Sebagai respons atas perkembangan ilmu pengetahuan modern yang dipenuhi worldview sekuler, muncullah gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Sederet tokoh telah berkecimpung dalam diskursus Islamisasi ini, baik mereka yang berperan sebagai pelopor, maupun sebagai pendukung atau perespons. Nama-nama yang menjadi pelopor gerakan ini, yaitu Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi. Adapun para tokoh yang mendukung atau merespons ide ini di antaranya, Rafiqul Islam Molla, Danjuma A. Maiwada, Jaafar Sheikh Idris, Mohd. Kamal Hassan, Ibrahim A. Ragab, M. Razziuddin Siddiqui, Ziauddin Sardar, Abdul Hamid Abu Sulaiman, Seyyed Hossein Nasr, Muhammad Mumtaz Ali, dan Imad al-Din Khalil.[1]
Begitu hangatnya ide Islamisasi bergulir di tangan para tokoh tersebut, menjadikan ide Islamisasi ilmu pengetahuan berbeda-beda tergantung pada pembawa konsepnya. Untuk itu perlu dilakukan analisis dan perbandingan dari beragam pandangan agar terkuak gambaran yang komprehensif dari apa yang disebut sebagai “Islamisasi ilmu pengetahuan”. Langkah paling mendasar bisa dimulai dengan menggali definisi Islamisasi menurut para tokoh tersebut. Namun sebelum melangkah lebih jauh, perlu terlebih dahulu dibentangkan peta konsep yang menjadi poin penekanan dalam mendefinisikan Islamisasi ilmu pengetahuan.
Secara konseptual, ilmu pengetahuan atau sains yang menjadi objek Islamisasi, tersusun dari tiga komponen utama, yaitu: padangan hidup (worldview), paradigma, dan teori. Menurut Thomas S. Kuhn, posisi paradigma adalah sebagai sebuah sistem keyakinan seorang ilmuwan dalam memandang realitas dan bagaimana cara mengamati, memahami dan menyusun pelbagai hipotesa.[2] Artinya istilah “paradigma” bagi Kuhn, berkedudukan sebagai pandangan dunia (worldview) para ilmuwan dalam mengamati dan memahami masalah-masalah ilmiah. Sedangkan Imre Lakatos, dalam Metodologi Program Risetnya, menyebutkan tiga elemen penting penelitian ilmiah, yaitu hard core, protective belt, dan series of theoris[3]. Ulasan ringkasnya, hard core merupakan ‘asumsi dasar’ yang melandasi program riset ilmiah yang bersifat paten dan harus dilindungi dari ancaman falsifikasi. Artinya paradigma dan worldview diletakkan sebagai asumsi dasar (hard core) di mana teori-teori ilmiah dibangun di atasnya. Atas dasar ini, dapat dipetakan bahwa secara konseptual definisi Islamisasi tidak lepas dari tiga elemen ilmu pengetahuan tersebut, yaitu worldview, paradigma dan teori.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, sebagai tokoh inspirator islamisasi ilmu, memberikan istilah untuk Islamisasi ilmu pengetahuan dengan Islamization of Cotemporary or Present Day Knowledge atau dalam bahasa Arab Islamiyyat al-Ulum al-Mu’asirah.[4] Istilah yang digunakan Al-Attas ini menunjukkan bahwa menurutnya yang perlu diislamkan adalah ilmu pengetahuan kontemporer atau sains Barat sekarang ini. Lebih lanjut Al-Attas mendefinisikan Islamisasi sebagai “the liberation of man first from magical, mythological, animistic, national—cultural tradition opposed to Islam, and then from secular control over his reason and his language”.[5] Dari definisi al-Attas tersebut dapat diketahui, bahwa kata kunci dari Islamisasi adalah pembebasan (liberation). Pembebasan yang dimaksud di sini adalah pembebasan worldview manusia dari tradisi magis, mitologis, animistik, budaya nasional yang bertentangan dengan Islam, dan kemudian dari kontrol sekuler atas akal dan bahasanya. Dari definisi ini tampak jelas bahwa Islamisasi al-Attas menekankan pada aspek paradigma pikiran manusia yang terkontaminasi pandangan yang bertentangan dengan asas Islam.
Berbeda dengan Al-Attas, tokoh pendiri International Institute of Islamic Thought (IIIT) Ismail Raji al-Faruqi, menyebut Islamisasi ilmu pengetahuan dengan Islamization of Knowledge (IOK), yang dalam bahasa Arab disebut Islamiyyatu al-Ma’rifah yang bermakna bahwa menurut Al-Faruqi yang perlu diislamkan adalah segala disiplin ilmu (baik kontemporer maupun tradisi Islam).[6] Al-Faruqi mendefinisikan tugas mengislamkan pengetahuan adalah menyusun kembali seluruh warisan pengetahuan manusia dari sudut pandang Islam. Dia juga menambahkan untuk menyusun kembali pengetahuan sebagaimana Islam terkait dengannya, yaitu dengan mendefinisikan kembali dan menyusun ulang data, memikirkan kembali alasan dan menghubungkan data, mengevaluasi kembali kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan dan melakukannya sedemikian rupa cara untuk membuat disiplin memperkaya visi dan melayani tujuan Islam. Dia juga melihat bahwa IOK bertujuan untuk menghasilkan buku teks tingkat universitas yang menyusun kembali sekitar dua puluh disiplin ilmu sesuai dengan visi Islam.[7] Maka, dapat diidentifikasikan bahwa Islamisasi menurut al-Faruqi berorientasi pada paradigma pengetahuan manusia yang disusun kembali dari sudut pandang Islam.
Sementara itu, Rafiqul Islam Molla, Profesor Hukum di Macquarie University, Sydney, Australia. mendefinisikan Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan gerakan reformasi dan transformasi –secara internal gerakan reformasi dan secara eksternal gerakan transformasi. Ia menyatakan: A reformation and transformation movement-Internally reform movement and externally a transformation movement. Fundamentally it is meant for our understanding, realization, and commitments to the worldview of Islam. [8] Dia juga menyatakan bahwa pengetahuan yang didasarkan pada keilahian dan suara dalam moralitas, unggul dalam kebijaksanaan dan efisiensi. Dalam definisi ini terlihat bahwa objek garapan Islamisasi adalah pada tataran pandangan hidup (worldview), yaitu dengan melalui proses reformasi secara internal dan transformasi secara eksternal.
Adapun Rektor ke-3 Universitas Islam Internasional Malaysia, Mohd. Kamal Hassan, menyebut Islamisasi ilmu pengetahuan dengan istilah Islamization of Human Knowledge (IOHK). Kamal Hassan menyebutkan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan sebuah paradigma alternatif terhadap pengetahuan kontemporer manusia sesuai dengan pandangan dunia fundamental, nilai-nilai etika dan norma-norma Islam. Lebih lengkap beliau mengatakan, “An alternative paradigm for pursuing, teaching, developing, organizing, disseminating, utilizing and evaluating contemporary human knowledge in accordance with the, worldview fundamental, ethical values and norms of Islam.” [9]
Lebih lanjut Hassan menjelaskan bahwa paradigma alternatif ini berbasis pada teologi, ontologi, epistemologi, aksiologi dan etika tauhid yang melihat secara kritis berbagai cabang keilmuan kontemporer yang direpresentasikan dan dibangun oleh perilaku sains Barat yang sekuler.[10] Secara substansial definisi Hassan ini senada dengan al-Attas, jika al-Attas memaknai Islamisasi sebagai pembebasan pemikiran manusia dari sekularisme, Hassan memaknainya sebagai paradigma alternatif yang menggantikan pandangan sekuler tersebut.
Adapun Profesor Pekerjaan Sosial dan Kebijakan Sosial Universitas Al-Azhar, Ibrahim A. Ragab, menganggap Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai pergeseran metodologi yang berposisi sebagai prasyarat mutlak untuk ‘mengislamkan’ disiplin ilmu atau bahkan satu subjek atau konsep ilmu secara spesifik. Ragab mengatakan:
“Islamization is regarded as shifting methodology and hence mastering Islamic ontological and epistemological assumptions is regarded as an absolute prerequisite for any attempt to ‘Islamize’ a social science discipline, a subject, or even one social science concept. This denotes that Islamization require such kind of paradigm which is Islamic in nature.”[11]
Definisi ini menunjukkan bahwa Islamisasi membutuhkan paradigma yang bersifat Islami. Agaknya, secara substansial definisi Ragab ini masih senada dengan definisi-definisi sebelumnya terutama definisi Kamal Hasan yang menekankan Islamisasi paradigma. Namun yang membedakan definisi Ragab dengan yang sebelumnya adalah ia berpandangan bahwa objek Islamisasi bisa berupa disiplin ilmu atau bahkan satu subjek ilmu tertentu.
Selanjutnya, definisi Islamisasi datang dari Danjuma A Maiwada, Profesor di Departemen Pendidikan Universitas Bayero Kano Nigeria. Sama seperti al-Faruqi, Maiwada menyebut Islamisasi ilmu pengetahuan dengan istilah Islamization of Knowlage. Maiwada mendefinisikan Islamisasi yaitu, “the transformation of a worldview from one that is “crooked” or jahil (ignorant) to one that is Islamic”.[12] Meskipun definisi tersebut terkesan sangat sederhana namun maknanya sangat jelas. Dalam definisinya tersebut Maiwada menjelaskan bahwa Islamisasi adalah transformasi pandangan dunia (worldview) dari yang “bengkok” atau jahil (bodoh) menjadi yang Islami. Dapat terlihat dalam definisi ini, Maiwada menekankan Islamisasi pada aspek pandangan dunia (worldview).
Definisi Islamisasi yang selanjutnya datang dari Profesor Ilmu Akidah Universitas Imam Muhammad Ibn Saud Saudi Arabia, Jaafar Sheikh Idris. Istilah yang dipergunakan oleh Idris untuk menyebut Islamisasi yaitu Islamization of the sciences, namun istilah tersebut tidak konsisten digunakannya, sebab sering kali ia menyebut juga dengan istilah Islamization of knowledge.
Dalam menjelaskan definisi Islamisasi, Idris menggunakan metode yang cukup unik, yaitu dengan membuat dialog imajiner antara seorang filosof Barat (Western philosopher) dengan inisial W, dan seorang Muslim yang mendukung Islamisasi dengan inisial M. Melalui dialog imajiner tersebut Idris menyebutkan bahwa apa yang disebut sebagai ilmu pengetahuan hari ini, sejatinya adalah pengetahuan dalam kerangka filsafat materialistik ateistik Barat. Kerangka filosofis tersebut mempengaruhi konsep tentang kebenaran, bukti, fakta, dan melalui nilai-nilainya, memengaruhi pilihan bidang penelitian, prioritas, dll. Karena filosofi ateistik materialistis didasarkan pada asumsi yang salah, maka menurut Idris Islamisasi merupakan usaha untuk menggantikannya dengan pandangan dunia (worldview) yang didasarkan pada kebenaran dan nilai-nilai yang benar. Dengan penuh keyakinan Idris menyatakan bahwa Islam adalah pandangan dunia yang demikian.[13] Terlihat dari definisi Jaafar Sheikh Idris ini bahwa worldview atau filsafatmerupakan aspek yang ditekankannya.
Selanjutnya turut meramaikan diskursus Islamisasi ini, seorang matematikawan muslim asal India, M. Razziuddin Siddiqui. Menurut Siddiqui, term Islamisasi sebagaimana term-term pada umumnya, memiliki sebuah konotasi tertentu yang ditentukan dari definisinya. Menurut Siddiqui term Islamisasi di sini dipahami sebagai konsep, prinsip-prinsip dan metodologi yang dibutuhkan untuk mengorganisasikan dan mengembangkan sistem pengetahuan yang sesuai dengan ruh Islam dan epistemologi yang bersumber dari Al-Qur’an.[14] Dari definisi ini dapat diketahui bahwa Siddiqui lebih menekankan Islamisasi dari aspek paradigma, yaitu dengan mengembangkan sistem pengetahuan (system of knowledge) yang berasaskan pada epistemologi Islam.
Definisi Islamisasi juga disampaikan oleh Muhammad Mumtaz Ali dalam bukunya The History and Philosophy of Islamization of Knowledge. Menurutnya pada tingkat dasar, Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan cabang ilmu pengetahuan yang ada; yaitu, membawa mereka ke dalam pandangan dunia Islam (Islamic worldview) untuk mencapai tujuan Islam dalam kehidupan manusia. Pada tingkat yang lebih tinggi, Islamisasi Pengetahuan berarti, di satu sisi, pemahaman yang lebih dalam dan mendalam tentang Al-Qur’an dan Sunnah dan, di sisi lain, pemahaman yang komprehensif tentang warisan manusia dan Islam. Kemudian berdasarkan dua penafsiran tersebut [pemahaman Al-Qur’an dan Sunnah dan warisan manusia dan Islam], menurut Mumtaz seseorang harus berpikir dan menciptakan ilmu baru dalam setiap disiplin ilmu beserta cabang-cabangnya yang terkait. Dalam konteks ilmu-ilmu agama, bagi Mumtaz, Islamisasi ilmu pengetahuan juga dapat didefinisikan sebagai evolusi pemikiran dalam cabang-cabang ilmu dan disiplin ilmu yang ada.[15] Dari definisi yang dipaparkan Mumtaz Ali tersebut dapat diketahui bahwa basis Islamisasi baginya adalah worldview Islam yang digunakan untuk mengislamkan cabang ilmu pengetahuan yang ada.
Senada dengan Mumtaz Ali, sejarawan dan pemerhati Islamisasi, Imad al-Din Khalil, dalam bukunya Islamization of Knowledge: A Methodology, mendefinisikan Islamisasi sebagai: “… keterlibatan dalam pengejaran intelektual, dengan pemeriksaan, peringkasan, korelasi dan publikasi, dari perspektif Pandangan Islam (Islamic outlook) tentang kehidupan dan alam semesta.”[16] Dalam bukunya tersebut ia memvisualisasikan proses Islamisasi pada dua tingkat, yaitu teoritis dan level aktual. Pada tingkat teoritis, Islamisasi fokus tentang penjelasan dimensi, motif, tujuan, tahapan dan cara islamisasi ilmu, sedangkan pada level aktual berfokus pada Islamisasi aktual dari berbagai disiplin ilmu yang harus dilakukan oleh para ahli dalam bidang tersebut. Dengan demikian definisi Islamisasi Imad al-Din Khalil ini lebih berorientasi pada Islamisasi disiplin ilmu.
Tidak berbeda jauh dari Imad al-Din Khalil dan Mumtaz Ali, rektor ke-2 Universitas Islam Internasional Malaysia, Abdul Hamid AbuSulayman, juga setuju dengan Islamisasi yang berorientasi pada disiplin ilmu khususnya ilmu modern. Dalam salah satu tulisannya tentang Islamisasi AbuSulayman menyatakan,“critical examination of modern and contemporary disciplines in light of “the vision of Islam” and recasting them under categories consistent with that vision”.[17] Dalam definisi tersebut AbuSulayman menyatakan bahwa Islamisasi merupakan pemeriksaan kritis terhadap disiplin ilmu modern dan kontemporer dalam naungan “visi Islam” dan menyusunnya kembali ke dalam kategori yang konsisten dengan visi tersebut. Ini artinya AbuSulayman lebih menekankan Islamisasi pada ranah disiplin ilmu modern.
Selanjutnya, respons terhadap gagasan Islamisasi muncul dari Sarjana Inggris-Pakistan sekaligus kritikus budaya dan intelektual publik, Ziauddin Sardar. Dalam karya-karyanya, Sardar tidak secara tegas mendefinisikan Islamisasi, namun lebih banyak melayangkan kritik terutama terhadap model Islamisasi Ismail Raji al-Faruqi. Bagi Sardar Islamisasi seharusnya berfokus pada epistemologi sains Barat, bukan sains Barat itu sendiri. Oleh sebab itu, menurut Sardar Islamisasi disiplin ilmu, seperti yang digagas oleh al-Faruqi dan kawan-kawan, tidak relevan bagi umat Islam.[18]
Selain Ziauddin Sardar, respons terhadap gagasan Islamisasi juga muncul dari tokoh filsafat perennial, Seyyed Hossein Nasr. Dari berbagai karya tulisnya, seperti buku The Encounter of Man and Nature (1968), buku Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (1968), buku Islam and the Plight of Modern Man (1975), dan buku Religion and the Order of Nature (1996), dapat diketahui bahwa Nasr termasuk pemikir sains Islam yang vokal mengkritik tajam paradigma sains Barat modern. Bagi Nasr sains modern yang berkembang sekarang ini sekuler dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas. Nasr mengkritik sains modern yang telah menghapus jejak Tuhan di dalam keteraturan alam. Oleh sebab itu, Nasr menawarkan konsep Islamisasi dengan pendekatan sakralisasi. Yaitu memasukkan unsur-unsur metafisik dan spiritualitas ke dalam paradigma sains Barat.[19] Maka definisi Islamisasi Nasr lebih bersifat integratif, yaitu mengintegrasikan berbagai mata pelajaran ke dalam pandangan dunia Islam, sehingga akan mewujudkan suatu sistem yang akan melatih siswa untuk tetap menjadi Muslim yang taat dan terikat pada tradisi mereka sendiri sambil mempelajari disiplin ilmu seperti fisika modern, kimia, teknik atau ilmu sosial yang berasal dari Barat.[20] Dengan demikian Islamisasi Nasr cenderung berorientasi pada subjek atau disiplin ilmu yang diintegrasikan ke dalam worldview Islam.
Melalui penelusuran dan penggalian terhadap definisi Islamisasi ilmu pengetahuan dari para tokoh penggagas, pendukung dan pemerhati Islamisasi di atas, definisi-definisi tersebut dapat diklasifikasikan sesuai dengan peta konsep Islamisasi yang telah ditampilkan di awal. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa definisi Islamisasi, secara konseptual tidak terlepas dari tiga elemen yang menjadi titik penekanan dan orientasi, yaitu: pandangan dunia (worldview), paradigma, serta teori. Maka definisi-definisi tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga klaster sesuai titik tekan dari masing-masing definisi.
Klaster pertama, yaitu definisi yang menekankan Islamisasi pada ranah worldview atau filosofi. Seperti definisi Rafiqul Islam Molla yang menekankan Islamisasi dengan proses reformasi dan transformasi pada ranah worldview. Begitu pula definisi Danjuma A. Maiwada yang menekankan Islamisasi dengan transformasi dari worldview yang bengkok atau jahil (bodoh) kepada worlview Islam. Sedangkan definisi Jaafar Sheikh Idris lebih berorientasi pada mengganti filsafat Barat yang materialis-ateistik, dengan worldview Islam.
Klaster kedua, mencakup definisi-definisi yang berorientasi pada Islamisasi terkait paradigma. Syed Muhammad Naquib al-Attas dengan Islamisasinya yang berorientasi pada Islamisasi paradigma pikiran manusia yang terkontaminasi oleh pandangan sekuler dengan worldview Islam, termasuk ke dalam klasifikasi ini. Begitu juga Ismail Raji al-Faruqi, dengan Islamisasinya berorientasi pada paradigma pengetahuan manusia yang disusun kembali dari sudut pandang Islam. Mohd Kamal Hasan dengan Islamisasi paradigma, M. Razziuddin Siddiqui dengan Islamisasi sistem pengetahuan, serta Ziauddin Sardar dengan Islamisasi epistemologi juga termasuk dalam klasifikasi ini.
Klaster ketiga, mencakup definisi-definisi yang meletakkan disiplin ilmu sebagai titik penekanannya. Termasuk ke dalam klasifikasi ini adalah definisi Ibrahim A. Ragab yang mengasosiasikan Islamisasi pada disiplin, subjek maupun konsep sebuah ilmu. Begitu juga definisi Abdul Hamid AbuSulayman dengan Islamisasi pada disiplin ilmu modern, Seyyed Hossein Nasr dengan Islamisasi subjek ilmu, Imad al-Din Khalil pada disiplin ilmu pengetahuan dan Muhammad Mumtaz Ali yang menekankan Islamisasi pada cabang keilmuan dengan worldview Islam.
Setelah melewati proses penggalian definisi Islamisasi dari para tokoh-tokohnya serta klasifikasi yang mengacu pada titik penekanan masing-masing definisi, maka gambaran tentang apa yang disebut sebagai “Islamisasi ilmu pengetahuan” kini menjadi semakin jelas. Untuk mendapatkan gambaran Islamisasi yang komprehensif harus dilihat dari semua aspeknya, yang meliputi Islamisasi worldview, paradigma dan teori/disiplin. Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Islamisasi adalah mengubah pandangan dunia, paradigma dan teori-teori ilmu kontemporer/Barat yang melibatkan proses filosofis dan epistemologis yang kompleks sehingga menghasilkan paradigma, metodologi, konsep, teori baru yang sesuai dengan pandangan hidup Islam.[]
Oleh: Adib Fattah Suntoro, M.Ag.*
*Peneliti Centre for Islamic and Occidental Studies, Universitas Darussalam Gontor
[1] Iswati Iswati, “Upaya Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam,” At-Tajdid : Jurnal Pendidikan Dan Pemikiran Islam 1, no. 01 (2017): 93, https://doi.org/10.24127/att.v1i01.341.
[2] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientifc Revolution, Dentistry Today (Chicago: The University of Chicago Press, 1970), 39.
[3] Imre Lakatos, “History of Science and Its Rational Reconstruction,” vol. 1970, 2012, 99.
[4] Al-Attas, Islam and Secularism, xi.
[5] Al-Attas, 44.
[6] Lihat: International Institute of Uslamic Thought, Islamization of Knowledge General Principles and Work Plan, ed. Abdul Hamid Abu Sulayman, III (Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1981).
[7] Ismail Raji Al-Faruqi, “Islamization of Knowledge: Problems, Principles and Prospective,” in Islam: Source and Purpose of Knowledge (Herndon: International Institute Islamic Thought, 1982), 32.
[8] Helal Uddin and Manjurul Alam Mazumder, “Islamization of Knowledge : An Exploratory Study of Concepts , Issues and Trends,” International Journal of Multidisciplinary Research and Development 1, no. 6 (2014): 101.
[9] Mohd Kamal Hassan, “Islamization of Human Knowledge,” in Islamic Economics Education in Southeast Asian Universities, ed. Mohd Nizam Barom (Herndon: Centre for Islamic Economics IIUM, 2013), 41.
[10] Hassan, 42.
[11] Ibrahim A Ragab, “On the Methodology of Islamizing the Social Sciences,” Intellectual Discourse 7, no. 1 (1999): 27–52.
[12] Danjuma a Maiwada, “Islamization of Knowledge: Background and Scope,” American Journal of Islamic Social Sciences 14, no. 2 (1999): 275, http://i-epistemology.net/attachments/466_V14N2 Summer 97 – Maiwada – Islamization of Knowledge Seminar – Background.pdf.
[13] Jaafar Sheikh Idris, “The Islamization Of The Sciences,” American Journal of Islam and Society 4, no. 2 (1987): 202, https://doi.org/10.35632/ajis.v4i2.2857.
[14] M. Razziuddin Siddiqui, “The Concept of Knowledge in Islam and the Principles of Mathematical Science,” in Islam: Source and Purpose of Knowledge (Herndon: IIIT, 1994), 189.
[15] Muhammad Mumtaz Ali, The History and Philosophy of Islamization of Knowledge, n.d., 16.
[16] ’Imad al Din Khalil, Islamization of Knowledge: A Methodology (Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1995), 15.
[17] Abdul Hamid AbuSulayman, Islamization : Reforming Contemporary Knowledge (Herndon: IIIT, 1994), 9.
[18] Ziauddin Sardar, Rediscovery Islamic Epistemology in Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (Kuala Lumpur: Pelanduk Publication, 1988), 89.
[19] Syarif Hidayatullah, “Konsep Ilmu Pengetahuan Syed Hussein Nashr: Suatu Telaah Relasi Sains Dan Agama,” Jurnal Filsafat 28, no. 1 (2018): 131, https://doi.org/10.22146/jf.30199.
[20] Seyyed Hossein Nasr, A Young Muslim’s Guide to the Modern World (Chicago: Kazi Publication, 2003),130