Pada era ini, peradaban Barat memperlihatkan dominasi yang signifikan dalam konteks global, mencakup berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kedokteran, dan bidang lainnya. Hal ini dapat dipahami melalui penerapan prinsip scientific worldview atau pandangan ilmiah. Prinsip ini menekankan pentingnya dua aspek utama: empiris (berdasarkan pengamatan atau pengalaman yang dapat diuji) dan rasional (sesuai dengan logika dan penalaran manusia). Dalam konteks kesehatan sebagai salah satu contoh, metode pengobatan yang bersandar pada bukti empiris dan beralasan secara rasional dianggap sebagai pendekatan ilmiah. Sebagai kontrast, penggunaan ruqyah untuk mengatasi gangguan jin tidak memenuhi standar ilmiah karena kurangnya bukti empiris yang dapat diuji dan tidak sesuai dengan penalaran rasional yang diterima dalam paradigma ilmiah. Dengan demikian, dominasi peradaban Barat dalam bidang kesehatan dan bidang lainnya dapat dipahami melalui penekanan mereka terhadap penggunaan scientific worldview sebagai landasan untuk mengembangkan pengetahuan dan praktik.
Pada era abad ke-21, dominasi peradaban Barat semakin kokoh dengan sains dan teknologi sebagai tiang penopangnya. Kemajuan ilmiah yang mencakup seluruh spektrum disiplin ilmu, dari alamiah hingga sosial/humaniora, dari yang teoretis hingga yang praktis, telah menjadikan standar baru bagi seluruh dunia. Terobosan dalam teknologi elektronika, kedokteran, energi nuklir, teknologi nano, dan bidang lainnya telah mengukuhkan posisi Barat sebagai kekuatan dominan yang mempengaruhi nasib bangsa-bangsa lain di seluruh dunia. Dengan menggabungkan keunggulan dalam penelitian dan inovasi, peradaban Barat, termasuk Jepang dan Korea, memainkan peran utama dalam memimpin arus kemajuan global, menempatkannya sebagai pusat kekuatan yang tidak terbantahkan dalam panorama global.
Terkait dengan perkembangan dan kemajuan teknologi yang di motori oleh Barat, kita bisa merasakan sendiri betapa cepatnya laju perkembangan teknologi dewasa ini. Misalkan telepon genggam atau HP (hand phone), dahulu di awal kemunculannya sudah dianggap sangat maju hanya dengan fitur telepon dan SMS saja. Namun sekarang HP sudah berkembang menjadi smart phone (ponsel pintar) dengan berbagai fitur yang jauh lebih canggih lagi, seperti kamera, layar sentuh (touch screen), internet, permainan (game), dan lai-lain.
Meskipun berhasil mengembangkan teknologi canggih yang memberikan manfaat signifikan bagi manusia, sains modern dari peradaban Barat juga telah menimbulkan dampak buruk yang seringkali terabaikan. Dampak negatif ini mencakup aspek kemanusiaan, lingkungan, dan etika. Keterlibatan dalam penelitian dan pengembangan teknologi yang muncul dari peradaban Barat tidak selalu diimbangi dengan pemahaman yang mendalam akan potensi risiko dan konsekuensinya. Bahkan para pakar seringkali terperangkap dalam optimisme akan kemajuan teknologi, sehingga cenderung menganggapnya sebagai pencapaian puncak dalam sejarah peradaban manusia.
Seperti yang disampaikan oleh sejarawan terkemuka Marvin Perry, peradaban Barat dapat dianggap sebagai sebuah drama yang tragis (a tragic drama)[1]. Dalam narasinya yang kaya akan kontradiksi, peradaban ini telah memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang pada gilirannya meningkatkan kualitas hidup manusia dengan menyediakan fasilitas yang lebih baik. Namun, di balik kemajuan ini, peradaban Barat juga telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kerusakan lingkungan alam. Dengan demikian, perjalanan peradaban Barat terhampar sebagai sebuah drama tragis yang memunculkan pertentangan antara pencapaian gemilang dan dampak negatif yang tidak terelakkan.
Peradaban Barat, yang dipengaruhi oleh pandangan materialisme, telah mendorong upaya penjajahan dan kolonisasi di seluruh penjuru dunia, dengan konsekuensi tragis berupa kehilangan nyawa yang tak terhitung jumlahnya. Dalam karya monumentalnya yang berjudul “The Disasters Darwinism Brought Humanity,” Harun Yahya menggambarkan dampak merusak dan bencana kemanusiaan yang disebabkan oleh teori Darwinisme. Di antara dampak tersebut adalah munculnya fenomena rasisme dan praktik kolonialisme yang meluas, yang menimbulkan penderitaan dan penindasan bagi banyak kelompok manusia di seluruh dunia.[2]
Dampak negatif dan kerusakan yang disebabkan oleh perkembangan sains Barat termanifestasi dalam berbagai bidang seperti kedokteran, pertanian, dan industri. Dalam ranah kedokteran modern, praktik vivisection telah dikenal, merujuk pada proses menyiksa hewan hidup demi kepentingan bisnis pengujian obat-obatan guna mengatasi beragam penyakit manusia. Di sektor pertanian, penggunaan berlebihan bahan kimia seperti pestisida, herbisida, dan pupuk nitrogen sintetis telah mencemari lingkungan, merusak ekosistem, dan membahayakan kesehatan petani serta hasil panen. Tambahan pula, limbah industri menyebabkan polusi udara, air, dan suara, sementara dampak dari efek rumah kaca, sampah nuklir, serta pestisida seperti insektisida parakuat semakin memperburuk kondisi bumi. Seluruh fenomena ini menandakan dampak negatif dari industrialisasi yang belum mampu diimbangi dengan teknologi yang ramah lingkungan.
Islamisasi Sains Sebagai Sebuah Gerakan
Para penggagas ide Islamisasi ilmu pengetahuan atau sains tidak sekedar mengeluarkan ide atau konsep semata. Mereka juga dengan gigih mengupayakan supaya ide dan gagasannya dapat dipraktikkan di masyarakat. Selain diajarkan dan disebarluaskan, ide tersebut juga dipraktikkan melalui lembaga-lembaga formal baik di bidang pengajaran maupun sekedar kelompok diskusi.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang memperkenalkan konsep islamisasi sains pada tahun 1970-an, telah melakukan upaya yang berkelanjutan dalam mendirikan sebuah institusi pendidikan yang berprestasi. International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), sebuah entitas yang dimiliki oleh pemerintah Malaysia, merupakan hasil dari usaha ini. Didirikan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas pada tahun 1989, ISTAC dipimpin olehnya hingga 13 Oktober 2002. Mulai tahun 2002, ISTAC menjadi bagian dari manajemen Universitas Islam Internasional Malaysia (UIIM).
Dalam hal kebudayaan ilmu di ISTAC, aliran epistemologi yang dianut berdasarkan skema epistemologi Islam yang diketengahkan al-Attas. Beliau menegaskan agar sesuatu itu bernilai objektif bukan hanya dapat ditinjau dari luar saja, tapi juga subjek yang berdasarkan pada pengalaman faktual peneliti yang dianalisis serta dinyatakan benar. Budaya ini amat ditekankan al-Attas harus terpancar dari pandangan hidup atau sistem metafisika Islam dan skema ilmunya.
Tokoh lain yang cukup agresif dalam menyebarkan ide islamisasi ilmu pengetahuan adalah Ismail Raji al-Faruqi. Ia termasuk tokoh yang sangat berperan dalam menyebarkan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ke berbagai belahan dunia. Pada tahun 1981, setelah menyampaikan konsep Islamisasinya, al-Faruqi mendirikan sebuah lembaga riset khusus yang bertujuan untuk mengembangkan ide-idenya terkait proyek Islamisasi, yaitu International Institute of Islamic Thought (IIIT). IIIT berfungsi sebagai entitas intelektual yang fokus pada pembahasan dan pengembangan gagasan-gagasan Islamisasi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang dipelopori oleh Syed Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi telah berkembang pesat di berbagai belahan dunia. Keduanya, melalui karya dan upaya mereka, telah berhasil menarik perhatian para intelektual, akademisi, dan masyarakat umum untuk menggali kembali akar-akar keilmuan Islam dalam rangka memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan kontemporer. Dengan menekankan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan metodologi Islam dalam memandang dunia dan ilmu pengetahuan, mereka berdua telah menginspirasi gerakan intelektual yang mencari keselarasan antara tradisi keilmuan Islam dan ilmu pengetahuan modern. Dampaknya terasa luas, dengan munculnya pusat-pusat studi Islam dan ilmu pengetahuan di berbagai universitas terkemuka, serta peningkatan pemahaman akan kontribusi Islam dalam peradaban global. Adib FS
[1] Marvin Perry, Western Civilization: A Brief History, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1997), hal. xxi
[2] Harun Yahya, Bencana Kemanusiaan Akibat Darwinisme terj Effendi et all, (Jakarta: Global Cipta Publishing, 2002), hal. 9