Hadis Nabi merupakan sumber hukum dan ajaran Islam yang menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Meski posisi hadis diakui penting oleh kaum muslimin, namun ternyata secara epistemologis terjadi perbedaan konsep hadis antara kelompok Sunni dan Syiah.[1] Definisi hadis dalam pandangan Sunni adalah apa-apa yang datang dari Rasulullah, baik perkataan, perbuatan, maupun pengakuan (taqrir) dan sifat Nabi Muhammad.[2] Sedangkan hadis dalam pandangan Syiah[3], sebagaimana disebutkan oleh ulama-ulama mereka, diartikan sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada yang ma’shum, yaitu Nabi dan Imam dua belas, baik itu berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan, dan dijadikan sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.[4] Berdasarkan pengertian tersebut, maka sumber utama hadis dalam pandangan Syiah tidak hanya dari Nabi Muhammad semata, melainkan juga disandarkan kepada dua belas imam ma’shum dalam keyakinan mereka.
Perbedaan antara Sunni dan Syiah dalam konsep hadis ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Sebab hadis merupakan landasan epistemologi dalam beragama. Maka, perbedaan pada ranah ini dapat mengakibatkan perbedaan dalam ajaran agama yang dibangun di atasnya. Oleh sebab itu, artikel ini mencoba menganalisis secara kritis seputar konsep hadis Syiah. Sehingga dengan mengetahuinya akan dapat dipetakan dari mana ajaran Syiah berasal.
Konsep Hadis Syiah
Hadis dalam pandangan Syiah[5], sebagaimana disebutkan oleh ulama-ulama mereka, diartikan sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada yang ma’shum, yaitu Nabi dan Imam dua belas, baik itu berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan, dan dijadikan sebagai sumber hukum kedua setelah Alquran.[6] Berdasarkan pengertian tersebut, maka sumber utama hadis tidak hanya dari Nabi SAW semata, melainkan diperluas kepada imam-imam yang ma’shum yang jumlahnya 12 imam.
Menurut Syiah setiap apa yang disampaikan oleh para Imam Dua Belas pada hakikatnya berasal dari Rasulullah. Para Imam hanya menerima dari pendahulunya yang berakhir pada Rasulullah. Pendapat ini didasarkan pada riwayat Hisyam bin Salim, Hammad dan lainnya melalui jalur Sahal bin Jiyad dalam kitab al-Kafi.[7] Berdasarkan pemahaman ini kemudian kalangan Syiah mengklaim bahwa semua perkataan Imam Dua Belas yang dianggap ma’sum itu pada dasarnya berasal dari Rasulullah.[8]
Selain itu Syiah juga bersandar pada hadis tentang itrah (ahli bait), yang berbunyi,” Wahai manusia! Sesungguhnya aku telah tinggalkan pada kalian sesuatu, yang jika kalian mengikutinya maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan keluargaku Ahlu Bayt (‘itrah).”[9] Ali Syariati menerangkan bahwa itrah sebagai sesuatu yang berasal dari sunnah Nabi saw dan bukan sesuatu yang bertentangan. Ia dipahami sejajar dan berdampingan dengan sunnah dan Al-Quran. Ketiganya memiliki hubungan logis satu sama lain. Bahkan bisa dipahami melalui itrah , Al-Quran dan Sunnah bisa dipahami.[10]
Berdasarkan pemahaman seperti ini, Syiah menempatkan Imam Dua Belas seperti kedudukan Nabi Muhammad dalam menjelaskan Al-Quran. Mereka juga berpandangan bahwa para periwayat hadis melarang mengamalkan zahir Al-Quran kecuali melalui para Imam. Ini karena para Imam, menurut mereka, mempunyai ilham yang sebanding dengan wahyu bagi Rasulullah.
Dalam bidang hadis, Syiah memiliki empat kitab rujukan utama atau yang mereka sebut sebagai al-Kutub al-Arba’ah . Nama kitab-kitab tersebut yaitu; kitab al-Kafi karya, Muhammad ibn Ya’qub al-Kulayni al-Razi (w.940 M), kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih karya Syaikh Shaduq Muhammad ibn Babawayh al-Qummi (w.991 M), kitab Tahdzib al-Ahkam karya Syaikh Abu Ja’far al-Ṭusi (w. 1068 M), dan kitab al-Istibṣar karya Syaikh al-Ṭusi.[11] Keempat kitab tersebut dalam pandangan Syiah dianggap dan kandungan hadis-hadisnya adalah absolut shahih.
Kitab al-Kafi dianggap kitab yang paling terbaik, terdahulu, terbesar dan terpercaya menurut ulama Syiah. Penulis al-Kafi sendiri dalam pendahuluannya memandang bahwa kitabnya ini telah mencakup seluruh cabang disiplin ilmu agama. Kitab ini dipandang memadai sebagai rujukan dan panduan untuk para murid dan guru[12]. Pujian terhadap al-Kafi juga datang dari banyak ulama Syiah, seperti Syaikh al-Mufid yang mengatakan bahwa kitab al-Kafi tergolong sebagai kitab Syiah yang agung dan paling banyak manfaatnya, al-Majlisi yang mengatakan bahwa kitab al-Kafi adalah kitab yang paling sempurna dalam masalah pokok-pokok, bahkan as-Syahid Muhammad bin Makki mengatakan bahwa kitab ini belum pernah ada tandingannya dalam aliran Imamiyah.[13]
Namun demikian, di kalangan beberapa pemuka Syiah mempunyai pandangan tersendiri terhadap al-Kafi. Syaikh Saduq misalnya tidak mempercayai keshahihan seluruh hadis dalam al-kafi sebagaimana dinukil oleh al-khu’i dalam karyanya Mu’jamul Rijal Hadis. Begitu juga Mulla Baqir Majlisi dalam kitabnya Mir’at Uqul yang mensyarah al-Kafi, menjelaskan bahwa 58% hadis dalam al-Kafi tidak shahih. Sementara Zayn al-Din al-Amili salah seorang ulama syiah terkemuka bergelar as-Syahid ats-Tsani (911-966H) yang telah meneliti sanad hadis al-Kafi menyimpulkan bahwa terdapat 5.072 hadis yang derajatnya shahih; 144 tergolong hasan; 1.118 termasuk kategori muwasaq (bisa dipercaya); 302 tergolong qowi (kuat) dan 9.485 tergolong hadis dhaif (lemah).[14]
Menyoal Perawi Syi’ah
Definisi hadis seperti di atas bagi kalangan Shi’ah sudah menjadi, harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Atas dasar itu pula orang Syi’ah sering mengklaim bahwa hadis mereka lebih valid dibanding hadis Sunni. Tentu saja pengakuan ini bertentangan dengan fakta bahwa banyak tokoh Syi’ah kontemporer sendiri yang meragukan hadis-hadis mereka, terutama setelah menelitinya dengan ilmu jarh wa ta’dil.
‘Ali al-Qafari menyebutkan bahwa menurut Al-Faid Husayn Al-Khasani, ulama Shi’ah yang pakar dalam ilmu jarh wa ta’dil, dalam kitabnya al-Wafi, mengakui bahwa jalur periwayatan hadis dalam madzhabnya (Syi’ah) banyak terjadi perbedaan dan kontradiksi yang hampir tidak mungkin bisa dipecahkan.[15] Hal ini bisa dimaklumi karena sejak awal Syi’ah tidak memperhatikan masalah periwayatan. Mereka baru serius membahas masalah ini pada abad ke 5 Hijriyah, yaitu ketika al-Kishi menulis sebuah kitab biografi. Kitab tersebut berjudul Ikhtiyar Ma’rifati ar-Rijal yang kemudian dikenal dengan nama Rijal al-Kishi. Kitab ini begitu ringkas, dan memuat keterangan yang kontradiktif tentang status validitas perawi. Begitu juga banyak kesalahan akibat kemiripan nama dan julukan.
Dengan sumber seadanya dan tidak jelasan tersebut menyebabkan Syi’ah tidak memiliki standar untuk penilaian hadis atau riwayat. Akibat dari hal ini Al-Khasani, sebagaimana dikutip oleh ‘Ali Qafari, mengakui bahwa dalam sebuah masalah terjadi perbedaan hingga mencapai dua puluh pendapat, tiga puluh pendapat atau lebih. Bahkan tidak ada masalah furu’ yang tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya, atau dalam masalah lain yang terkait.[16] Problem ini semakin berat ketika mereka mencoba menilai seorang perawi dengan standar ilmu jarh wa ta’dil, sebagaimana yang diterapkan ulama Sunni.
Syi’ah mulai menggunakan metode ini setelah mendapat kritik dari ulama Sunni atas kelemahan mereka yang tidak punya metode dalam mengklasifikasi hadis. Mereka baru melakukan hal itu pada abad ke 7 Hijriyah, yaitu pada jaman al-Hilli. Dalam hal ini al-Amili mengatakan,“lstilah ini baru digunakan pada zaman Allamah (Ibnu Mutahhar al-Hilli) atau gurunya, yaitu Ahmad bin Tawus, seperti yang mereka ketahui dan akui.”[17] Ini artinya, ulama Syi’ah sampai abad ke-7 merasa nyaman dengan tidak adanya klasifikasi hadis. Mereka tidak merasa perlu adanya penelitian hadis. Bagi mereka, setiap hadis yang ada bisa diterima dan di gunakan tanpa perlu susah-payah meneliti.
Namun setelah mereka mendapat kritik yang tajam, baru kemudian berpikir untuk melakukan apa yang telah diterapkan oleh ulama Sunni. Bahkan al-Amily memastikan, pembagian derajat hadis yang dilakukan oleh Ibnu al-Mutahhir itu sepenuhnya merupakan upaya untuk meniru Sunni. Ia mengatakan, “Dan musthalahah baru itu sesuai dan sama dengan i’tiqad dan musthalah ‘orang awam’ (Sunni. ) Bahkan setelah diteliti, memang sepenuhnya diambil dari kitab-kitab mereka. ”[18]
Ja’far Subhani, seorang ulama hadis Syi’ah kontemporer, menjelaskan bahwa di antara syarat diterimanya sebuah hadis adalah Islam, baligh, berakal, ‘adil dan dhobit.[19] Klasifikasi seperti ini masih tidak sepenuhnya diterima oleh seluruh ulama Syi’ah. Ada sebagian yang menolaknya dan menganggap bid’ah pembagian hadis tersebut. Mereka yang menolak disebut Akhbariyun, dan yang menerima disebut Usuliyun. Para ulama Akhbariyun mengingkari pengklasifikasian hadis seperti itu karena mereka menganggap bahwa semua riwayat dalam keempat kitab tersebut adalah sahih dari para Imam. Hal ini dinyatakan oleh Abdul Husain Syarafuddin al-Musawi, “al-Kafi, al-Istibshar, at-Tahzib dan Man La Yahduruhu al-Faqih, yaitu empat kitab yang mutawa’tir…” [20] Kelompok Akhbariyun bukan saja menganggap sahih riwayat-riwayat mereka, bahkan mengatakan wajib diamalkan. Dalam masalah ini Ayatullah Muhammad Baqir al-Irawani dalam kitabnya mengatakan “Sebab Akhbariyun mengingkari pembagian ini (hadis-hadis) karena menurut mereka semua riwayat-riwayat tersebut adalah sahih dan wajib diamalkan. “[21] .
Sedang ulama Ushuliyun mereka bersikap sebaliknya. Bagi mereka hadis-hadis tersebut harus diteliti kembali kesahihannya. Namun ketika mereka mulai menelitinya, ternyata mereka mengalami kesulitan dalam menentukan perawi yang adil dan tsiqah (terpercaya) yang menjadi syarat kesahihan sebuah hadis. Ini tidak lain disebabkan minimnya data mengenai status perawi. Sebagaimana pernyataan Al-Amili bahwa ketika dilakukan penelitian terhadap hadis-hadis mereka, maka konsekuensinya mereka (harus) mendhaifkan seluruh hadis yang ada, sebab mereka mendefinisikan hadis sahih sebagai hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang adil, bermadzhab Imamiyah, yang kuat hafalannya, di seluruh tingkatan sanad hadis. Padahal mereka yang jarang sekali menerangkan keadilan seorang perawi.[22]
Sikap para ulama Syiah itu menunjukkan bahwa sebenarnya mereka sepenuhnya sadar jika di dalam madzhab mereka terdapat krisis perawi sahih. Namun jika mereka tidak menerima hadis dari perawi daif, tidak jelas keadaannya, dan para pemalsu hadis, Syi’ah tidak lagi memiliki hadis. Tentu hal ini akan menjadi bencana bagi generasi Syi’ah selanjutnya, karena tidak mungkin madzhab yang mengaku mengikuti Ahlul Bayt Nabi tidak memiliki hadis.
Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa sesungguhnya kitab-kitab hadis Syi’ah, yang menyertakan sanad di dalamnya, masih terdapat banyak kontradiksi. Hal ini menunjukkan bahwa kitab-kitab tersebut dibuat oleh orang-orang yang tidak mendalami ilmu hadis.
Persoalan yang terjadi dalam ilmu hadis Syiah tersebut sebenarnya tidak lepas dari dampak salah satu ajaran pokok mereka yaitu Taqiyah (berbohong). Sebab dalam ajaran Syiah taqiyah merupakan ajaran agama yang sangat penting. Karena itu ulama hadis Sunni sangat hati-hati ketika meriwayatkan sebuah Hadis dari perawi Syiah. Sebab faktanya mereka berani menggunakan sannad palsu yang mereka nisbatkan kepada para imam.[23]
Para ulama mencatat ribuan hadis yang dibuat oleh orang-orang Syiah dengan mengatasnamakan Ahlu Bait. Ibnu Qoyyim mengutip dari Abu Ya’la al-Khalili dalam kitab Irshad yang menjelaskan bahwa Syiah telah memalsukan Hadis tentang Ali dan Ahlu Bait sebanyak lebih dari 3000 Hadis.[24]
Penutup
Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa terdapat problem dalam konsep Hadis Syiah. Di antaranya terkait dengan definisi mereka terhadap hadis, yang mana menurut mereka hadis tidak hanya berasal dari Rasulullah semata, tetapi juga kepada para Imam mereka. Selain itu, doktrin Imamah terlihat sangat mempengaruhi mereka dalam menentukan keshahihan suatu hadis. Karena itulah mereka menolak riwayat dari selain pengikut Syiah, bahkan mereka menolak riwayat dari kebanyakan shahabat.
Terdapat banyak problem dalam ilmu ushul hadis dan ilmu rijal Syiah. Dalam ilmu ushul hadis, Syiah ternyata banyak mengambil dari rujukan Sunni. Selain itu kodifikasi ilmu ushul hadis Syiah terbilang cukup terlambat, yaitu di abad 7 Hijriah. Sedangkan dalam ilmu jarh wa ta’dil , dikarenakan ajaran taqiyah mereka, menjadikan sulit untuk mengetahui keadaan seorang perawi, apakah tsiqoh atau tidak. Dari semua kesimpulan tersebut maka dapat kita ketahui bahwa banyak ajaran-ajaran yang menyimpang dikarenakan hadis-hadis yang mereka jadikan sebagai rujukan tidak dapat dipertanggungjawabkan. /Adib
[1] Yang dimaksud Syiah di sini adalah Syiah itsna Asyariah
[2] Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul Hadis Ulumuhu wa Mustholahuhu, (Beirut: Dar Fikr, 1971), hal. 19
[3] Pemikiran hadis yang dikaji dalam tulisan ini adalah fokus pada aliran Syi’ah Itsna ‘Asyariah.
[4] Sebagaimana disebutkan oleh; Abdul Hadi al-Fadli, Ushul al-Hadis, hal. 55, Ja’far as-Subhani, Ushul al-Hadis wa Ahkamuhu fii Ilmi ad-Dirayah, hal. 19, Muhyiddin al-Musawi al-Ghurifi, Qowaid al-Hadis, hal. 9
[5] Pemikiran hadis yang dikaji dalam tulisan ini adalah fokus pada aliran Syi’ah Itsna ‘Asyariah.
[6] Sebagaimana disebutkan oleh; Abdul Hadi al-Fadli, Ushul al-Hadis, hal. 55, Ja’far as-Subhani, Ushul al-Hadis wa Ahkamuhu fii Ilmi ad-Dirayah, hal. 19, Muhyiddin al-Musawi al-Ghurifi, Qowaid al-Hadis, hal. 9
[7] Abu Ja’far al-Kulaini, Ushaul al-Kafi, (Teheran: Darul Kutub, 1388 H), vol. I, hal. 53
[8] Namun riwayat ini perlu ditelusuri kebenarannya, karena seorang perawi bernama Sahal Ibnu Jiyaddi kalangan Syiah sendiri adalah perawi dhaif. Hal ini dapat dilihat pada kitab rijal Syiah, Rijal Najasi No. 490, (Qum: Muassah Nasirul Islam, tt), hal. hal 185, Rijal Ibnu Ghadairi, (Qum: Darul Hadis, 1422 H), hal. 59
[9] At- Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Bab Keutamaan Keluarga Nabi (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), vol. V, hal. 662
[10] Ali Syariati, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, terj. Afif Muhammad, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 61
[11] Ali Ahmad as-Salus, Ma’a Syiah Itsna Asyariah fi al-Ushul wal Furu’, (Kairo: Dar ats-Tsaqofah, 1997), hal. 135
[12] Al-kulaini, Ushul Kafi, (Beirut: Mansyurat al-Fajr, 2007), hal. 8
[13] Hamid fahmy Zarkasy dkk, Teologi dan Ajaran Shiah Menurut Referensi Induknya, (Jakarta: INSISTS ,2014), hal.400
[14] Lihat: http;//en.wikipedia.org/wiki/Kitab_al-Kafi
[15] Nasir Abdullah Ibnu Ali al-Qarafi, Ushul Madzhab Syiah, (Maktabah Jawar al-Akturuniyah, tth), hal. 387
[16] Ali Qafari, Ushul Madzhab Syi’ah, hal. 361
[17] Al-Hurri al-Amili, Wasail as-Syiah (Qum: Muasasah Ahlu Bayt , 1414 H), hal. 262
[18] Ibid, juz XX, hal. 100
[19] Ja’far Subhani, Ushul Hadis wa Ahkamuhu fi Ilmi ad-Dirayah, (Iran: Dar Jawad Aimah, 1433 H), hal. 131-135
[20] Abdul Husain Syarafuddin al-Musawi, Al-Muraja’at, (Beirut: Ala Nafaqat Jami’ah Islamiah, 1982), 419
[21] Muhammad Baqir al-Irwani, Durus Tamhidiyah fi al-Qowaid ar-Rijaliyah, (Beirut: Dar Jawadain, tt), hal. 49
[22] Al-Amili, Wasail Syiah, juz.XXX, hal. 206
[23] Ahmaad Haris Suhaimi, Tautsiq As-Sunnah Baina Syiah al-Imamiyah wa Ahl as-Sunnah, (Mesir: Dar as-Salam, 2003), hal. 176
[24] Syamsuddin Abi Abdillah, Manarul Munif Shahih wa Dhaif, Tahqiq Abdul Fattah Abu Huda, (Maktabah Matbu’ah Islamiyah, 1970), hal. 116