Dewesternisasi adalah proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Begitu pun, ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasi harus diislamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-teori. [1]
Penelitian dan pemeriksaan terhadap ilmu-ilmu modern ini meliputi metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern; beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika; penafsiran historisitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduga berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, hubungannya dengan ilmu-ilmu lainnya, serta hubungannya dengan sosial.[2]
Dalam teori psikoanalisis Freud, aspek yang paling menonjol pertentangannya dengan worldview Islam adalah terkait pandangannya soal agama yang sangat ateistik.[3] Berdasarkan perspektif teori psikoanalisis, Freud memandang bahwa agama lahir dari dorongan libido seksual yang dikontrol oleh id dalam struktur kepribadian manusia. Dengan teori oedipus complex dan totemisme, Freud membangun argumentasinya tentang agama.[4] Dari teorinya tersebut Freud mencoba untuk menyatakan bahwa sebenarnya agama lahir dari gejala psikologis semata. Begitu pun konsep tentang Tuhan, dengan teorinya ini Freud ingin menyatakan bahwa Tuhan hanyalah ilusi yang diciptakan oleh manusia sendiri. Maka tidak heran jika kemudian Freud cenderung memusuhi agama dan membenci Tuhan. Ia bahkan menyatakan bahwa agama adalah gangguan neurosis.
Dari perspektif worldview Islam, pandangan Sigmund Freud tersebut sangat bermasalah karena menyinggung persoalan teologis. Terdapat beberapa kritik yang bisa dilayangkan pada teori psikoanalisis Freud tentang agama tersebut. Pertama, terdapat cacat metodologis dan filosofis pada pemikiran Sigmund Freud. Menurut Rasjidi dalam Filsafat Agama, cara pengambilan sampel yang digunakan Freud tidak mencerminkan representasi dari manusia beragama. Dari sisi metodologis, hal ini merupakan titik lemah penarikan inferensi pandangan Freud mengenai agama. Freud hanya meneliti pasien-pasien yang menderita penyakit mental atau pasien yang mengalami kegoncangan jiwa seperti frustrasi, anxiety, depresi, neurosis, dan psikotik. Generalisasi yang ditarik dari hasil pengamatannya terhadap orang-orang yang mengalami ganguan mental tersebut menyebabkan Freud berkesimpulan bahwa agama adalah ilusi dan neurosis yang mengancam kehidupan manusia.[5]Hal ini juga disebabkan secara filosofis, Freud banyak terpengaruh oleh paradigma positivisme Auguste Comte (1789-1857) yang menyatakan bahwa pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta.[6] Dari sini bisa disimpulkan bahwa logika Freud tentang agama adalah cacat, sebab ia melakukan generalisir temuan hanya dari sedikit objek yang tidak representatif.
Selain itu, uraian Freud mengenai agama mengesankan seolah-olah ia mendapatkan wahyu yang membuka mata terhadap kebenaran baru yang tersembunyi. Karena itu Karl Popper, meragukan status ilmiah teori Freud. Menurut Popper, Freud hanya mencari pembenaran teorinya saja dengan terus berusaha menemukan ‘verifikasi’ bagi teori kesayangannya itu. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan Einstein misalnya, di mana ia mencari eksperimen-eksperimen krusial yang akan menfalsifikasikan teorinya.[7] Bila teori Freud tentang agama diverifikasi, maka akan sangat bertentangan dengan realitas empiris. Penggunaan observasi dan hukum kontradiksi terhadap pernyataan Freud bahwa agama adalah ilusi, penganutnya mengidap neurosis dan infantilis tidak terbukti sebab agama pada hakikatnya merupakan realitas yang membangun peradaban manusia. Lihat saja misalnya istana al-Hamra, Taj Mahal, Borobudur, Ka’bah, dan Kathedral Roma merupakan karya agung yang dihasilkan berdasarkan dorongan agama.[8]
Kelemahan lain dari teori Freud adalah karena ia tidak mempunyai daya prediksi yang tepat. Sebab salah satu persyaratan metodologis dari suatu teori yang baik adalah kemampuannya untuk memprediksi apa yang akan terjadi.[9] Andaikan teori Freud tentang agama mempunyai prediksi yang tepat dan dapat dipercaya, maka tentu tidak akan ada penemuan-penemuan besar dan karya-karya mengagumkan dari orang beragama. Orang gila yang diliputi kehidupan kejiwaan penuh ilusi tidak mungkin mampu menghasilkan suatu karya kemanusiaan. Namun sejarah mencatat bahwa agama mempunyai sumbangsih besar pada peradaban. Orang-orang muslim mengambil manfaat dari Hellenisme, sehingga mereka melahirkan peradaban tinggi di Andalusia dan Bagdad; begitu juga Renaissance Italia, pada dasarnya untuk menghidupkan kembali kejayaan Yunani Klasik, dan masih banyak lagi.[10] Kenyataan sejarah ini membuktikan kesalah teori Freud tentang agama.
Pernyataan Freud bahwa agama merupakan gangguan psikis mendapat bantahan telak dari Howard Clinibell, seorang profesor dalam konseling pastoral. Dalam penelitiannya, Clinibel menunjukkan bahwa agama mempunyai kontribusi yang unik terhadap perkembangan psikologis dan pemeliharaan fungsi kesehatan mental manusia, yaitu: 1) agama memberikan suatu periode pembaruan keyakinan dasar, 2) agama mengembangkan perasaan keterikatan secara horizontal dan vertikal, 3) agama memberikan filsafat hidup yang bergairah, 4) agama membantu manusia mengadakan transendensi diri, 5) agama memberi prosedur untuk mengatasi krisis kehidupan, dan 6) agama membantu mengembangkan pertumbuhan pribadi dan perkembangan perubahan sosial.[11] Dengan demikian hasil penelitian ini menolak pernyataan Freud.
Selain pandangan Freud tentang agama yang didasari teori psikoanalisis, kritik juga perlu dilayangkan pada konsepsinya tentang manusia. Pandangan freud tentang manusia, sebagaimana telah disebutkan di atas, bertumpu pada struktur kepribadian yang meliputi id, ego dan super ego. Kemudian dari teori ini, Freud berpandangan bahwa id adalah pemeran utama dalam pembentukan kepribadian manusia. Id menurutnya mengarah pada pemuasan hasrat seksual atau libido. Hasrat inilah yang mendorong manusia dalam berperilaku termasuk dalam soal agama.[12] Pandangan yang demikian sangat deterministik dan negatif. Pandangan ini menempatkan manusia sebagai pribadi yang terikat pada belenggu libido, tidak mampu keluar dari jeratan seks, bahkan beragama pun landasannya seks.
Pendapat Freud ini mendapat krtik, salah satunya dari muridnya sendiri, Carl Gustave Jung. Jung berpendapat bahwa motivasi beragama berakar dan bertumpu dari ‘natur religiosa’ bukan dari dorongan seksual. Natur religiosa merupakan fungsi agama yang alamiah dan bawaan seiring dengan keberadaan manusia. Jung bahkan berpendapat bahwa kesehatan psikis dan stabilitas psikis dan stabilitas psikis bergantung pada peran agama dalam pembentukan ‘individuasi’.[13] Ini bertentangan dengan mereka yang berpandangan bahwa agama adalah suatu ilusi, suatu pelarian dari realitas atau kelemahan yang kekanak-kanakan.
Berikutnya, konsep kedua yang perlu dikritisi atau di-dewesternisasi dalam teori psikoanalisis Freud adalah tentang etika atau moralitas. Dalam teori Freud dinyatakan bahwa nilai moralitas tentang baik-buruk dan norma asusila, ditentukan oleh adanya dorongan super ego bukan oleh nilai agama. Freud menyatakan bahwa super ego adalah aspek kepribadian yang memuat unsur-unsur moral, nilai-nilai dan adat istiadat. Super ego kemudian berkembang menjadi penentu dan pengontrol diri dalam menghadapi dorongan libido dari id. Maka super ego menjadi kritikus tertinggi bagi moralitas.[14] Dalam konsepnya ini, Freud sama sekali tidak memasukkan agama sebagai sumber nilai dan moralitas. Sebab, alih-alih merujuk pada agama, Freud sendiri menilai agama justru merugikan pertumbuhan kepribadian manusia. Agama baginya hanya menimbulkan represi yang menyebabkan ketakutan dan menimbulkan hambatan untuk berpikir kritis.[15] Di sinilah letak problem sekularisme pada teori psikoanalisis Freud, yaitu berupa pembangkangan terhadap nilai-nilai (deconsecration of values).
Pandangan Freud tersebut mendapat kritik dari beberapa sarjana Barat sendiri. Misalnya, Victor Frankl, mengemukakan bahwa “man lives in three dimensions: the somatic, the mental and the spiritual. The spiritual dimension cannot be ignored, for i tis what makes us human.”[16] Dalam pernyataannya selanjutnya, Frankl menyatakan bahwa dimensi yang paling perlu dikembangkan seoptimal mungkin adalah dimensi spiritual. Pengembangan dimensi kepribadian manusia dimaksudkan agar individu dapat mengecap kebermaknaan hidup. Frankl mengemukakan bahwa “the supra meaning can be grasped only by faith and not by intellectual means…Trust in God precedes people’s ability to have faith in life’s ultimate meaning.”[17] Di sinilah pentingnya agama sebagai pembangkit spiritual manusia. Pernyataan Frankl ini jelas membantah anggapan Freud bahwa agama tidak penting dan sia-sia. Justru menurut Frankl agama adalah sumber moralitas terbaik.
Di kalangan muslim, kecaman terhadap teori Freud ini lebih kencang lagi. Mohammed Yasin, misalnya, ia mengecam teori Freud sebagai sangat spekulatif, deterministik, mekanistik, sekuler dan menolak eksistensi spiritual manusia. Dia mengemukakan bahwa Freud mengabaikan unsur spiritual dalam diri manusia yang bersumber dari fitrah. Teori Freud tentang id, ego dan super ego tidak sama dengan fitrah. Sebab fitrah adalah kekuatan pendorong utama bawaan atau dorongan untuk mengimani, menyembah, dan mematuhi perintah Allah. Fitrah adalah kemampuan dasar bawaan manusia yang setiap saat dapat berkemban. Maka fitrah akan menjadikan insan terbuka mata batinnya menghayati Tuhan dengan segala kebenaran-Nya.[18] Inilah yang seharusnya ada pada manusia, bukannya justru dorongan libido seksual, tapi kemurnian jiwa untuk menyembah Tuhan.[]
Oleh: Adib Fattah Suntoro, M.Ag.*
* Peneliti Centre for Islamic and Occidental Studies, Universitas Darussalam Gontor
[1] Raha Bistara, “Gerakan Pencerahan (Aufklarung) Dalam Islam: Menguak Islamisasi Ilmu Pengetahuan Sayed Naquib Al-Attas,” Jurnal Al-Aqidah 13, no. 1 (2021): 8.
[2] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena To the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 114.
[3] Riyadi, “Sigmund Freud : Dari Psikoanalisis Ke Agama,” 12.
[4] Barakatu, “Kritik Terhadap Pandangan Sigmund Freud: Agama Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan,” 158.
[5] H. M. Rasjidi, Filsafat Agama (Jakarta: N.V. Pemandangan, 1965), 129.
[6] Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, 204.
[7] Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah: Menurut Karl R Popper (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), 42.
[8] Barakatu, “Kritik Terhadap Pandangan Sigmund Freud: Agama Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan,” 155.
[9] Calvin S Hall and Gardner Lindzey, Theories of Personality (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 111.
[10] Dedi Supriadi, Kreativitas, Kebudayaan, Dan Perkembangan Iptek (Bandung: Alfabeta, 1994), 71.
[11] Russell Bishop, “Religious Values as Cross-Cultural Issues in Counseling,” Counseling and Values 36, no. 3 (1992): 179–193.
[12] Riyadi, “Sigmund Freud : Dari Psikoanalisis Ke Agama,” 10.
[13] John W. M Verhaar, Identitas Manusia Menurut Psikologi Dan Psikiatri Abad Ke 20 (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 36. Bandingkan dengan uraian Fordam F, Pengantar Psikologi C.G. Jung: Teori-Teori Dan Teknik Psikologi Kedokteran, ed. Istiwidiayati (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1988), 54.
[14] Barakatu, “Kritik Terhadap Pandangan Sigmund Freud: Agama Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan,” 163.
[15] Miller, “Religious/Spiritual Life Span Development,” 105–122.
[16] Hanna Djumhana Bastaman, Lntegrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Lslami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1955), 64.
[17] Richard Nelson Jones, Counseling and Personality: Theory and Practice (Australia: Allen&Unwin, 1995), 169.
[18] Yasien Mohamed, Fitra: The Concept of HUman Nature, ed. Masyhur Abadi (Bandung: Mizan, 1997), 167.