya ini bukanlah resep tetap, tetapi solusi praktis yang perlu diimplementasikan melalui kolaborasi kreatif dan dinamis antara ilmuwan, ilmuwan sosial, dan ulama yang serius dan berdedikasi. Bagi Iqbal ide ini sangat mungkin untuk diimplementasikan. Ia menyebut bahwa sepuluh atau lima belas madrasah yang lebih terorganisir dan didanai lebih baik di negara-negara Muslim yang cukup makmur seperti Malaysia, Arab Saudi, Kuwait, dan Iran dapat dengan mudah diubah menjadi lembaga-lembaga semacam itu. Menurut Iqbal, madrasah tujuan ganda yang baru didirikan ini dapat dimulai dengan menarik sejumlah ilmuwan berprestasi, baik pria dan wanita kreatif yang terlatih sebagai ilmuwan sosial, dan ulama, yang didedikasikan pada tugas mengeksplorasi cara-cara praktis secara kreatif untuk membangun tradisi sains yang berlabuh dalam visi Islam yang mendalam. Hal ini sebagai pemenuhan fard al-kifayah yang belum pernah dilakukan oleh siapa pun selama ini. Iqbal optimis jika inisiatif yang serius dan berdedikasi semacam ini benar-benar dijalankan, maka dapat dengan mudah menghasilkan panen ilmuwan ulama (‘ulama’-scientists) pertama mereka pada tahun 2025.
Selanjutnya Iqbal menyatakan bahwa begitu hubungan kreatif yang cukup telah dibangun antara ilmuwan, ulama, pemikir Muslim, dan ilmuwan sosial, maka akan muncul kedekatan alami dan hubungan intelektual dengan tradisi sains Islam yang berusia berabad-abad. Dengan demikian seluruh proses akan menghasilkan minat, momentum, dan hasil yang cukup terlihat yang akan menonjol sebagai alternatif yang layak sebagai pengganti ilmu pengetahuan dan teknologi profan yang sekarang mendominasi keberadaan manusia di semua bagian dunia. Iqbal menegaskan, begitu manfaat ilmu pengetahuan Islam menjadi nyata, akan ada alasan yang cukup dan kompulsif bagi semakin banyak ilmuwan untuk bergabung dalam upaya ini. Iqbal meyakini bahwa dengan adanya bukti konklusif tentang kelangsungan hidup dan penerapan yang ketat dari visi Islam tentang alam, semua keberatan terhadap gagasan ilmu pengetahuan Islam akan dikesampingkan selamanya.[17]
Dari uraian Iqbal tersebut dapat disimpulkan bahwa menurutnya sains Islam sangat mungkin untuk diwujudkan di dunia kontemporer. Dari penelusurannya, Iqbal menganalisis bahwa hambatan utama untuk lahirnya sains Islam, adalah karena adanya jurang pemisah antara ilmu agama dengan sains, di satu sisi banyak ilmuwan muslim namun ilmu mereka sekuler, di sisi lain banyak ulama pakar agama namun tidak memiliki basis ilmu sains yang cukup. Sehingga bagi Iqbal solusi praktis untuk mengurai hambatan ini adalah melalui lembaga pendidikan yang mengajarkan dua dimensi ilmu tersebut sekaligus, atau yang ia sebut dengan madrasah tujuan ganda (dual-purpose madāris). Iqbal optimis madrasah ini akan mencetak para ilmuwan ulama (‘ulama’-scientists). Merekalah yang kelak berpotensi untuk melahirkan sains yang berpijak pada visi Islam tentang alam.[]
Oleh: Adib Fattah Suntoro, M.Ag.
[1] Muzaffar Iqbal, The Making of Islamic Science (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007).
[2] Ibid., vii–xvii.
[3] Ibid., 227.
[4] Ibid., 228.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid., 229.
[8] Saifullah, “Renaissance Dan Humanisme Sebagai Jembatan Lahirnya Filsafat Modern,” Jurnal Ushuluddin 22 (2014): 317.
[9] Iqbal, The Making of Islamic Science, 230.
[10] Ibid., 230–231.
[11] Rodney Cartwright, “The Planetary Equatorium of Jamshid Ghiyath Al-Din Al-Kashi (d. 1429),” Perspectives in Public Health 130, no. 5 (2010): 239–239, doi:10.1177/1757913910379198.
[12] Kevin Krisciunas, “A More Complete Anaylsis of the Errors in Ulugh Beg’s Star Catalogue,” Journal for the History of Astronomy 24, no. 4 (1993): 269–80, doi:10.1177/002182869302400403.
[13] Iqbal, The Making of Islamic Science, 231–232.
[14] Muzaffar Iqbal and Seyyed Hossein Nasr, Islam, Science, Muslims and Technology: Seyyed Hossein Nasr in Conversation with Muzaffar Iqbal (Islamabad: Dost Publications, 2020).
[15] Syarif Hidayatullah, “Konsep Ilmu Pengetahuan Syed Hussein Nashr: Suatu Telaah Relasi Sains Dan Agama,” Jurnal Filsafat 28, no. 1 (2018): 131, doi:10.22146/jf.30199.
[16] Seyyed Hossein Nasr, A Young Muslim’s Guide to the Modern World (Chicago: Kazi Publication, 2003), 130
[17] Iqbal, The Making of Islamic Science, 232–233.