Feminisme, Kesetaraan Gender, dan Islamofobia

Oleh: Adib Fattah Suntoro, M.Ag.

Perdebatan tentang hak-hak perempuan dalam Islam dan cara perempuan Muslim digambarkan selalu menjadi topik menarik. Hal ini terutama terlihat dalam hubungan antara Barat dan dunia Muslim. Kedua belah pihak memiliki sejarah panjang yang melibatkan perbedaan agama, politik, dan budaya. Ketegangan sering muncul, mulai dari Perang Salib hingga kolonialisme dan perbedaan ideologi yang terus berlanjut. Dalam diskusi akademis, istilah Islamofobia sering digunakan untuk menjelaskan berbagai prasangka dan kesalahpahaman mengenai Islam dan umat Muslim. Istilah ini pertama kali diciptakan oleh Étienne Dinet dalam sebuah esai pada tahun 1922.[1] Edward Said kemudian memperkenalkan istilah ini dalam bahasa Inggris lewat tulisannya Orientalism Reconsidered pada tahun 1985.[2] Kini, Islamofobia merujuk pada ketakutan atau kebencian terhadap Islam dan umat Muslim. Sikap ini telah ada dalam budaya Barat selama berabad-abad.

Sejak Runnymede Trust[3] di Inggris merilis laporan “Islamophobia: A Challenge for Us All” pada tahun 1997, isu Islamofobia semakin menjadi perhatian dalam berbagai aspek, termasuk politik dan budaya.[4] Misalnya, sejak Januari 2008, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) telah aktif menerbitkan buletin bulanan dan laporan tahunan yang membahas tentang Islamofobia. Pada tahun 2004, PBB juga mengadakan seminar dengan tema “Confronting Islamophobia” di New York, di mana Kofi Annan menekankan bahwa Islamofobia bukanlah hal baru dan telah ada sejak lama. Bahkan ini bisa dilacak mulai sejak kemunculan Islam pada tahun 622 M, bahwa pandangan masyarakat Eropa terhadap umat Muslim sering kali negatif. [5]

Salah satu bentuk Islamofobia yaitu terkait dengan isu gender. Hal ini dapat kita jumpai dalam tulisan beberapa sarjana feminis. Banyak orang di Barat merendahkan ajaran Islam dan menggambarkannya sebagai agama penindas perempuan. Bahkan sampai muncul narasi bias yang menggambarakan bahwa Barat menjunjung konsep gender yang egaliter, sementara Islam cenderung menindas.[6] Ini terlihat dari beberapa sarjana feminis yang mengkaji masyarakat Muslim cenderung mengikuti cara pandang feminisme kolonial, menggambarkan Islam sebagai misoginis dan menindas. Mereka sering meniru ide-ide feminis Barat untuk memperbaiki kondisi perempuan di negara Muslim, namun merendahkan ajaran Islam demi kepentingan feminisme. Untuk itu, artikel singkat ini berupaya untuk mengungkap prinsip keadilan dalam Islam, terutama dalam aspek kesetaraan gender.

Islamofobia Berbasis Gender

Sebuah buku karya Peter Gottschalk dan Gabriel Greenberg menyematkan judul  dan gambar sampul yang sangat provokatif, yaitu Islamophobia: Making Muslims the Enemy dengan gambar seorang wanita Muslim berjilbab di bagian sampulnya.[7] Dari sini kita mengerti bahwa Islamofobia sering terkait dengan pandangan Barat tentang perempuan dalam Islam. Umumnya mereka berasumsi bahwa Islam menindas perempuan. Anggapan ini muncul dari diskusi yang berfokus pada perlindungan hak-hak perempuan, yang kemudian menggambarkan Islam sebagai agama yang secara alami tidak menghargai perempuan.[8] Jasmin Zine dalam penelitiannya menyebut ini sebagai “Islamofobia berbasis gender,” yang berarti Islam sering dipandang sebagai agama yang menindas perempuan. Bahkan perempuan Muslim dianggap sangat tertekan oleh ajaran agama mereka.[9]

Salah satu contoh dari Islamofobia berbasis gender dapat dilihat setelah serangan 11 September 2001 di New York. Dalam konteks perang dan invasi Barat ke Afghanistan, representasi paling menonjol tentang negara dan rakyatnya (terutama di media Barat) adalah kondisi perempuan yang dianggap inferior. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Mariam Rawi melalui artikel berjudul “Rule of the Rapists” bahwa ketika AS mulai membombardir Afghanistan pada 7 Oktober 2001, penindasan terhadap perempuan Afghanistan dijadikan alasan untuk menggulingkan rezim Taliban. Pemerintah Amerika juga tampaknya menggunakan status perempuan di negara tersebut sebagai pembenaran untuk perang imperialistiknya di Afghanistan.[10]

