Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan pencetus ide islamisasi ilmu pengetahuan. Latar belakang munculnya gagasan ini karena al-Attas berpandangan tidak adanya landasan pengetahuan yang bersifat netral, sehingga ilmu pun tidak dapat berdiri sendiri dan bebas nilai (value free) tetapi sejatinya sarat nilai (value laden). Menurut al-Attas pengetahuan dan ilmu yang tersebar di masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai corak peradaban dan budaya Barat. Menurut al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa kebingungan dan skeptisisme. Sebab Barat telah menempatkan keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah dalam metodologi. Lebih jauh lagi al-Attas menyatakan bahwa peradaban Barat telah menyebabkan kekacauan pada tiga aspek alam yaitu hewan, nabati dan mineral.[1] Oleh sebab itu, Naquib al-Attas menyimpulkan dunia muslim tidak seharusnya mengekor ilmu yang berkembang di Barat, sebab ilmu dapat dijadikan medium bagi tersebarnya pandangan hidup suatu kebudayaan.
Definisi Islamisasi menurut Al-Attas disebutkan dalam bukunya Islam and Secularism yaitu:
“ Islamization is the liberation of man first from magical, mythological, animistic, national—cultural tradition opposed to Islam, and then from secular control over his reason and his language.”
“Islamisasi adalah pembebasan manusia pertama-tama dari tradisi magis, mitologis, animistik, budaya nasional yang bertentangan dengan Islam, dan kemudian dari kontrol sekuler atas akal dan bahasanya.”[2]
Sebagaimana telah disebutkan di atas, definisi al-Attas tentang Islamisasi menekankan pada pembebasan paradigma pikiran manusia dari kontaminasi pandangan yang bertentangan dengan asas Islam. Pembebasan yang dimaksud di sini adalah pembebasan worldview manusia dari tradisi magis, mitologis, animistik, budaya nasional yang bertentangan dengan Islam, dan kemudian dari kontrol sekuler atas akal dan bahasanya. [3] Bagi al-Attas, Islamisasi juga merupakan pembebasan manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaniahnya yang condong zalim atas dirinya sendiri sehingga jauh dari fitrah dan tujuan asalnya. Atas dasar ini, Islamisasi bukanlah proses evolusi akan tetapi merupakan satu proses pengembalian kepada fitrah.[4]
Dalam konsepsi Muhammad Naquib al-Attas, proses Islamisasi ilmu bisa dilakukan dengan melalui dua tahapan yaitu, dewesternisasi, dan kemudian integrasi. Dewesternisasi adalah proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Begitu pun, ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasi harus diislamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-teori. [5] Penelitian dan pemeriksaan terhadap ilmu-ilmu modern ini meliputi metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern; beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika; penafsiran historisitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduga berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, hubungannya dengan ilmu-ilmu lainnya, serta hubungannya dengan sosial.[6]
Tahapan selanjutnya adalah integrasi, yaitu memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kuncinya yang masih relevan dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan modern. Beberapa konsep kunci yang dapat dimasukkan ke dalam sains modern di antaranya, konsep din, konsep manusia (insan), konsep ilmu (ilm dan ma’rifah), konsep amal yang benar (amal sebagai adab) dan semua istilah dan konsep lain yang terkandung dalam worldview Islam. Tidak hanya itu, proses integrasi juga dapat dilakukan dengan memodifikasi konsep Barat, seperti konsep universitas (kulliyah, jami’ah) yang berfungsi sebagai bentuk implementasi semua konsep-konsep itu dan menjadi model sistem pendidikan.[7] Misalnya, jika dalam worldview Barat universitas adalah industri yang berdampak pada ekonomi dan tujuan pendidikan adalah menjadikan peserta didik menjadi warga negara yang baik, maka dalam worldview Islam universitas adalah lembaga untuk mencetak manusia universal (insan kamil). Tujuan pendidikan dalam Islam adalah menghasilkan manusia beradab, tidak sekedar menjadi manusia yang baik berdasar ukuran kewarganegaraan, seperti yang dipahami oleh Barat selama ini.[8]
Dengan adanya dua tahapan tersebut menjadi jelas, bahwa Islamisasi bukanlah sekedar transplantasi (menempelkan), bukan pula ‘ayatisasi’ atau ‘haditsisasi’ sebagai justifikasi dan pembenaran.[9] Sebab metode yang demikian hanya akan menuai konflik dan tidak ada artinya karena esensi elemen-elemen asing masih berada dalam body of knowledge yang mustahil dileburkan dalam sains Islam.[10] Lebih fatal lagi, proses yang demikian hanya akan menghasilkan produk yang ‘abu-abu’, bukan sains sekuler dan juga bukan sains Islam. Namun dengan adanya proses dewesternisasi dan integrasi maka corak produk ilmu yang dihasilkan akan menjadi sangat jelas, yaitu sains Islam yang secara diametral berlainan dengan sains Barat sekuler.
Pada akhirnya Islamisasi ilmu pengetahuan corak al-Attas berpusat pada Islamisasi nalar (framework) dan pandangan dunia (worldview), sehingga proses berpikir manusia dan kerja keilmuannya menghasilkan produk teoritis dan pengetahuan yang berasaskan kepada prinsip-prinsip wahyu, berpusat kepada Tuhan dan semesta raya.[11] Islamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan (shakk), dugaan (dzann), dan argumentasi kosong (mira’) menuju keyakinan akan kebenaran mengenai relitas spiritual, intellegible dan materi. Lebih jauh lagi, Islamisasi akan mengeluarkan penelaahan ilmu pengetahuan kontemporer dari ideologi, makna dan ungkapan sekuler.[12] Dengan demikian tujuan Islamisasi untuk melindungi orang Islam dari ilmu yang sudah tercemar dan terhegemoni sekularisme Barat akan tercapai.[]
Oleh: Adib Fattah Suntoro, M.Ag.*
* Peneliti Centre for Islamic and Occidental Studies, Universitas Darussalam Gontor
[1] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1993), 132–33.
[2] Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 44.
[3] Al-Attas, Islam and Secularism, 1993.
[4] Moch Tolchah, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Pendekatan Al-Faruqi Dan Al-Attas),” Solusi 2, no. 1 (n.d.): 107.
[5] Raha Bistara, “Gerakan Pencerahan (Aufklarung) Dalam Islam: Menguak Islamisasi Ilmu Pengetahuan Sayed Naquib Al-Attas,” Jurnal Al-Aqidah 13, no. 1 (2021).
[6] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena To the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995).
[7] Al-Attas.
[8] Anton Ismunanto, Hamid Fahmy Zarkasy: Biografi Intelektual, Pemikiran Pendidikan, Dan Pengajaran Worldview Islam Di Perguruan Tinggi, ed. Ismail Al-’Alam (Yogyakarta: Yayasan Bentala Tamadun Nusantara, 2021), 152.
[9] Baharuddin Abdrahman, “Islamisasi Ilmu Al-Attas: Framework Dan Implementasi,” Dirasat 14, no. 1 (2019).
[10] An Nadwah, “Telaah Islamisasi Pengetahuan ( Islamization of Knowledge ) Syed Naquib Al-Attas,” An Nadwah XXVII, no. 2 (2021): 58.
[11] Ismunanto, Hamid Fahmy Zarkasy: Biografi Intelektual, Pemikiran Pendidikan, Dan Pengajaran Worldview Islam Di Perguruan Tinggi.
[12] Tolchah, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Pendekatan Al-Faruqi Dan Al-Attas).”