Mendefinisikan Islam hanya sebagai serangkaian ritual peribadatan adalah pandangan yang terlalu sempit. Sebenarnya, Islam merupakan lebih dari sekadar agama; ia juga merupakan sebuah peradaban. Nabi Muhammad tidak hanya dikenal sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai pemimpin sebuah peradaban yang berkembang pesat. Bangsa Arab, yang sebelumnya tertinggal jauh dalam peradaban jika dibandingkan dengan Romawi dan Persia, tiba-tiba mengalami kemajuan yang luar biasa, mengubah dinamika dunia pada zamannya. Fenomena ini mengundang pertanyaan: apa yang membuat bangsa Arab mampu bangkit menjadi peradaban yang hebat?
Melalui analisis yang mendalam, kita menyadari bahwa Islam memiliki peran sentral dalam transformasi tersebut. Inti dari ajaran Islam, yaitu konsep Tauhid, tercermin dalam kalimat syahadat Laa ilaha illallah. Pemahaman akan Tauhid, yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad kepada umatnya, mengubah cara pandang mereka terhadap dunia. Mereka meninggalkan praktik-praktik jahiliyah seperti penyembahan berhala dan praktik-praktik yang tidak manusiawi. Sebaliknya, mereka mengadopsi nilai-nilai Islam yang mencakup keadilan, toleransi, dan keberagaman.
Konsep pandangan hidup, atau yang sering disebut sebagai “worldview“, memainkan peran penting dalam pembentukan identitas ideologis dan peradaban. Pertentangan antar peradaban, pada dasarnya, adalah pertentangan antar worldview. Saat ini, peradaban Barat menjadi dominan dalam kancah dunia. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk menyelidiki teori pandangan hidup (worldview) dalam Islam dan Barat, serta mengungkapkan perbedaan-perbedaan esensial di antara keduanya.
Makna Worldview
Secara etimologis, istilah worldview terdiri dari dua kata: “world” yang berarti dunia, dan “view” yang berarti pandangan. Dalam konteks bahasa Indonesia, istilah worldview sering diterjemahkan sebagai pandangan dunia, pandangan alam, atau pandangan hidup. Meskipun secara literal, kata “alam” dan “hidup” tidak sepenuhnya presisi dalam menerjemahkan kata “world“, namun secara semantik keduanya membantu untuk menjelaskan makna istilah teknis tersebut. Hal ini sejalan dengan pandangan Dilthey yang menyatakan bahwa akar dari semua persoalan dalam worldview adalah kehidupan itu sendiri.[1] Di samping itu, istilah-istilah lain dalam bahasa Indonesia yang memiliki makna serupa dengan worldview dan digunakan secara umum adalah falsafah hidup, filsafat hidup, atau filosofi.
Secara terminologis, Hamid Fahmi Zarkasy menyusun definisi worldview dengan merujuk pada pemikiran-pemikiran dari Ninian Smart, Thomas F. Wall, Alparsalan Acikgenc, Thomas S Kuhn, serta Edwin Hung. Dari uraian mereka, worldview dapat diartikan sebagai berikut. Pertama, worldview adalah sistem kepercayaan yang menjadi inti dari diri manusia. Kedua, dimensi worldview meliputi pikiran dan perasaan manusia. Ketiga, worldview berfungsi untuk memberikan penjelasan tentang realitas dan makna eksistensi. Keempat, worldview memiliki peran dalam mengarahkan perubahan moral dan sosial. Kelima, worldview menjadi dasar dari perilaku manusia, termasuk dalam aktivitas ilmiah dan teknologis. Keenam, worldview memiliki peran penting dalam penalaran saintifik, yang dalam bidang ilmu sering dianggap setara dengan paradigma. Ketujuh, seperti paradigma, worldview menyediakan nilai-nilai, standar, dan metodologi yang membentuk pemikiran dan tindakan manusia. Dengan demikian, pemahaman tentang worldview tidak hanya mencakup dimensi filosofis, tetapi juga melibatkan aspek-aspek psikologis, sosial, dan ilmiah.[2]
Secara teknis, worldview dibangun di atas berbagai konsep yang tercipta dalam benak seseorang. Jika dilacak, berbagai konsep tersebut adalah kumpulan jawaban atas berbagai pertanyaan besar dalam kehidupan. Berbagai pertanyaan tersebut semisal makna ultimate reality; dasar bagi kepercayaan seseorang mengenai sesuatu; hakikat tempat hidup manusia dan dunia; hakikat manusia dan tujuan hidupnya; standar baik dan buruk; hakikat kenestapaan hidup manusia dan pemecahannya; hakikat dan tujuan keindahan; makna sejarah; keberadaan hidup pasca kematian[3] dan sebagainya. Ketika berbagai pertanyaan tersebut terjawab secara seksama, maka di dalam benak manusia sedang tercipta satu kerangka pandangan yang dengannya ia memahami dan menafsirkan dunia dan kehidupan.
Dari sekian banyak pertanyaan dasar yang membentuk worldview seseorang, terdapat satu konsep yang sangat penting, bahkan paling penting, yaitu konsep Tuhan. Hamid Fahmy Zarkasy menggaris bawahi pernyataan Thomas F Wall mengenai kedudukan Tuhan dalam worldview seseorang. Wall menyatakan bahwa ketika seseorang mempercayai Tuhan, maka keberadaan dan rancangan kehidupan menjadi niscaya. Jika konsisten dengan hal tersebut, nilai moral manusia tidaklah berasal dari satu konvensi dan kesepakatan, melainkan Tuhan itulah yang berkedudukan sebagai puncak sumber kebaikan. Selanjutnya, secara epistemologis, pengetahuan mengenai realitas yang lebih tinggi, yaitu dunia spiritual, menjadi mungkin untuk dicapai manusia. Sebaliknya, ketika seseorang mengandaikan bahwa tidak ada Tuhan dan kehidupan selain dunia ini, maka makna hidup, hakikat diri, pasca kehidupan dunia, muasal standar moral, kebebasan, tanggung jawab dan sebagainya akan menjadi sesuatu yang absurd dan khayalan belaka.[4]
Mengenai proses terbentuknya worldview, Alparsalan Acikgenc, sebagaimana dikutip oleh Hamid Fahmy Zarkasy, menjelaskan bahwa terdapat dua jenis worldview. Pertama, yang disebut dengan natural worldview. Worldview yang demikian terbentuk secara alamiah melalui proses pengalaman hidup manusia, tanpa terlibat di dalamnya proses dan kajian intelektual. Worldview yang demikian terdapat dalam berbagai suku primitif dan masyarakat tradisional. Kedua, yang disebut dengan transparent worldview, atau lebih spesifik, scientific worldview. Worldview yang demikian terbentuk tidak hanya karena proses alamiah, namun di dalamnya juga terlibat kajian keilmuan, pendidikan sistematis, serta berbagai unsur saintifik lainnya. Worldview yang demikian bisa ditemukan dalam berbagai peradaban dunia yang pernah ada dalam sejarah, seperti Yunani, Romawi, dan Persia, serta di zaman modern, Peradaban Barat. Dalam kasus Islam, worldview-nya disebut quasi-scientific worldview karena sebelum fase ilmiah, terdapat wahyu yang berasal dari Tuhan berikut penjelasannya dari Nabi Muhammad saw, yang menjadi ciri khas dari worldview tersebut.[5]
Worldview Islam: Karakteristik dan Elemennya
Istilah atau term worldview tidak secara eksplisit digunakan oleh para sarjana dan cendikiawan muslim. Namun beragam istilah yang beredar dari kalangan pemikir Islam secara substansial tidak berbeda dengan istilah worldview. Hasan Hiyari dan Sayyid Qutub (1906-1966) menyebutnya dengan al-Tasawwur al-Islamy li al-Wujud (Pandangan Islam tentang keberadaan)[6], Ismail Razi al-Faroqi (1921-1986) menyebut Nadzarah Islamiyyah ila al-Waqi (Perspektif Islam tentang realitas)[7]. Syed Muhammad Naquib al-Attas (lahir 1931) menyebutnya Ru’yat al-Islam li al-Wujud (Visi Islam tentang keberadaan)[8].
Meskipun istilah-istilah tersebut cukup beragam, namun ketiga istilah itu dalam bahasa Arab memiliki makna-makna yang hampir sinonim.[9] Semuanya menunjukkan dimensi kognitif dalam diri manusia, merujuk pada sekumpulan gagasan yang menjadi pijakan manusia dalam memandang alam semesta dan kehidupan. jika pun ada perbedaan, hanya pada penekanan pada tingkat aksi saja.
Misalnya pada pandangan Sayyid Qutb yang menggunakan istilah al-Tashawwur al-Islami, yaitu akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap muslim yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat di balik itu.[10] Dari pengertian Sayyid Qutub tersebut dapat diketahui bahwa pandangan hidup yang Islami (Islamic Worldview) adalah akidah Islam. karena akidah bukan hanya pemikiran yang abstrak, tetapi merupakan sekumpulan pengetahuan yang berhubungan dengan alam gaib dan alam nyata, menjadi sandarannya dalam berpikir dan berperilaku. Itulah yang membuat seorang muslim konsisten dengan keislamannya.[11]
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islamic worldview adalah pandangan yang meliputi realitas dan kebenaran, yang dapat dipahami melalui pengamatan batin kita dan memberikan penjelasan tentang hakikat eksistensi sejati. Bagi al-Attas, Islam memproyeksikan totalitas dari realitas keberadaan, sehingga Islamic worldview diterjemahkan dalam bahasa Arab sebagai “Ru’yat al-Islam li al-Wujud“, yang secara harfiah berarti pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang alam semesta. Dengan demikian, Islamic worldview tidak hanya sekadar sekumpulan pandangan, tetapi merupakan pemahaman yang dalam tentang esensi kehidupan dan kebenaran yang tercermin dalam ajaran Islam.[12]
Al-Attas menentang penggunaan istilah pandangan alam Islam atau pandangan Islam tentang alam (nazrat al-Islam li al-kawn). Baginya, istilah “nazrat” tidak sepenuhnya mencerminkan pandangan dunia Islam karena terlalu berkaitan dengan tradisi intelektual Barat yang didasarkan pada spekulasi filosofis yang sebagian besar bersumber dari pengamatan data pengalaman inderawi. Istilah “kawn” mengacu pada dunia pengalaman inderawi, dunia yang terdiri dari kreasi dan keadaan fisik. Al-Attas berpendapat bahwa ketika para pemikir Muslim terlalu dipengaruhi oleh konsepsi saintifik Barat yang sekuler tentang dunia yang terbatas pada pengalaman indera, mereka cenderung kehilangan pandangan yang holistik dan utuh tentang alam semesta menurut pandangan Islam.[13]
Jadi, worldview Islam meliputi dunia dan akhirat. Aspek dunia harus terhubung secara mendalam dan tak terpisah dengan aspek akhirat. Aspek akhirat memiliki nilai mendasar (ultimate) dan penghabisan (final). Aspek dunia merupakan persiapan untuk akhirat, sehingga segala hal dalam Islam secara mendasar terfokus pada aspek akhirat tanpa mengakibatkan perilaku yang lalai atau tidak peduli terhadap aspek dunia.
Menurut al-Attas, karakteristik dari worldview Islam adalah tauhidi yang tidak dikotomis. Ini tidak hanya mencakup pandangan terhadap dunia fisik dan metafisik, tetapi juga memperhatikan akhirat sebagai tujuan akhir manusia. Dalam Islam, epistemologi tidak terpisah dari struktur metafisika yang didasarkan pada wahyu, hadis, akal, pengalaman, dan intuisi. Tauhidi ini melibatkan pemahaman terhadap wahyu yang memiliki konsep-konsep yang universal, permanen, pasti, dan fundamental, serta bersifat dinamis, samar-samar, dan cabang-cabang. Oleh karena itu, pemahaman terhadap wahyu dalam Islam tidak dapat dipandang secara dikotomis, tetapi sebagai satu kesatuan yang utuh dan terintegrasi.[14]
Worldview Barat: Karakteristik dan Elemennya
Penjelasan mengenai worldview Islam akan semakin jelas dengan mengenali lawannya, sebagaimana dikatakan pepatah Arab, bi dhidiha tatabayyan al-asyya’.[15] Seperti telah disebutkan, identitas terpenting pembentuk worldview Islam adalah wahyu al-Qur’an dan Sunah. Adapun selain worldview Islam, tidak memiliki identitas asasi tersebut. Dengan demikian, akan terdapat berbagai perbedaan antara worldview Islam dengan semua worldview yang ada, baik worldview yang berbasis agama, kebudayaan, maupun peradaban yang lain. Secara lebih tegas harus dikatakan, meski terdapat irisan, namun tetap saja worldview agama Kristen dan Yahudi, worldview budaya Jawa dan Sumatera, maupun worldview peradaban China dan India, memiliki perbedaan esensial dengan worldview Islam. Perbedaan itulah yang pada gilirannya akan berdampak sistememik ke dalam berbagai hal, seperti ekspresi bahasa, ritualitas, etika, aktivitas ekonomi dan politik, hingga tradisi intelektual yang terbentuk.
Meski begitu, apa yang disebut sebagai worldview Barat tidaklah bersifat monolitik, karena dalam evolusinya, sekurangnya terdapat dua fase penting perkembangan worldview Barat, yang kenyataannya kedua worldview tersebut bisa berlaku luas di masyarakat Barat dalam waktu yang bersamaan. Worldview pertama adalah Barat modern. Worldview Barat modern ini telah menghasilkan kemajuan sangat signifikan dalam sains kealaman dan teknologi. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai salinan atas realitas, dan rasionalisme dianggap sebagai substansi transendental ahistoris sehingga di mana pun akan bersifat sama saja.[16] Semua persoalan coba diselesaikan secara rasional dan sekular, yaitu terpisah dari narasi agama. Pandangan tersebut oleh Hamid Fahmy Zarkasy diringkas dari berbagai perkembangan pemikiran di Barat dengan kata-kata kunci berikut: rasionalisme, empirisisme, sekularisme, desakralisasi, non-metefisis, dikotomi, serta pragmatisme.[17]
Sebagai sebuah peradaban yang meyakini evolusi serta hukum permanen perubahan (development, change and progress), lahirlah worldview kedua yang disebut sebagai Barat postmodern. Postmodern oleh sebagian kalangan dianggap sebagai akibat dan perkembangan dari modern, sedangkan oleh sebagian lainnya dianggap sebagai penolakan dan penyangkalan terhadap pandangan modern tersebut. Hamid Fahmy Zarkasy mencermati karakter postmodern dan menyifatinya dengan kata kunci: nihilisme, relativisme, anti-otoritas, pluralisme, multikulturalisme, ekualitas, feminisme, serta liberalisme.[18]
Perbedaan antara Worldview Islam dan Barat
Menurut Hamid Fahmy Zarkasy, perbedaan antara worldview Islam dan worldview Barat dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, sumber utama worldview Islam adalah wahyu, akal, pengalaman, dan intuisi, sedangkan worldview Barat didasarkan pada rasio dan spekulasi filosofis. Kedua, pendekatan worldview Islam bersifat tauhidi, sementara worldview Barat cenderung dikotomis. Ketiga, worldview Islam cenderung otentik dan final, sementara worldview Barat lebih rasional, terbuka, dan selalu berubah. Keempat, dalam worldview Islam, makna realitas dan kebenaran dipahami melalui kajian metafisik dan wahyu, sementara dalam worldview Barat, realitas dan kebenaran lebih sering dianggap sebagai hasil dari konsensus sosial dan produk kultural, serta terbatas pada fakta empiris. Kelima, objek kajian dalam worldview Islam mencakup persoalan fisik dan metafisik, sedangkan dalam worldview Barat, fokusnya lebih pada tata nilai masyarakat. Keenam, dalam worldview Barat, peran agama cenderung terpinggirkan dan hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan worldview.[19]
Dari analisis yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa worldview Islam memiliki perbedaan mendasar dengan worldview Barat. Worldview Barat cenderung menganggap bahwa kekuatan rasio manusia adalah faktor utama yang membentuknya, yang merupakan produk dari konteks budaya dan sejarah sosial tertentu, serta berfokus pada realitas dunia material. Di sisi lain, worldview Islam lebih didasarkan pada akidah Islam itu sendiri, yang meliputi konsep tentang Tuhan, kenabian, agama, wahyu, manusia, alam, dan ilmu. Semua elemen tersebut saling terkait satu sama lain, dengan konsep Tuhan sebagai fondasi utama yang mengarahkan konsep-konsep lainnya.[]
Oleh: Adib Fattah Suntoro, M.Ag*
* Peneliti Centre for Islamic and Occidental Studies, Universitas Darussalam Gontor
[1] James W, Sire, Naming the Elephant, (USA: Inter Varsity Press, 2004), 23-24.
[2] M. Kholid Muslih dkk, Worldview Islam: Pembahasan Tentang Konsep-konsep Penting dalam Islam, (Ponorogo: Direktorat Islamisasi Ilmu UNIDA, 2019), 4.
[3] David K Naugle, A History and Theory of the Concept of Weltanschauung, Disertasi, (Ann Arbor: UMI, 1998), 29.
[4] M. Kholid Muslih dkk, Worldview Islam…, 6.
[5] Ibid, 7.
[6] Term yang digunakan oleh dua tokoh pemikiran Islam itu tercermin dalam dua judul buku berikut ini: Al-Hiyari, Hasan (1989), At-Tashawwur al-Islamy li al-Wujud, Aman: Dar Basyid; Qutub, Sayyid, (2005), Khashais al-Tashawwur al-Islamy wa Muqawamatuhu, Cairo: Dar Syuruq, cet. 16)
[7] Ismail Razi al-Faruqi, Atlas Hadarah al-Islamiyyah, terj. Dr. Abdul Wahid Lu’luah, Riyad: Maktabah Ubaikan, 1418 H), hal. 131.
[8] Al-Attas, Prolegomena to The Metaphysycs of Islam: An Exposition of The Fundamental Elements of The Worldview of Islam,(Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), Hal. 2.
[9] Majma’ Lughah al-Arabiyyah, Al-Mu’jam al-Falsafi, entri: tashawwur, hal.45, ru’ya, hal. 90 nadzariyyah, hal. 202.
[10] Hamid Fahmy Zarkasy, Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi di Dunia Islam, ed. Tim KB Press (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), hal. 4.
[11] Abas Mansur Tamam, Islamic Worldview: Paradigma Intelektual Muslim, (Jakarta: Spirit Media, 2017), hal. 20.
[12] Al-Attas, Prolegomena..,Hal. 2.
[13] Ibid, Hal. 1.
[14] M. Kholid Muslih, Worldview Islam (Ponorogo: DII Unida Gontor, 2019).
[15] Shalih bin Sa’d al-Suhaimi, Mudzakkirah fi al-‘Aqidah, (Madinah: al-Jami’ah al-Islamiyyah, 2010), 20
[16] Akhyar Yusuf Lubis, Posmodernisme: Teori dan Metode, (Jakarta: Rajawali, 2014), 7-8.
[17] Hamid Fahmy Zarkasy, Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo: CIOS, 2010), 12.
[18] Zarkasy, Liberalisasi Pemikiran…, 20.
[19] Zarkasy, Liberalisasi Pemikiran…, 24-25.