Obsesi terhadap penderitaan perempuan Muslim sering kali dipakai untuk menunjukkan bahwa budaya Barat lebih baik dan lebih unggul. Fenomena ini dikenal sebagai “feminisme kolonial”.[11] Dalam feminisme ini, budaya Barat dipromosikan, sementara praktik budaya Islam dan Timur dianggap rendah. Akibatnya, sebagian masyarakat Muslim merasa terdorong untuk mengikuti budaya Barat yang dianggap lebih baik. Pandangan ini sering kali mengabaikan perbedaan pengalaman perempuan Muslim dan tradisi Islam, dan pada akhirnya memperkuat kekuasaan budaya Barat.[12]

Kecenderungan untuk melihat budaya Muslim sebagai satu kesatuan yang sama adalah salah satu ciri utama Islamofobia.[13] Allen menyoroti bahwa aspek paling berbahaya dari Islamofobia adalah menggambarkan Islam sebagai suatu agama yang hanya terdiri dari satu dimensi dan menganggap bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan atau pandangan internal.[14] Banyak ilmuwan dari Timur dan Barat sekarang menyadari bahwa ada hubungan antara sebagian feminisme Barat dan para penjajah yang menggunakan “retorika feminis” untuk kepentingan kolonial dan mendukung perang imperialis.[15] Representasi negatif tentang  Islam sering kali menggambarkan perempuan Muslim sebagai pihak yang membutuhkan bantuan dari Barat yang dianggap lebih “beradab” untuk membebaskan diri dari patriarki. Hal ini kemudian memudahkan masuknya model-model feminisme Barat dan konsep hak-hak perempuan ke dalam masyarakat Muslim.

Ketidaktahuan dan Prasangka terhadap Islam

Gambaran negatif tentang Islam dan anggapan bahwa pria Muslim adalah misoginis sementara wanita Muslim dianggap sebagai korban yang lemah berasal dari ketidaktahuan dan prasangka. Ketidaktahuan seringkali memicu prasangka, dan keduanya saling terkait. Namun, dalam banyak kasus, prasangka lebih menonjol. Islam seringkali dianggap sebagai penyebab utama dari posisi perempuan yang tidak setara.

Jika dibandingkan dengan agama lain, seperti Hindu, yang juga memiliki masalah dalam hal status perempuan, Islam seringkali menjadi fokus perhatian negatif. Misalnya, dalam hukum Hindu kuno, perempuan dipandang sebagai pihak yang selalu bergantung pada laki-laki—pertama kepada ayah, kemudian kepada suami, dan akhirnya kepada anak laki-laki. Selain itu, ada praktik Sati, di mana janda dibakar bersama suaminya, yang dianggap sebagai cara untuk membebaskan mereka dari kehidupan yang tidak bahagia.[16] Meskipun ada elemen misoginis dalam ajaran Hindu, gambaran negatif tentang perempuan Hindu tidak sebanyak yang ada terhadap perempuan Muslim di media dan akademis. Begitu juga dalam tradisi Yahudi dan Kristen, perempuan sering dipandang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Dalam tradisi Kristen, ada pemikiran yang menyebutkan bahwa perempuan diciptakan setelah laki-laki dan dianggap penyebab dosa pertama.[17] Namun, meskipun ada masalah yang sama dalam ajaran agama-agama ini, mereka tidak mendapat sorotan media yang sama seperti Islam.

Ironisnya, saat ini Islam sering dicemooh karena dianggap tidak memberikan hak kepada perempuan, padahal di masa lalu, justru Islam dianggap terlalu egaliter. Riffat Hassan mencatat bahwa propaganda negatif terhadap Islam sudah ada sejak awal sejarah Islam, ketika agama ini mulai berkembang di wilayah yang mayoritas Kristen. Di masa medieval, ketika perempuan di Eropa tidak memiliki banyak hak, perempuan Muslim sudah menikmati hak-hak yang lebih baik.[18] Misalnya, hingga tahun 1960-an dan 1970-an, di beberapa negara bagian di AS, perempuan masih terhambat hak-hak miliknya. Di Malta, hukum perceraian baru diterapkan pada tahun 2011. Sementara itu, di Inggris, perempuan baru mendapatkan hak yang sama dalam hal gaji pada tahun 1970.[19] Sebaliknya, Islam sudah memberikan hak waris, kepemilikan, dan kesempatan bagi perempuan untuk terlibat dalam kehidupan publik sejak abad ke-7. Dalam Al-Qur’an, dinyatakan bahwa perempuan berhak atas hasil kerja mereka dan juga bagian dari harta warisan. Ini menunjukkan bahwa Islam memiliki pandangan yang lebih progresif mengenai hak-hak perempuan dibandingkan dengan banyak tradisi lain.

Dalam sejarah Eropa abad pertengahan, Islam sering kali dipandang negatif, terutama terkait dengan hak-hak perempuan. Jonathan Porter Berkey, profesor sejarah di Davidson College, menjelaskan bahwa status perempuan dalam masyarakat Islam awal dan abad pertengahan itu rumit, karena ada banyak lapisan budaya dan agama yang memengaruhi cara pandang Barat terhadap Islam. Namun, hukum Islam sebenarnya memberikan banyak hak dan keistimewaan kepada perempuan, yang bahkan lebih baik dibandingkan hak-hak perempuan di banyak masyarakat pra-modern lainnya, termasuk di Barat.[20]

Weeramantry, Hakim Mahkamah Internasional, mendukung pandangan ini dengan mengatakan bahwa pengaruh hukum Islam membantu mengubah sistem hukum Eropa dari kondisi kegelapan di abad pertengahan dan menjadi bagian dari pemikiran universal tentang hak asasi manusia. Ia menyatakan bahwa pemikiran mengenai hak perempuan dalam Islam adalah salah satu dari tiga puluh ide yang mempengaruhi hukum hak asasi manusia di Eropa. Ia juga menambahkan bahwa konsep-konsep dalam tulisan-tulisan Islam mengenai hak perempuan sebenarnya cukup modern dan masuk ke Eropa melalui berbagai cara, termasuk melalui peristiwa-peristiwa seperti Perang Salib dan penyebaran ilmu pengetahuan dari Spanyol Islam.[21]

Namun, setelah revolusi industri di Eropa, perempuan di sana berjuang keras untuk mencapai kesetaraan gender, baik secara intelektual maupun di jalanan. Mereka berhasil mendapatkan banyak hak yang mereka perjuangkan. Karena kesuksesan ini, perempuan Barat sering dijadikan panutan oleh perempuan dari budaya lain, dan banyak feminis dari negara non-Barat yang cenderung mengadopsi isu-isu feminis dari Barat. Menariknya, posisi perempuan dalam Islam sudah memberikan banyak hak, seperti hak untuk pendidikan, pekerjaan, kepemilikan, upah yang setara, serta hak untuk berpartisipasi dalam politik dan mengatur pernikahan.

Banyak orang memiliki pemahaman yang keliru tentang status perempuan dalam Islam. Leila Ahmed menjelaskan bahwa seperti halnya orang Amerika berpikir bahwa orang Arab itu terbelakang, mereka juga yakin bahwa perempuan Muslim sangat tertindas. Keyakinan ini bukan karena mereka melihat bahwa perempuan di seluruh dunia mengalami penindasan, tetapi karena mereka percaya bahwa Islam secara khusus menindas perempuan dengan cara yang sangat parah.[22] Katherine Bullock’s dalam buku Rethinking Muslim Women and the Veil menambahkan bahwa banyak ilmuwan feminis, baik yang Muslim maupun non-Muslim, percaya bahwa Islam, seperti agama patriarkal lainnya, merendahkan perempuan.[23] Gambaran negatif seperti ini menjadi dasar bagi pandangan Islamofobia dan berakar pada anggapan bahwa hak asasi manusia hanya dapat ada dalam konteks sekuler dan bukan dalam kerangka agama. Keyakinan ini muncul dari kurangnya pengetahuan yang memadai tentang Islam.

Terdapat bukti bahwa banyak orang dari negara Barat yang tidak mengenal apa itu Islam. Sebuah studi oleh G. C. Butler menunjukkan bagaimana orang-orang Amerika yang terdidik merespons pertanyaan tentang “Apa itu Islam?” dan “Siapa Nabi Muhammad?” Beberapa jawaban untuk pertanyaan pertama sangat keliru, seperti mereka mengira bahwa Islam adalah sekte misterius yang didirikan di selatan oleh Ku Klux Klan. Untuk pertanyaan kedua, ada yang mengatakan bahwa Muhammad adalah orang yang menulis 1001 Malam, sementara yang lain mengira dia adalah seorang menteri kulit hitam Amerika yang bersaing dengan Father Divine di New York.[24] Lebih parah lagi, dalam survei terbaru oleh Gottschalk dan Greenberg (2008), banyak orang Amerika mengaitkan Islam dengan kekerasan, seperti Osama bin Laden dan serangan 9/11, serta menganggap bahwa Islam hanya ada di negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi dan Irak.[25] Dua survei yang disebutkan menunjukkan bahwa dalam hal pengetahuan tentang Islam, tidak banyak yang berubah selama lebih dari 50 tahun. Survei pertama menunjukkan kebodohan yang murni, sedangkan yang kedua menunjukkan kombinasi antara sikap negatif dan permusuhan.

Pandangan yang keliru tentang Islam membuat beberapa ilmuwan feminis Barat menggambarkan masyarakat Muslim dengan cara yang salah. Mereka menyebarkan kesalahpahaman tentang status perempuan dalam Islam dan mencoba menunjukkan bahwa peradaban sekuler Barat adalah satu-satunya peradaban yang membebaskan perempuan. Sayangnya, banyak intelektual feminis sekuler di negara-negara Muslim yang tidak kritis menerima pandangan ini. Karena banyaknya ide feminis Barat yang beredar, banyak orang di dunia Muslim percaya bahwa meniru Barat dan meninggalkan praktik-praktik Islam adalah satu-satunya cara untuk memerdekakan perempuan.

Pengaruh Feminisme dalam Dunia Muslim

Beberapa pemerintah di dunia Muslim telah berusaha meniru model modernitas Barat, terutama dengan merombak hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan gender. Para cendekiawan feminis di sana juga banyak yang mendukung pengadopsian ide-ide Barat secara keseluruhan dalam upaya pembebasan perempuan. Misalnya, pada masa awal feminisme di Mesir, Qasim Amin (1863-1908)[26] dan Huda Sha’rawi (1879-1947)[27] dipengaruhi oleh pemerintahan kolonial Inggris dan memperkenalkan budaya Barat dengan alasan untuk membebaskan perempuan Muslim.

Ketika Huda Sha’rawi tiba di Roma pada tahun 1923 untuk menghadiri Konferensi Perempuan Internasional, dia menyatakan: “Kami akan mengikuti jejak perempuan di Eropa dalam membangunkan perempuan kami agar kami bisa membawa tanah kami ke tempatnya yang tepat di antara negara-negara maju”.[28] Sebagai pendiri Persatuan Feminisme Mesir, Huda Sha’rawi mempromosikan filosofi feminis yang mengarah ke Barat di tengah masyarakat Muslim.

Di balik itu ternyata, ayah Huda Sha’rawi, Sultan Pasha, terlibat dalam membantu intervensi Inggris di Mesir. Hubungan kolonial ini mungkin mempengaruhi pemikiran feminis Sha’rawi. Dia lebih fasih berbahasa Prancis daripada bahasa Arab, yang membuat identitasnya dalam budaya Mesir diragukan. Fadwa El Guindi berpendapat bahwa meskipun dia merupakan pemimpin feminis yang terkenal, dia tidak sepenuhnya menguasai bahasa ibunya dan tidak sepenuhnya menjadi bagian dari budayanya sendiri. Hal ini tentu saja menghalangi pemahaman yang lebih baik tentang Islam dan mungkin membuatnya lebih condong ke budaya Barat.[29]

Selain  Huda Sha’rawi, terdapat Qasim Amin, seorang pengacara Mesir yang mendapat pendidikan di Prancis dan dianggap sebagai bapak feminisme Arab. Amin terkenal setelah bukunya Tarīr al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) diterbitkan pada tahun 1899. Namun, ketenaran Amin tidak muncul karena terobosan signifikan dalam hak-hak perempuan atau kontribusinya untuk menghilangkan ketidakadilan hukum terhadap perempuan. Sebelumnya, sudah ada kampanye untuk pendidikan dan pemberdayaan perempuan di Mesir, yang telah dimulai sejak tahun 1870-an dan 1880-an, dengan beberapa intelektual Muslim yang menyerukan pendidikan perempuan serta reformasi dalam hal poligami dan perceraian. Pada tahun 1890-an, pendidikan perempuan di luar tingkat dasar sudah tidak lagi menjadi isu yang kontroversial, dan sekolah-sekolah untuk anak perempuan telah didirikan.[30]

Qasim Amin menjadi sosok ikonik dalam feminisme Arab, terutama di mata komentator Barat, karena argumennya yang kontroversial dalam bukunya. Amin menyerukan perubahan sosial dan budaya fundamental di Mesir dan negara-negara Muslim lainnya, yang dianggap sebagai upaya untuk “Eropaisasi” budaya Arab dengan mengangkat isu-isu perempuan. Sayangnya, pendekatan ini justru mengikuti model Barat dan merusak tradisi serta nilai-nilai Arab-Islam yang ada. Ide-ide dalam bukunya, Tarīr al-Mar’ah, tidak membantu memperbaiki kondisi perempuan. Sebaliknya, pemikirannya memicu kontroversi, kemarahan, dan penolakan di kalangan rakyat Mesir. Studi tentang masyarakat Muslim lainnya menunjukkan bahwa meniru ide-ide Barat tanpa kritik tidak pernah memperbaiki kondisi perempuan.[31]

Gelombang modernisasi dan Westernisasi di wilayah Muslim atas nama pembebasan perempuan tidak benar-benar berdasarkan analisis yang mendalam atau pemahaman yang cukup tentang ajaran Islam. Ini lebih terlihat seperti tiruan buta terhadap Barat. Menurut Muhammad Qutb, tidak ada kondisi di masyarakat Muslim yang mengharuskan mereka meninggalkan Islam atau meniru feminisme Barat untuk memperbaiki status perempuan. Upaya menolak Islam dan menerapkan model Barat untuk memperbaiki kondisi perempuan di masyarakat Muslim kemungkinan besar akan gagal dan malah memberikan dampak buruk.[32]

Beberapa feminis modern sering kali mengkritik Islam demi kepentingan feminisme, menunjukkan kecenderungan “Islamofobia berperspektif gender”. Misalnya, penulis feminis Mesir, Nawal Saadawi, menyalahkan semua agama, terutama Islam, atas berbagai masalah sosial, termasuk ketidaksetaraan gender. Dia berpendapat bahwa agama memperlambat kemajuan dalam isu-isu seperti sunat perempuan di Mesir, meskipun praktik ini sebenarnya bukan hanya bagian dari Islam, tetapi juga budaya yang ada di beberapa wilayah Afrika-Arab.[33]

Saadawi juga mengkritik praktik pernikahan di keluarga Arab yang menurutnya sangat patriarkis, di mana anak perempuan seringkali dipaksa menikah dengan pria tua karena alasan finansial. Namun, dia tidak menyebutkan dalam bukunya bahwa dalam Islam, orang tua tidak berhak memaksa anak perempuan mereka menikah.[34] Banyak feminis lain juga sering mencampuradukkan antara ajaran Islam yang sebenarnya dengan praktik budaya lokal, sehingga memperburuk kesalahpahaman.

Penulis feminis lainnya, seperti Irshad Manji dari Kanada dan Ayaan Hirsi Ali dari Somalia, juga keras dalam mengkritik Islam. Manji, yang mengaku sebagai feminis Muslim lesbian, sering menyerukan “reformasi” Islam dan mendapatkan dukungan dari banyak intelektual Barat.[35] Hirsi Ali, yang dulu Muslim dan kini ateis, bahkan lebih keras dalam mengkritik Islam, terutama terkait isu-isu gender. Dalam film Submission yang dia tulis bersama Theo van Gogh, Hirsi Ali menggambarkan Islam sebagai agama yang menindas perempuan, dengan pandangan yang sangat negatif dan generalisasi berlebihan.[36] Karena kritiknya yang sangat keras terhadap Islam, Hirsi Ali sering dibandingkan dengan Salman Rushdie.

Penulis asal Bangladesh, Taslima Nasrin, menggunakan pendekatan feminis yang mirip dengan Saadawi, Manji, dan Hirsi Ali. Dia sering menyalahkan semua agama, terutama Islam, atas penindasan terhadap perempuan. Banyak dari komentarnya tentang Islam, Tuhan, Nabi Muhammad, Al-Qur’an, dan umat Muslim dianggap melampaui batas kritik yang dapat diterima terhadap sebuah keyakinan. Dalam tulisannya, Nasrin kerap menyampaikan pandangan yang menyinggung perasaan umat Muslim. Misalnya, dia pernah menyamakan Islam dengan kobra hitam dan menyarankan untuk “menyapunya” dengan sapu.[37] Dalam sebuah wawancara di BBC TV, dia pernah terlihat merokok sambil memegang Al-Qur’an dan secara terbuka mengkritiknya, yang jelas tidak diterima di masyarakat Muslim.[38]

Nasrin juga menulis sebuah puisi berjudul “Makka-Madina” yang menggambarkan dua gadis yang diperkosa oleh seorang pria yang baru saja pulang dari masjid dengan tasbih di tangannya. Dalam pandangan Nasrin, pelaku pemerkosaan adalah seorang Muslim yang taat.[39] Selain itu, Makka dan Madina adalah dua kota yang sangat dihormati oleh umat Islam, sehingga penggunaan nama tersebut dalam konteks negatif tentu menimbulkan kontroversi. Bukan hanya karena ketidaktahuan, pernyataan Nasrin yang berbau Islamofobia juga dipengaruhi oleh struktur kekuasaan dan sistem nilai yang mendominasi.[40] Mengatakan bahwa semua ini hanya karena ketidaktahuan bisa menutupi fakta bahwa ada unsur prasangka dan kebencian terhadap Islam dalam kritik mereka. Penulis feminis seperti Nasrin sering mendukung revolusi seksual dan ide-ide feminis mereka telah menyebabkan kekacauan sosial serta ancaman balik dari masyarakat.

Catatan Kritis

Dalam menghadapi penindasan terhadap perempuan, menyalahkan Islam atau budaya, kemudian mencari solusi dari ideologi asing yang sekuler, tidak akan membawa masyarakat Muslim ke mana pun. Pendekatan yang lebih baik adalah mengingatkan laki-laki Muslim tentang ajaran Islam yang menekankan keadilan dan kasih sayang terhadap perempuan. Para feminis di masyarakat Muslim perlu membedakan antara Islam sebagai pesan wahyu dan Islam sebagai praktik budaya. Mereka juga harus mengingat bahwa keadilan adalah prinsip utama dalam sistem keyakinan Islam. Penekanan pada keadilan adalah inti dari pesan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, termasuk dalam hal keadilan gender.

Menghina prinsip-prinsip Islam tanpa pemahaman yang mendalam tidak hanya tidak bijaksana dan tidak sopan, tetapi juga tidak produktif dan mengganggu. Hal ini menimbulkan masalah yang tidak perlu di masyarakat dan merusak upaya mulia para cendekiawan dan aktivis yang berjuang untuk keadilan gender.

Selama berabad-abad di Barat, perempuan tidak memiliki hak asasi yang sangat dasar yang sudah dinikmati oleh perempuan Muslim sejak Nabi Muhammad (SAW) mendirikan Islam di Arab. Hak-hak seperti pendidikan, pekerjaan, representasi politik, kepemilikan properti, hak untuk bercerai, dan banyak hak lainnya baru diperoleh perempuan Barat pada abad ke-20. Oleh karena itu, gerakan feminis yang kuat sangat lahir di sana. Namun, karena perbedaan budaya, gerakan feminis tidak mengalami momentum yang sama di dunia Muslim, karena hubungan gender di sana berbeda. Al-Qur’an memberikan hak-hak yang jelas kepada perempuan seperti hak waris, kepemilikan properti sendiri, hak cerai, dan kesaksian di pengadilan. Selain itu, Islam melarang kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, serta menentang paksaan dalam pernikahan atau urusan masyarakat. Pria dan wanita sama-sama diwajibkan menjalankan tugas agama, dan sama-sama bisa dikenakan hukuman atas kesalahan.

Namun, catatan indah tentang pemberdayaan perempuan dalam Islam ini tidak seharusnya membuat umat Islam berpuas diri atau berpikir bahwa masyarakat Muslim sudah bebas dari prasangka dan diskriminasi gender. Setelah Nabi Muhammad (SAW) wafat, ajaran-ajaran Islam mulai tentang keadilan gender semakin ditinggalkan. Ditambah lagi, ketika Islam menyebar ke budaya lain seperti Persia, Bizantium, dan Yunani, umat Muslim mulai mengadopsi beberapa praktik misoginis dari masyarakat tersebut. Ini menyebabkan banyak praktik budaya asing masuk ke dalam tatanan sosial negara-negara Muslim dan mempengaruhi pola pikir serta perilaku orang-orang. Para cendekiawan Islam perlu menangani masalah-masalah ini tanpa menunda.

Pada kesimpulannya, agama Islam bertentangan dengan yang sering digambarkan. Islam sebenarnya sangat menjaga hak-hak perempuan dan mendukung keserasian gender. Keserasian ini, menurut Henri Shalahuddin, adalah buah dari keberagaan dan perbedaan. Masing-masing individu menempatkan dirinya dan berperan sesuai kapasitasnya. Keserasian menggambarkan keharmonisan, kesepadanan, keselarasan dan kesesuian.[41]  Karena itu, hanya kerangka Islam yang praktis dan bisa membawa perubahan positif dalam status perempuan Muslim. Selain itu, mengikuti kerangka Islam berarti kembali ke Al-Qur’an dan sunnah Nabi yang autentik, serta menafsirkannya sesuai dengan tantangan modern, tanpa menyimpang dari prinsip-prinsip dasar Islam seperti keadilan. Adapun gagasan kesetaraan gender yang digaungkan kelompok feminis, sejatinya adalah racun yang dikemas dengan kemasan yang menarik. Gagasan ini belum terbukti menghasilkan keadilan di Barat, lalu kenapa harus di bawa ke sini.[]


[1] Jocelyne Cesari, “Islamophobia in the West: A Comparison between Europe and the United Sates,” in Islamophobia: The Challenge of Pluralism in the 21st Century, ed. J. L. Esposito and I. Kalin (New York: Oxford University Press, 2011), 21–45.

[2] Moten, A. R. (2012). Understanding and ameliorating Islamophobia. Cultura: International Journal of Philosophy of Culture and Axiology, 9(1): 63-71.

[3] Runnymede Trust adalah lembaga pemikir independen di Inggris yang fokus pada kesetaraan ras dan hak sipil. Didirikan oleh Jim Rose dan Anthony Lester, tujuan utama Runnymede adalah menghasilkan inteligensi yang berkaitan dengan masyarakat multi-etnis di Inggris.

[4] Runnymede    Trust.    (1997).    Islamophobia:    A    challenge    for    us    all.    Retrieved  February  15,  2012  from  http://www.runnymedetrust.org/publications/17/32.html.

[5] Annan,  K.  (2004).  Press  release  SG/SM/9637  HR/4802  PI/1627.  Now  York:  United Nations. Retrieved February 15, 2012 from http://www.un.org/News/Press/docs/2004/sgsm9637.doc.htm.

[6] Ho, C. (2007). Muslim women’s new defenders: Women’s rights, nationalism and    Islamophobia    in    contemporary    Australia.    Women’s    Studies    International  Forum,  30,  290-298.  Retrieved  February  15,  2012  from http://uts.academia.edu/ChristinaHo/Papers/971244/Muslim_womens_new_defenders_Womens_rights_nationalism_and_Islamophobia_in_contemporary_Australia.

[7] Gottschalk,  P.  &  G.  Greenberg.  (2008).  Islamophobia:  Making  Muslims  the  enemy. Plymouth: Rowman & Littlefield.

[8] Ho, C. (2007). Muslim women’s new defenders: Women’s rights, nationalism and    Islamophobia    in    contemporary    Australia, 290-298. 

[9] Zine,  J.  (2004).  Anti-Islamophobia  education  as  transformative  pedagogy:  Reflections from the educational front lines. The  American  Journal  of  Islamic Social Sciences, 21(3), 110-119.

[10] Rawi,  M.  (2004,  February  12).  Rule  of  the  rapists.  The  Guardian.  Retrieved  February  15,  2012  from  http://www.guardian.co.uk/world/2004/feb/12/afghanistan.gender.

[11] Ahmed, L. (1992). Women and gender in Islam. New Haven: Yale University Press, 163.

[12] Hasan, M. M. (2005). The orientalization of gender. The American Journal of Islamic Social Sciences, 22(4), 26-56.

[13] Abbas, T. (2004). After 9/11: British South Asian Muslims, Islamophobia, multiculturalism,  and  the  state.  The  American  Journal  of  Islamic  Social  Sciences, 21(3), 29.

[14] Allen,  C.  (2001).  Islamophobia  in  the  media  since  September  11th.  Paper  presented   at   Exploring   Islamophobia:   Deepening   our   understanding   of  Islam  and  Muslims.  University  of  Westminster,  29  September  2001.  Retrieved  February  15,  2012  from  http://www.scribd.com/rshiaty/d/71578290-Islamophobia-in-the-Media-Since-911-Christopher-All-En.

[15] Viner,  K.  (2002,  September  21).  Feminism  as  imperialism.  The  Guardian. Retrieved February 15, 2012 from http://www.guardian.co.uk/world/2002/sep/21/gender.usa?INTCMP=SRCH.

[16] Seneviratne,  T.  &  J.  Currie  (2001).  Religion  and  feminism:  A  consideration  of  cultural  constraints  on  Sri  Lankan  women.  In  D.  M.  Juschka  (Ed.),  Feminism in the study of religion: A reader (198-220). London and New York: Continuum.

[17] Hégy, Pierre, and Joseph Martos, eds. Catholic divorce: The deception of annulments. A&C Black, 2006.

[18] Hassan,  R.  (2007).  Religion,  ethics  and  violence:  Developing  a  new  Muslim  discourse. In B. K. Goldewijk (Ed.), Religion, international relations and development cooperation (161-186). Wageningen: Wageningen Academic Publishers.

[19] Fernea, E. W. (2000). The Muslim women’s movement is discovering its roots in Islam, not in imitating Western feminists. Retrieved October 27, 2011 from http://www.ssc.upenn.edu/~kuhn/temp.

[20] Berkey, J. P. (2003). The formation of Islam: Religion and society in the Near East, 600-1800. Cambridge: Cambridge University Press, 122.

[21] Weeramantry, C. G. (1997). Justice without frontiers: Furthering human rights, vol. 1. London: Kluwer Law International, 129.

[22] Ahmed,  L.  (1982).  Western  ethnocentrism  and  perceptions  of  the  harem.  Feminist Studies, 8(3), 521-534.

[23] Bullock,  K.  (2002). Rethinking  Muslim  women  and  the  veil:  Challenging  historical & modern stereotypes. Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought, xv-xvi.

[24] Butler, G. C. (1960). Kings  and  camels:  An  American  in  Saudi  Arabia.  New  York: Garnet, 16-17.

[25] Gottschalk,  P.  &  G.  Greenberg.  (2008).  Islamophobia:  Making  Muslims  the  enemy. Plymouth: Rowman & Littlefield, 3.

[26] Qasim Amin, adalah salah satu tokoh feminis Mesir dengan corak pemikiran reformis. Ide dan gagasan feminisnya, yang ia tuangkan melalui tulisan-tulisan di artikel dan majalah, yang menuntuk hak-hak dan kesetaraan bagi wanita, dalam bermasyarakat maupun dalam pendidikan.

[27] Huda Sha’rawi adalah seorang pemimpin feminis, suffragette, dan nasionalis Mesir yang lahir pada 23 Juni 1879 di Al-Minyā, Mesir dan meninggal pada 12 Desember 1947 di Kairo. Ia adalah pendiri Persatuan Feminis Mesir dan memainkan peran penting dalam gerakan feminisme awal abad ke-20 serta perjuangan nasional Mesir melawan penjajahan Inggris.

[28] Seperti dikuti oleh El Guindi, F. (2003). Veiling resistance. In R. Lewis & S. Mills (Eds.), Feminist postcolonial  theory:  A  reader  (pp.  586-612).  Edinburgh:  Edinburgh University Press, 598.

[29] El Guindi, F. (2003). Veiling resistance, 592.

[30] El Guindi, F. (2003). Veiling resistance, 593-94.

[31] AbuSulayman, A. A. (1993). The crisis of the Muslim mind. Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought, 10.

[32] Qutb,   M.   (1993).   Islam   the   misunderstood   religion.   Lahore:   Islamic   Publications, 96.

[33] Khaleeli, H. (2010). Nawal El Saadawi: Egypt’s radical feminist. The Guardian, Thursday  15 April  2010.  Retrieved August  7,  2011  from  http://www.guardian.co.uk/lifeandstyle/2010/apr/15/nawal-el-saadawi-egyptian-feminist.

[34] Saadawi, N. (1980). The hidden face of Eve: Women in the Arab world. London: Zed Books, 1980, 71.

[35] Gewen, B. (2008). Muslim rebel sisters: At odds with Islam and each other. The  New  York  Times,  April  27,  2008.  Retrieved  February  15,  2012 from           http://www.nytimes.com/2008/04/27/weekinreview/27gewen.html?pagewanted=all.

[36] Hirsi  Ali,  A.  (2006).  The  caged  virgin:  An  emancipation  proclamation  for  women and Islam. New York: Free Press, 71-72.

[37] Nasrin, T. (2003). Ka. Dhaka: Chardik, 45.

[38] Deen, H. (1999). Broken bangles. New Delhi: Penguin, 53.

[39] Deen,  H.  (2006).  The crescent and the pen: The strange journey of Taslima Nasreen. Westport, CT: Praeger, 128.

[40] Zine,  J.  (2004).  Anti-Islamophobia  education  as  transformative  pedagogy:  Reflections from the educational front lines. The  American  Journal  of  Islamic Social Sciences, 21(3), 110-119.

[41] Shalahuddin, H. (2020), Indahnya Keserasian Gender dalam Islam. Jakarta: INSISTS, 184.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *