Problem Sekularisme dalam Teori Psikoanalisis Sigmund Freud

Dalam ilmu psikologi Barat dikenal sebuah aliran yang disebut dengan psikonalisis. Aliran ini dikembangkan dan dipopulerkan oleh Sigmund Freud, seorang pakar psikologi Austria keturunan Yahudi.[1] Meski teori psikonalisis besar dan berkembang berkat kerja keras Freud, namun ternyata ia bukanlah pencetus awalnya. Pencetus pertama teori ini adalah gurunya yang bernama Josef Breuer, seorang dokter dan ahli fisiologi. Dalam bukunya Ueber Psychoanalyse, Freud menyebutkan bahwa pertama kali Josef Breuer menggunakan metode psikonalisis ini adalah untuk mengobati seorang pasien histeria.[2] Bersama Josef Breuer, Freud kemudian menulis buku tentang penyakit histeria berjudul Studien über Hysterie (1895).[3] Buku ini disebut-sebut sebagai titik awal lahirnya teori psikonalisis.

Aliran psikonalisis yang dipelopori oleh Sigmund Freud memiliki asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk yang berkembang atas dasar dorongan-dorongan tertentu serta perilaku manusia sangat didominasi oleh masa lalunya.[4] Karena itu perlu dipahami, dalam struktur pemikiran psikonalisis Freud terdapat tiga tingkat kesadaran pikiran manusia, yaitu: alam sadar (conscious mind), alam pra sadar (pre-conscious mind) dan alam bawah sadar (unconscious mind).[5]  Alam sadar ialah tingkatan pikiran manusia di mana ia menyadari sepenuhnya peristiwa yang sedang dialami. Adapun alam pra sadar, yaitu keadaan di bawah tingkat kesadaran tadi. Tingkatan alam pra sadar ini berposisi sebagai semacam ruang penyimpanan ingatan yang dengan sedikit upaya dapat ditarik ke alam sadar (available memory). Sedangkan alam bawah sadar, meliputi segala hal yang sulit ditarik ke alam sadar, semisal insting, nafsu,  atau emosi dan kenangan traumatis.[6] Bagi Freud, alam bawah sadar adalah bagian yang paling berperan besar dalam pikiran seseorang, sementara alam sadar dan pra sadar, hanya memainkan peran kecil saja. Karena itu, tesis dasar psikonalisis Freud memandang bahwa perilaku  manusia dipengaruhi oleh kehendak-kehendak tak sadar (unconscious mind).

Ketiga tingkatan tersebut sering digambarkan oleh Freud seperti sebuah gunung es yang mengambang. Sisi paling atas yang mencuat ke permukaan air adalah alam sadar (conscious mind). Sedangkan bagian terdalam yang berada di bawah permukaan air adalah alam bawah sadar (unconscious mind). Lalu bagian yang terletak di antara keduanya atau yang berada tepat di permukaan air yaitu alam pra sadar (pre-conscious mind).[7] Hingga tahun 1920-an, struktur pemikiran Freud tentang konflik kejiwaan berkutat pada tiga tingkatan kesadaran tersebut saja. Namun pada tahun 1923, Freud merumuskan tiga sistem kepribadian yang lain sebagai penambahan yang memperinci. Ketiganya yaitu, id (das es), ego (das ich), dan Super ego (ueber ich).[8] Ketiga struktur ini menyempurnakan gambaran mental manusia, terkhusus tentang tujuan dan fungsinya.

Pada lapisan kesadaran bawah sadar (unconscious mind), terdapat id (das es) yang berfungsi pada aspek biologis. Id merupakan struktur kepribadian yang menyimpan kecenderungan-kecenderungan biologis manusia. Prinsip kerja Id adalah mencapai kesenangannya sendiri (pleasure principle). Id  berwujud semacam energi, spontan, asli, irasional, impulsif, berorientasi pada kesenangan, dan menghindari apa pun yang tidak mengenakkan.[9] Termasuk di dalam sistem kepribadian ini adalah naluri seks dan agresivitas.[10] Di dalam Id  ini terdapat naluri yang disebut “libido”, yang berkedudukan sebagai  suatu naluri konstruktif. Sebagai struktur kepribadian yang paling bawah, Id memiliki porsi paling dominan dalam mempengaruhi kehidupan manusia.[11] Karena itu menurut Freud,  jika id tidak terpenuhi, maka akan terjadi kecemasan dan ketegangan.

Untuk itu menurut Freud, manusia harus mampu mengontrol alam bawah sadarnya itu dengan mekanisme pertahanan yang disebut ego (ego defence mechanism). Berbeda dengan id yang bersifat tidak rasional dan berorientasi pada kesenangan (pleasure principle), ego adalah sistem kepribadian yang bersifat rasional dan berorientasi pada realitas (reality principle).[12] Lebih jauh lagi, menurut Freud ego berfungsi sebagai mediator antar id dan kondisi lingkungan. Selain itu ego juga berfungsi sebagai pengontrol tindakan dan pengendali hubungan antara id dan super ego.[13] Karena itu peran ego sangat penting sekali, selain bekerja secara sadar dalam menyaring nafsu yang muncul dari id, ego juga berperan mengendalikan nafsu yang sifatnya destruktif.

Sistem kepribadian yang terakhir yaitu super ego (das uber ich) yang berkedudukan sebagai sistem kepribadian paling tinggi. Menurut Freud, prinsip yang dimiliki super ego adalah prinsip idealistik yang merupakan kebalikan dari id. Sistem kepribadian super ego menggambarkan kekuatan moral dan etik kepribadian manusia. Berbeda dengan id yang tidak bisa menentukan benar atau salah, super ego berfungsi guna menetapkan antara salah atau benar, pantas atau tidak, dan segala pertimbangan moral lainnya.[14] Pada intinya, menurut Freud super ego memiliki setidaknya tiga fungsi utama, yaitu menekan dorongan-dorongan yang bersimpangan dengan tuntutan masyarakat (id), mendorong ego agar mengganti dari tujuan realistis ke tujuan moralistis, dan terakhir mengejar kesempurnaan bukan kesenangan.[15] Dari sini kemudian super ego (das uber ich) sering terombang-ambing oleh dua pengaruh, yaitu pengaruh id (das es) dan pengaruh ego (das ich). Apabila diilustrasikan, maka struktur kepribadian dalam teori psikonalisis adalah sebagai berikut.

Gambar 1. Ilustrasi Struktur Kepribadian

Teori psikonalisis Sigmund Freud ini kemudian diaplikasikan olehnya untuk membaca berbagai perilaku manusia, tidak terkecuali dalam bidang agama.  Sigmund Freud memiliki pandangan bahwa agama lahir dari dorongan seksual yang diperankan oleh id, ego, dan super ego.[16] Teori Freud tentang agama dapat ditemukan dalam karya-karyanya seperti Totem and Taboo (1919),[17] The Future of an Illusion (1927),[18] dan Moses and Monotheism (1939).[19] Untuk memperkuat tesisnya tentang agama, ia merumuskan teori yang disebut Oedipus Complex. Penamaan oedipus pada teorinya merujuk pada sosok mitologi Yunani yaitu Oedipus yang membunuh ayahnya, Laius, demi menikahi ibunya, Jocasta.[20] Penjelasan mengenai teori ini, Freud paparkan panjang lebar dalam bukunya The Three Essays on the Theory of Sexuality.[21] Dalam buku tersebut Freud menjelaskan bahwa seorang anak dengan dorongan id yang dimilikinya, ingin mendapatkan kenikmatan seks dengan ibunya. Namun keinginan tersebut terhalang oleh ayahnya. Maka timbul kebencian dan kecemburuan sang anak pada ayahnya.[22] Jadi singkatnya, oedipus complex adalah sindrom cinta ibu yang bernuansa erotis.

Oleh Freud, teori oedipus complex ini dianggap memiliki kesamaan dengan totemisme. Totemisme sendiri adalah sebuah kepercayaan manusia purba pada sebuah unsur magis yang terkandung dalam sebuah benda atau makhluk hidup selain manusia. Benda atau makhluk hidup tersebut disebut totem.[23] Menurut Freud, totemisme lahir dari sindrom oedipus complex. Di mana ayah diletakkan sebagai totem. Inilah titik tolak lahirnya agama. Bagi Freud, agama totemik muncul dari rasa bersalah anak, dalam upaya untuk menghilangkan perasaan itu dan menenangkan ayah dengan kepatuhan yang ditangguhkan kepadanya.[24] Menurutnya semua agama kemudian dipandang sebagai upaya untuk memecahkan masalah yang sama. Oleh karena itu, dalam The Future of an Illusion Freud mengatakan pernyataan yang kontroversial, “Religion would thus be the universal obsessional neurosis of humanity: like the obsessional neurosis of children, it arose out of the Oedipus complex, out of the relation to the father.”[25]

Problem Teori Psikonalisis

Secara umum, problem utama yang melanda ilmu pengetahuan Barat adalah sekularisme. Problem sekularisme ini juga terdapat dalam teori psikonalisis Freud. Sekularisme sendiri secara leksikal berasal dari istilah bahasa Latin saeculum, yang berarti masa kini (this age).[26] Dalam bahasa Yunani kata saeculum biasa diterjemahkan dengan kata aeon, yang juga mengandung arti masa (age or epoch).  Maka, saeculum artinya adalah dunia ini, dan sekaligus sekarang, masa kini atau zaman kini.[27] Jadi secara etimologi sekularisme mengandung arti masa kini dan terkait dengan keduniaan. Istilah sekularisme di telah perkenalkan oleh George Holyoake pada 1846. Holyoake mendefinisikannya sebagai “Secularism is   pertaining to this life, founded on considerations purely human, and intended mainly for those who find theology indefinite or inadequate, unreliable or unbelievable”.[28] Sedangkan Elizabeth Shakman Hurd menyatakan bahwa ‘sekularisme’ mengacu pada penetapan kembali wilayah publik hubungan antara politik dan agama. Dan ‘sekuler’ mengacu ke ruang epistemik yang diukir oleh ide-ide dan praktik-praktik yang terkait dengan wilayah publik.[29] Melihat beberapa definisi di atas, secara singkat sekularisme dapat didefinisikan sebagai sebuah ideologi yang meragukan Tuhan dan agama serta menganjurkan pemisahan agama dengan negara atau wilayah publik.

Secara konseptual, menurut Harvey Cox gagasan sekularisme sesuai dengan ajaran-ajaran Bible. Menurut Harvey Cox, pada tahap tertentu sekularisme adalah hasil otentik dari implikasi kepercayaan Bible atas sejarah Barat. Harvey Cox mengemukakan terdapat tiga aspek penting dalam Bible yang menjadi kerangka dasar sekularisme, yaitu pembebasan alam dari ilusi (disenchantment of nature), desakralisasi politik (desacralization of politics), dan pembangkangan terhadap nilai-nilai (deconsecration of values).[30] Sekularisme melalui ketiga aspek dasarnya tersebut telah memberikan dampak yang signifikan terhadap pandangan hidup masyarakat dunia. Terlebih dalam bidang ilmu pengetahuan.[31] Menurut al-Attas pengetahuan dan ilmu modern yang tersebar di masyarakat Dunia saat ini, termasuk masyarakat Islam, telah didominasi budaya dan nilai peradaban Barat yang sekuler.[32] Jika ditarik pada konteks pembahasan, teori Sigmund Freud tentang psikonalisis pun tidak luput dari nilai-nilai dan pandangan dunia sekuler.

Dari ketiga konsep atau ranah sekularisme di atas, yang paling terlihat besar pengaruhnya dalam teori psikonalisis Freud adalah pembebasan alam dari ilusi (disenchantment of nature) dan pembangkangan terhadap nilai-nilai (deconsecration of values). Dalam teori psikonalisis, Freud secara vulgar meyakini bahwa agama hanyalah ilusi atau gejala neurosis, yang membatasi pemikiran kritis.[33] Ia memandang bahwa agama lahir dari dorongan libido seksual yang dikontrol oleh id dalam struktur kepribadian manusia. Dengan teori oedipus complex dan totemisme, Freud membangun argumentasinya tentang agama.[34] Dengan teori psikonalisisnya ini, Freud ingin menghapuskan peran Tuhan pada alam semesta (disenchantment of nature). Inilah salah satu nilai sekuler dalam teori psikonalisis Freud.

Berikutnya, dalam teori psikonalisis Freud dinyatakan bahwa nilai moralitas tentang baik-buruk dan norma asusila, ditentukan oleh adanya dorongan super ego bukan oleh nilai agama. Freud menyatakan bahwa super ego adalah struktur kepribadian yang memuat aspek-aspek moral, nilai-nilai serta adat istiadat. Super ego kemudian berkembang menjadi penentu dan pengontrol diri dalam menghadapi dorongan libido dari id. Maka super ego  menjadi kritikus tertinggi bagi moralitas.[35] Dalam konsepnya ini, Freud sama sekali tidak memasukkan agama sebagai sumber nilai dan moralitas. Sebab, alih-alih merujuk pada agama, Freud sendiri menilai agama justru merugikan pertumbuhan kepribadian manusia. Agama baginya hanya menyebabkan ketakutan dan menjadi penghambat pikiran kritis.[36] Di sinilah letak problem sekularisme pada teori psikonalisis Freud, yaitu berupa pembangkangan terhadap nilai-nilai (deconsecration of values).

Secara filosofis, ide-ide Freud sebenarnya tidak lahir dari ruang kosong, namun ia telah terpengaruh oleh gagasan-gagasan filosof sebelumnya. Misalnya dalam aspek metodologi, Freud banyak terpengaruh dengan paradigma positivisme Auguste Comte (1789-1857) yang semata-mata mengakomodasi pengetahuan faktual atau fakta positif yang terlepas dari klaim metafisik.[37] Hal ini dibuktikan dalam melakukan tugas terapinya, Freud senantiasa bersandar pada observasi dan interpretasi perilaku pasien.[38] Selain itu, Freud juga dipengaruhi oleh corak pemikiran determinisme yang beranggapan bahwa keadaan hidup dan tingkah laku manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik, psikologis, biologis, geografis,  maupun keagamaan yang ada.[39] Hal ini terlihat dalam teori Freud tentang id, ego dan  super ego, di mana menurutnya segala perilaku manusia terbentuk oleh hubungan tarik menarik ketiga struktur kepribadian tersebut.[40] Adapun pandangan Freud tentang Tuhan, terpengaruh oleh sistem filsafat Ludwig Feurbach (1804-1872). Dalam pandangan Feuerbach, Tuhan adalah manifestasi dari angan-angan manusia terhadap entitas tertinggi yang melampaui dirinya, sehingga Tuhan hanyalah angan-angan ciptaan manusia.[41] Dengan meminjam sistem filsafat Feuerbach tersebut, Freud mendistorsi konsep Tuhan dan agama sehingga baginya agama hanyalah pelampiasan psikologis semata.[]

Oleh: Adib Fattah Suntoro, M.Ag*

*Peneliti Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), Universitas Darussalam Gontor


[1] Sigmund Freud lahir pada 6 Mei tahun 1856 di kota Freiberg, Moravia, yang sekarang menjadi bagian dari Republik Ceko. Freud mendalami bidang psikologi sepanjang hidupnya dengan mengali ilmu dari berbagai tokoh. Di antara orang yang berjasa pada pemikiran Freud adalah Josef Breuer dan Jean Charot. Freud telah melahirkan banyak karya di bidang psikologi, di antaranya yang paling terkenal adalah  Totem and Taboo (Totem und Tabu, 1913), Studies on Hysteria (with Josef Breuer) (Studien über Hysterie, 1895) dan The Ego and the Id (Das Ich und das Es, 1923). Freud wafat di London pada tanggal 23 September 1939. Lihat selengkapnya Helen Walker Puner, Freud: His Life and His Mind (New York: Howell Soskin Publishers, 1947),  Ernest Jones, The Life and Work of Sigmund Freud (New York: Basic Books, 1957); Frank J. Sulloway, Freud, Biologist of the Mind: Beyond the Psychoanalytic Legend (New York: Basic Books, 1979).

[2] Lihat Sigmund Freud, Ueber Psychoanalyse, terj. K. Bertens (Jakarta: Gramedia, 1979), 3.

[3] Lihat Josef Breuer and Sigmund Freud, Studien Über Hysterie (Leipzig: F. Deuticke, 1895).

[4] Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori, Psikologi Islami; Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1955), 67.

[5] Husna, “Aliran Psikoanalisis Dalam Perspektif Islam,” 102.

[6] Maghfur Ahmad, “Agama Dan Psikonalisis Sigmund Freud,” Religia 14, no. 2 (2017): 283, doi:10.28918/religia.v14i2.92.

[7] Alwisol, Psikologi Kepribadian (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2005), 17.

[8] Suhermanto Ja’far, “Struktur Kepribadian Manusia Perspektif Psikologi Dan Filsafat,” Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi 2, no. 2 (2016): 212, doi:10.15575/psy.v2i2.461.

[9] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, 2nd ed. (Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2007), 297.

[10] Alex Sobur, Psikologi Umum (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003), 113.

[11] Ja’far, “Struktur Kepribadian Manusia Perspektif Psikologi Dan Filsafat,” 213.

[12] Husna, “Aliran Psikoanalisis Dalam Perspektif Islam,” 103.

[13] Koeswara, Teori-Teori Kepribadian (Bandung: PT Eresco, 2001), 46–48.

[14] Anita Kurnia Rachman and Fitri Resti Wahyuniarti, “Struktur Kepribadian Tokoh Lilian Dalam Novel Pink Cupcake Karya Ramya Hayasrestha Sukardi (Sastra Anak Dalam Perspektif Psikoanalisis Sigmund Freud),” KEMBARA Journal of Scientific Language Literature and Teaching 7, no. 2 (2021): 494, doi:10.22219/kembara.v7i2.17625.

[15] Idi Warsah, “Interkoneksi Pemikiran Al-Ghazāli Dan Sigmund Freud Tentang Potensi Manusia,” Penelitian Sosial Dan Keagamaan 33, no. 1 (2017): 68.

[16] Ahmad, “Agama Dan Psikonalisis Sigmund Freud,” 286.religia

[17] Sigmund Freud, Totem and Taboo: Resemblances Between the Psychic Lives of Savages and Neurotics (New York: Moffat, Yard, 1919).

[18] Sigmund Freud, Die Zukunft Einer Illusion (London: Hogarth Press, 1928).

[19] Sigmund Freud, Der Mann Moses Und Die Monotheistische Religion (New York: Knopf, 1939).

[20] Fahmi Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin Riyadi, “Sigmund Freud : Dari Psikoanalisis Ke Agama,” Studi Multidisipliner 2, no. 1 (2015): 11.

[21] Sigmund Freud, Three Essays on the Theory of Sexuality (London: Imago Publishing, 1949).

[22] Abdul Rahman Barakatu, “Kritik Terhadap Pandangan Sigmund Freud: Agama Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan,” Lentera Pendidikan: Jurnal Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan 10, no. 2 (2007): 158, doi:10.24252/lp.2007v10n2a3.

[23] Muh Syamsuddin, “Totemisme Dan Pergeserannya : Studi Terhadap Tradisi Lokal Di Sendang Mandong , Klaten , Jawa Tengah,” Religi 2, no. 1 (2017): 99.

[24] Daniel L Pals, Eight Theories of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2006), 70.

[25] Sigmund Freud, The Future of an Illusion (New York: W.W.Norton Company. inc, 1961), 43.

[26] Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective (Princeton University Press, 2013), 22, doi:10.1080/10848770.2016.1169591.

[27] Al-Attas, Islam, Secularism and the Philoshopy of Future, 14–15.

[28] Artinya : Sekularisme adalah kode tugas yang berkaitan dengan kehidupan ini. Didirikan berdasarkan pertimbangan murni manusia, dan dimaksudkan Terutama bagi mereka yang menganggap teologi tidak terbatas atau tidak memadai, tidak dapat diandalkan atau tidak dapat dipercaya.

[29] Alex Deagon, “Secularism As A Religion: Questioning The Futur of The ‘Secular’ State,” The Western Australian Jurist 8 (2017): 35.

[30] Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective, 26–37.Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1993), 15.

[31] Muhammad Yasir Muhammad Taufik, “Mengkritisi Konsep Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-Faruqi: Telaah Pemikiran Ziauddin Sardar,” Jurnal Ushuluddin 25, no. 2 (2017): 111, doi:10.24014/jush.v25i2.3830.

[32] Al-Attas, Islam, Secularism and the Philoshopy of Future, 134.

[33] Marsha Wiggins-Frame, “Spirituality and Religion: Similarities and Differences,” in Integrating Spirituality and Religion into Counseling: A Guide to Competen Practice (Alexandria: American Counseling Association, n.d.), 11–30.

[34] Barakatu, “Kritik Terhadap Pandangan Sigmund Freud: Agama Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan,” 158.

[35] Ibid., 163.

[36] Gerl Miller, “Religious/Spiritual Life Span Development,” in Integrating Spirituality and Religion into Counseling: A Guide to Competen Practice (Alexandria: American Counseling Association, 2011), 105–122.

[37] Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 204.

[38] Riyadi, “Sigmund Freud : Dari Psikoanalisis Ke Agama,” 7.

[39] Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, 229.

[40] Riyadi, “Sigmund Freud : Dari Psikoanalisis Ke Agama,” 8.

[41] Xaverius Chandra Hasiholan, “Tuhan Menurut Ludwig Feuerbach,” Arete  6, no. No. 1 (2017): 1.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *