Meninjau Ulang Gagasan Liberalisme

Oleh: Adib Fattah Suntoro, M.Ag.

Liberalisme lahir sebagai reaksi terhadap kekuasaan tirani, feodalisme, dan teokrasi yang mengekang masyarakat Barat selama berabad-abad. Perang agama yang terjadi di Eropa pada abad ke-16 dan 17 memicu perubahan besar dalam politik, termasuk penghapusan hak ilahi para raja dan munculnya sistem demokrasi. Kebebasan individu, hak berpendapat, dan pemerintahan berdasarkan hukum menjadi ide pokok yang kemudian menyebar luas.

Namun, meski membawa kemajuan, liberalisme juga berbenturan dengan agama, terutama selama Abad Pencerahan. Agama mulai dilihat sebagai penghalang kemajuan, terutama di bidang sains. Kritikan terhadap pemuka agama Kristen meluas dan kemudian digeneralisasi ke semua agama. Agama dianggap menindas perempuan, mendukung ketidakadilan, dan tidak berpihak pada kaum yang tertindas.

Di Barat, agama sering kali dianggap sebagai sumber konflik, terutama karena sejarah panjang perang antar kelompok Kristen. Sekularisme pun muncul pada abad ke-17 dan 18, yang secara perlahan memisahkan agama dari politik dan sains, membatasi perannya hanya pada ritual dan spiritualitas. Masyarakat Barat kemudian lebih mempercayai humanisme sekular, di mana rasionalitas manusia dijadikan standar untuk menilai segala sesuatu, termasuk agama. Ini menimbulkan tantangan serius bagi umat Islam dalam mempertahankan nilai-nilai agama di tengah arus pemikiran liberal.

Bagi umat Islam, tantangan dari liberalisme cukup besar, terutama terkait ide kebebasan mutlak dan pemisahan agama dari kehidupan publik. Pemikiran liberal sering bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, yang lebih mengutamakan keseimbangan antara hak individu dan kewajiban moral. Oleh karena itu, penting bagi umat Muslim untuk mengkritisi liberalisme, menimbang mana yang membawa maslahat (manfaat) dan mana yang berpotensi menjadi mafsadah (kerusakan) bagi agama dan identitas mereka.

Arti Liberalisme

Liberalisme memiliki berbagai definisi menurut para pemikir yang berbeda. Misalnya, R.G. Collingwood mengartikan liberalisme sebagai kebebasan individu untuk bertindak tanpa paksaan.[1] Leo Strauss memandangnya sebagai hak untuk mengkritik pemerintah,[2] sementara L.T. Hobhouse menganggap liberalisme sebagai metode untuk membangun masyarakat modern yang didasarkan pada kekuatan individu.[3] Secara umum, liberalisme berkembang dari tujuan awalnya untuk melindungi kebebasan manusia dari penindasan, menjadi cara hidup yang seringkali bertentangan dengan nilai agama.

Menurut Michael Freeden, liberalisme memiliki lima aspek utama: pembatasan kekuasaan politik, pasar bebas, perkembangan individu, kesejahteraan negara, dan keberagaman.[4] Perlu dicatat bahwa, seperti yang ditegaskan oleh Michael Freeden, para pemikir liberal sendiri tidak memiliki keseragaman atau kesepakatan mutlak. Beberapa aliran dalam liberalisme menolak konsep negara kesejahteraan, sementara yang lain menentang pluralisme dan toleransi. Bahkan di negara-negara yang mendukung liberalisme, menurut John Rawls, masih terdapat banyak kekurangan yang tidak mencerminkan prinsip keadilan sebagaimana mestinya.[5]

Fawcett dalam bukunya Liberalism: The Life of an Idea menggambarkan bahwa liberalisme adalah konsep yang sulit didefinisikan karena berubah-ubah dan dipahami berbeda oleh berbagai pihak. Meskipun demikian, ia mengemukakan empat gagasan utama liberalisme. Pertama, liberalisme menghargai kebebasan individu tanpa memaksakan tujuan atau aturan moral eksternal, termasuk agama, berbeda dengan konservatisme yang melihat kebebasan individu sebagai ancaman bagi tatanan sosial. Kedua, kaum liberal memandang konflik antar-kepentingan sebagai hal yang tak terhindarkan dan positif, karena dapat memicu kreativitas, berbeda dengan sosialisme yang berusaha menghilangkan konflik. Ketiga, liberalisme curiga terhadap kekuasaan manusia, yang cenderung sewenang-wenang, sehingga perlawanan terhadap kekuasaan dianggap perlu. Keempat, liberalisme melihat perubahan sebagai hal baik dan tak terelakkan, sehingga penguasa harus membatasi campur tangan dalam kebebasan masyarakat.[6]

Dalam bukunya, Fawcett, seperti banyak sarjana Barat lainnya, melakukan kesalahan besar dengan menyamakan Islam dengan fasisme, komunisme, dan otoritarianisme sebagai lawan liberalisme. Dia menyebut sistem politik Islam sebagai “Islamisme teokratis,” yang tampaknya merujuk pada negara-negara seperti Iran, di mana pemimpin agama memegang kekuasaan dan memaksakan Islamisasi. Pemahaman Fawcett tentang Islam tampak dangkal, hanya berdasarkan pandangan media dan buku-buku populer. Jika dia meneliti lebih dalam, dia akan menyadari perbedaan antara aliran politik di Iran dan pemikiran Sunni yang dianut mayoritas umat Islam, sehingga praktik politik di negara-negara tersebut tidak bisa dianggap mewakili pemikiran politik Islam secara keseluruhan. Islam tidak dapat dikategorikan sebagai sistem teokratis atau otoritarian sebagaimana sering digambarkan oleh para orientalis.[7]

Istilah liberty dan freedom berarti kebebasan alami manusia, yaitu tidak terikat oleh belenggu buatan manusia. Dalam pandangan liberalisme, ini adalah kebalikan dari perbudakan dan penindasan. Namun, Islam mengajarkan bahwa manusia secara vertikal tetap hamba Tuhan, dan kebebasan dari-Nya tidak mungkin dicapai karena manusia berutang keberadaannya kepada Tuhan. Oleh karena itu, seorang Muslim hanya bisa menerima kebebasan secara literal dalam konteks hubungan antar manusia, bukan dengan Tuhan. Sementara itu, liberalisme dalam sejarahnya merupakan produk budaya Barat yang menekankan kebebasan sebagai prinsip utama. Encyclopaedia Britannica mendefinisikan liberalisme sebagai “kepercayaan, filosofi, dan gerakan yang berkomitmen pada kebebasan sebagai metode dalam pemerintahan, prinsip dalam masyarakat, dan cara hidup.”[8] Singkatnya, liberalisme bukan hanya ideologi politik, tetapi juga pandangan hidup yang membentuk masyarakat Barat. Sebagian prinsipnya mungkin selaras dengan nilai-nilai tertentu, sementara yang lainnya bertentangan dengan pandangan Islam.

Tokoh-Tokoh Liberalisme

Liberalisme, sebagai suatu aliran pemikiran, telah melalui perjalanan panjang yang melibatkan sejumlah tokoh penting dalam sejarah. Salah satu yang paling berpengaruh adalah René Descartes (1596-1650). Meskipun bukan pengasas liberalisme, Descartes memainkan peranan penting dalam membangun dasar modernisme dan sekularisme di Barat. Pemikirannya yang terkenal, cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada), menjadi titik awal pergeseran fokus dari metafisika yang berpusat pada Tuhan (theocentric) kepada manusia (anthropocentric).[9] Dalam konteks ini, manusia menjadi pengukur kebenaran, yang secara bertahap menggantikan peranan agama dengan akal budi.

Falsafah Descartes mempromosikan sikap keraguan dan skeptisisme. Hal ini membuka jalan bagi sekularisme yang berupaya membebaskan manusia dari pengaruh otoritas Tuhan dan Gereja. Dua unsur penting dalam pemikiran ini adalah dualisme, yang menyoroti perbedaan antara jasad dan akal, serta perbedaan antara sains dan agama. Harvey Cox mendefinisikan sekularisme sebagai pembebasan manusia dari kendali religius dan metafisik atas akal dan bahasanya.[10] Dalam hal ini, terdapat hubungan yang kuat antara liberalisme dan sekularisme.

Beranjak ke generasi selanjutnya, John Locke (1632-1704) sering disebut sebagai Bapa Liberalisme. Ia adalah tokoh yang pertama kali memperkenalkan ide pemerintahan terbatas, hak-hak alami, dan konstitutionalisme. Salah satu pemikirannya yang paling menonjol adalah pemisahan antara agama dan negara, yang menandai langkah awal sekularisasi dalam dunia politik. Locke berpendapat bahwa kekuasaan pemerintah sipil hanya berkaitan dengan kebaikan duniawi, bukan urusan akhirat.[11]

Liberalisme klasik yang dicanangkan oleh Locke muncul sebagai respons terhadap sistem politik yang absolut dan tidak toleran. Meskipun ide pemerintahan terbatas dan konstitusionalisme sejalan dengan prinsip-prinsip politik dalam Islam, pandangan Locke mengenai orang-orang asli Amerika yang dianggap seperti binatang dan layak dibunuh menunjukkan sisi kontroversial dari pemikirannya.[12]

Menarik untuk dicatat bahwa ide-ide awal Locke terinspirasi oleh peradaban Islam. Konsep-konsep seperti toleransi beragama, hak atas kepemilikan, penolakan terhadap hak ketuhanan raja (divine right of kings), dan kesetaraan manusia sudah dibahas oleh para sarjana Islam seperti Abu Yusuf, al-Mawardi, dan al-Ghazali jauh sebelum Locke muncul. Meskipun ide-ide ini berkembang di Barat, pandangan sekular dan liberal yang muncul sering kali bertentangan dengan ajaran Islam dan prinsip-prinsip religius secara umum.[13]

Memasuki abad ke-18, zaman Pencerahan membawa perubahan dramatis dalam liberalisme. Pemikir-pemikir seperti Voltaire (1694-1778) mulai mengembangkan skeptisisme terhadap otoritas, termasuk agama. Voltaire bahkan mendukung kebebasan moral, termasuk kebebasan seksual, yang dianggapnya sebagai faktor pendorong kemajuan ekonomi.[14] Voltaire menegaskan pentingnya kebebasan berbicara dalam artikelnya Liberty of the Press, dengan menyatakan bahwa setiap orang berhak mengatakan apa saja tanpa batasan, meskipun hal itu bisa menimbulkan kekacauan. Pandangan ini mempengaruhi gaya penerbitan seperti Charlie Hebdo, yang merasa berhak menghina siapa saja, termasuk agama, Tuhan, dan Nabi Muhammad ṣalla’Llāh ‘alayhi wa sallam, atas nama kebebasan berbicara.[15]

Selanjutnya ada David Hume (1711-1776), seorang pemikir skeptis lainnya, semakin memperdalam kritik terhadap agama. Ia berargumen bahwa Tuhan tidak dapat dipahami oleh akal manusia dan mempertanyakan keberadaan Tuhan serta hubungan antara moralitas dan agama. Bagi Hume, moralitas bersifat alami dan tidak tergantung pada agama.[16]

Melanjutkan gagasan Hume, Immanuel Kant mulai membahas kebebasan manusia dari pengawasan moral yang diberikan oleh agama. Dalam esainya “What is Enlightenment?”, Kant menekankan perlunya manusia untuk berani menggunakan akalnya sendiri tanpa arahan dari siapa pun, termasuk Tuhan. Ia percaya bahwa kebenaran hanya dapat dicapai melalui pengalaman manusia dan bahwa hal-hal yang tidak dapat dibuktikan secara empiris tidak layak dianggap sebagai kebenaran.[17]

Pengaruh liberalisme semakin meluas dengan munculnya John Stuart Mill. Mill, yang dikenal dengan aliran utilitarianisme, mendefinisikan kebahagiaan sebagai pencapaian kesenangan. Menurutnya, setiap individu harus memiliki kebebasan untuk melakukan apapun yang membawa kesenangan, bahkan jika itu berisiko merugikan dirinya sendiri. Dalam bukunya “On Liberty,” Mill menekankan bahwa individu bebas untuk bertindak, asalkan tidak merugikan orang lain. Pemikiran ini memisahkan urusan pribadi dan publik, meskipun menimbulkan kebingungan moral.[18]

Konsep tanggung jawab negara menurut Mill adalah menjamin hak individu untuk mencapai kebahagiaan tanpa campur tangan, kecuali jika tindakan tersebut dapat membahayakan orang lain.[19] Akhirnya, pemikiran ini membuka pintu bagi praktik-praktik kontroversial seperti perjudian dan hak-hak LGBT di Barat, yang kini dianggap sebagai urusan pribadi. Sayangnya, beberapa pemikiran ini mulai meresap dalam masyarakat Muslim, di mana sejumlah individu beranggapan bahwa tindakan seperti zina dan minum alkohol adalah urusan pribadi yang tidak perlu dicampuri oleh otoritas.

Dalam konteks Islam, terdapat konsep pertanggungjawaban individu di mana setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di hadapan Allah. Ini menunjukkan bahwa setiap perbuatan, baik atau buruk, tetap berdampak pada orang lain. Meskipun liberalisme sering kali mengabaikan aspek religius, prinsip-prinsip Islam telah membahas hak dan tanggung jawab sosial jauh sebelum gagasan liberal muncul.[20]

Meskipun terdapat aspek positif dalam gagasan liberal, seperti pemerintahan terbatas dan kedaulatan hukum, penting bagi umat Islam untuk menyadari bahwa banyak ide yang diangkat oleh tokoh-tokoh Barat sebenarnya telah ada dalam pemikiran Islam jauh sebelumnya. Dalam liberalisme, baik dalam urusan publik maupun pribadi, agama sering kali diabaikan. Agama seringkali dianggap sebagai urusan individu yang tidak perlu dicampuri dalam konteks sosial. Lebih jauh lagi, pemikiran-pemikiran yang diusung oleh tokoh-tokoh liberal sering kali mengabaikan norma moral dan nilai-nilai religius, yang berdampak pada keruntuhan moral masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada kemiripan antara beberapa prinsip liberal dan Islam, tidak dapat dipungkiri bahwa pandangan liberal sering kali bertentangan dengan ajaran Islam yang lebih holistik.

Islam dan Liberalisme

Liberalisme adalah kelanjutan dari sekularisme, di mana seseorang yang menganut liberalisme biasanya telah menerima ide-ide sekuler. Sekularisme tidak hanya memisahkan agama dari politik, tetapi juga mengubah cara pandang seseorang terhadap moralitas dan kebenaran. Dalam pandangan sekular, manusia memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa bimbingan Tuhan. Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, ini mengurangi sifat transendental manusia dan menekankan aspek materialistik, sehingga manusia tidak perlu tunduk pada otoritas agama.[21]

Kerusakan akibat sekularisme dan liberalisme sangat besar, terutama dalam pemikiran dan nilai-nilai moral. Usaha untuk memisahkan alam dari Tuhan dan menafikan sistem nilai agama telah menciptakan kekacauan dalam kehidupan manusia. Terkait hal ini Syed Muhammad Naquib al-Attas menyimpulkan bahwa tantangan terbesar yang muncul di zaman kita bukanlah pertarungan antara pengetahuan dan kebodohan, melainkan pengetahuan yang dipahami dan disebarluaskan oleh peradaban Barat. Pengetahuan ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah, telah menciptakan kekacauan di tiga unsur alam: hewan, tumbuhan, dan mineral.[22]

Sebagai kelanjutan dari sekularisme, liberalisme bertujuan untuk memperkuat proses sekularisasi yang dimulai sejak era Pencerahan. Dasar liberalisme adalah sekularisme, yang menekankan pemisahan antara agama dan negara, wahyu dan akal, serta dunia dan akhirat. Dalam konteks ini, kaum sekular dan liberal di kalangan umat Islam sering mengutamakan akal dan melakukan tafsir bebas terhadap Al-Qur’an dan hadis sesuai dengan ideologi mereka. Kebebasan dijadikan nilai tertinggi, yang melahirkan gerakan seperti LGBTQ, feminisme, dan hak asasi manusia, sering kali mengabaikan ajaran agama. Bagi mereka, semua otoritas, termasuk Tuhan dan kitab suci, dapat dikritik. Rujukan kepada karya-karya ulama besar dianggap sebagai langkah mundur. Sebagai kesimpulan, secara tegas kita harus katakan bahwa liberalisme bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Meskipun ada beberapa nilai positif, dampak negatifnya jauh lebih besar. Umat Islam seharusnya tidak mengikuti ide-ide yang berasal dari pengalaman sejarah Barat, terutama yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam Islam, kebebasan individu dihormati, tetapi harus dibatasi oleh prinsip agama. Islam juga mengedepankan penghormatan terhadap otoritas yang memiliki legitimasi dan mengutamakan keharmonisan dalam masyarakat.[]


[1] R.G. Collingwood, “Introduction,” dalam The History of European Liberalism, ed. G de Ruggiero (Boston: Beacon Press, 1959), vii

[2] Leo Strauss, Liberalism (New York: Basic Books, 1968), vi.

[3] L.T. Hobhouse, Liberalism (London: Williams and Norgate, 1911), 46- 47, 128.

[4] Michael Freeden, Liberalism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2015), 13.

[5] John Rawls, Lectures on the History of Political Philosophy, ed. Samuel Freeman (Cambridge MA: Harvard Univ. Press, 2007), 11.

[6] Edmund Fawcett, Liberalism: The Life of an Idea (New Jersey: Princeton University Press, 2014), 2

[7] Khalif Muammar A. Harris, “Islam dan Liberalisme: Antara Maṣlaḥah dan Mafsadah: Islam and Liberalism: Between Benefit and Harm.” Afkar: Jurnal Akidah & Pemikiran Islam 20, no. 2 (2018): 1-52.

[8] Encyclopaedia Brittanica, (1963), 13: 988-991

[9] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 33

[10] Harvey Cox, The Secular City (New York: Collier Books, edisi ke 25, 1990), 1.

[11] John Locke, A Letter Concerning Toleration (Oxford: Clarendon Press, 1968), 71.

[12] Dominico Losurdo, Liberalism: A Counter-History (London: Verso, 2014, diterbitkan pertama kali pada 2011), 24-25. Beliau merujuk kata-kata John Locke dalam Two Treatises, 122.

[13] Khalif Muammar A. Harris, “Islam dan Liberalisme…”, 1-52.

[14] Shank, J.B., “Voltaire”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2015 Edition), ed. Edward N. Zalta, http://plato.stanford.edu/archives/fall2015/entries/voltaire/>.

[15] Khalif Muammar A. Harris, “Islam dan Liberalisme…”, 1-52.

[16] David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. D. Coleman (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 10.34/201

[17] Immanuel Kant, “An Answer to the Questions: ‘What is Enlightenment?”. Trans. H.B. Nisbet. Kant’s Political Writings (Cambridge University Press, 1970), 54-60.

[18] John Stuart Mill, On Liberty (London: Longman, Green, t.t.), 22.

[19] John Stuart Mill, On Liberty, Utilitarianism and Other Essays (Oxford: Oxford University Press, 2015), 13.

[20] Khalif Muammar A. Harris, “Islam dan Liberalisme…”, 21.

[21] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 38

[22] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme,.. 133.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *