Oleh Anisah Maryam[1]
Pada Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79, terdapat peristiwa yang membuat kita menyadari bahwa bangsa Indonesia belum merdeka seutuhnya. Delapan belas orang Muslimah anggota Paskibraka Nasional tidak mendapatkan kebebasannya. Mereka diketahui terbiasa berjilbab, tetapi tampak tidak mengenakan jilbab pada acara pengukuhan di Istana Negara yang diselenggarakan pada tanggal 13 Agustus 2024 lalu.[2] Ada klaim yang menyatakan bahwa mereka melakukan hal tersebut secara sukarela, namun hal tersebut mengundang banyak pertanyaan masyarakat.
Klaim tersebut dilakukan oleh Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi. Dalam jumpa persnya yang disiarkan langsung oleh CNN Indonesia TV, ia mengatakan, “BPIP memahami aspirasi masyarakat. BPIP menegaskan tidak melakukan pemaksaan lepas jilbab. Penampilan Paskibraka putri dengan mengenakan pakaian, atribut, dan sikap tampang sebagaimana terlihat pada tugas kenegaraan, yaitu pengukuhan Paskibraka adalah kesukarelaan mereka dalam rangka mematuhi peraturan yang ada.”
Aturan seragam Paskibraka Nasional yang tercantum pada Surat Keputusan BPIP No. 35 tahun 2024 berbunyi sebagai berikut: (1) Menetapkan standar pakaian, atribut, dan sikap tampang Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini; (2) Standar pakaian, atribut, dan sikap tampang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU wajib dipedomani dalam: (a) pengukuhan Paskibraka, dan (b) pelaksanaan tugas Paskibraka dalam upacara bendera pada acara kenegaraan dan acara resmi.
Pernyataan pers Ketua BPIP mengklaim bahwa sejumlah anggota Paskibraka Nasional tersebut melepas jilbab mereka dengan sukarela karena sudah menandatangani surat perjanjian bermaterai. Tentu saja hal ini menjadi perdebatan yang cukup tajam di masyarakat. Secara tidak langsung, penandatangan surat bermaterai tersebut merupakan bentuk tekanan dan unsur pemaksaan.
Perlu ditegaskan bahwa hukum merupakan adat/peraturan yang sifatnya mengikat dan dikukuhkan oleh pemerintah serta penguasa. Peraturan/UU mempunyai fungsi untuk mengatur pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat. Konsekuensi yang didapat jika peraturan/hukum tidak dipatuhi adalah terkena sanksi, baik berupa denda maupun penjara. Sementara unsur-unsur hukum berupa penegakan hukum bersifat memaksa dan mengharuskan masyarakat untuk mengikutinya serta ditetapkan oleh lembaga yang berwenang.[3]
Pada dasarnya, setiap aturan memiliki sifat memaksa. Aturan BPIP tersebut memaksa secara tidak langsung sebab tidak memberi pilihan lain, hanya mengakomodasi satu tampilan jenis seragam, tidak mengakomodasi pengguna jilbab.
Peraturan merupakan bentuk lain dari pemaksaan yang merupakan salah satu satu unsur hukum. Penegakan hukum memang bersifat memaksa.[4] Aturan dibuat untuk ditaati. Jika aturan tersebut tidak ditaati, maka pelakunya akan mendapatkan sanksi. Dengan adanya aturan baru yang memaksa untuk tidak menggunakan jilbab sebagai standar seragam anggota Paskibraka Nasional, maka aturan serupa juga mungkin diterapkan di daerah-daerah.
Jelas, perubahan ini bukanlah perubahan yang baik karena membakukan aturan seragam tanpa jilbab memaksa seseorang harus memilih antara mempertahankan jilbabnya atau menjadi seorang anggota Paskibraka Nasional. Padahal, perkara jilbab ini bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan atau dilarang.
Adapun kesukarelaan merupakan sesuatu yang dilakukan atas kesadaran diri dan tidak ada konsekuensi yang diterima jika tidak melakukan hal tersebut karena bukan bagian dari kewajiban.[5] Definisi kesukarelaan dengan kondisi yang terjadi pada kasus aturan seragam Paskibraka Nasional tidak memenuhi syarat karena adanya aturan yang mengikat anggota Paskibraka Nasional, sehingga itu tidak termasuk bentuk kesukarelaan.
Beberapa pertanyaan kemudian muncul di masyarakat, apa sebetulnya maksud dari adanya peraturan tentang standar pakaian, atribut, dan sikap tampang Paskibraka yang menyebabkan 18 orang Muslimah tersebut harus melepas jilbabnya? Mengapa dibentuk aturan yang demikian?
Yudian menjelaskan bahwa aturan tersebut bertujuan untuk bersatu dalam keberagaman, maka ditekankan untuk seragam. “Karena memang ‘kan dari awal Paskibraka itu uniform (seragam), dia (anggota Paskibraka yang berhijab) bertugas sebagai pasukan yang menyimbolkan kebersatuan dalam kemajemukan,” ujar Yudi.[6]
Tujuan aturan tersebut dianggap kurang sinkron dengan wujud aturan yang dibentuk. Apa yang dimaksud dengan majemuk? Majemuk dengan keberagamaan penduduk Indonesia lalu dipersatukan dengan satu format seragam? Justru pernyataan tersebut kontradiktif karena majemuk merupakan keberagaman suku, agama, dan ras. Keberagaman agama memiliki konsekuensi mengikuti aturan beragama. Dalam Islam, seorang Muslimah diwajibkan berjilbab. Meniadakan konsekuensi memeluk agama beserta aturan yang menyertainya bisa dikatakan intoleran. Intoleransi tersebut tampak pada tidak adanya pilihan menggunakan jilbab atau tidak dalam SK BPIP No. 35 tahun 2024.
Sedangkan kebersatuan dengan aturan tampang seragam Paskibraka yang hanya satu format memungkinkan terjadinya reduksi atas makna kebersatuan itu sendiri. Padahal, instumen untuk membentuk kebersatuan anggota Paskibraka dapat dirancang dengan cara yang lain, seperti kebersatuan komando baris-berbaris yang dilihat dari formasi gerakan yang padu, balutan seragam putih beserta penataan warna atributnya, sehingga antara yang berjilbab dengan yang tidak masih terlihat senada.
Kebersatuan seragam seolah-olah menjadi yang utama di atas kebhinnekaan yang ada. Perbedaan agama beserta turunannya harus tunduk pada kebersatuan seragam dalam aturan standar sikap tampang Paskibraka yang ditetapkan oleh BPIP. Sementara kebersatuan yang harusnya diusung adalah persatuan yang tidak menjadi masalah bagi perbedaan yang ada. Persatuan itu menghajatkan adanya toleransi atas perbedaan yang ada. Sebab, terdapat prinsip dari masing-masing agama yang tidak bisa dipersatukan. Ini bisa dikatakan sebagai tindakan menyalahi aturan negara, bahkan itu bentuk dari ketidaktaatan terhadap Pancasila.
“Kesakralan” seragam yang hendak ditampilkan oleh BPIP tidak sejalan dengan sakralnya Pancasila. Konsekuensi logis dari sila pertama adalah taat kepada aturan agama dan tidak meninggalkan agama dalam peran apa pun. Bahkan, identitas keagamaan merupakan identitas warga negara yang baik yang seharusnya menyatu dan tidak dipertentangkan dengan seragam. Aturan melepas jilbab justru menandakan pandangan BPIP yang menganggap sikap nasionalis tidak bisa disatukan dengan ketaatan pada agama.
Jika merunut rekam jejak Ketua BPIP, pernyataan tersebut akan terlihat arahnya. Pada Februari 2020 silam, Yudian membuat pertanyaan bahwa “agama adalah musuh terbesar Pancasila”. Ini menyiratkan adanya posisi seteru antara agama dan Pancasila dalam pandangan penentu arah BPIP tersebut. Maka, jilbab pun dianggap bertentangan dengan Pancasila. Ia berpandangan jilbab sebagai simbol agama perlu terpisah dari upacara kenegaraan. Kebijakan ini jelas bernapas sekuler yang kental.
Sebelumnya, hingga tahun 2021, Paskibraka Nasional berada di bawah naungan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) RI. Sejak tahun 2022 kewenangannya dialihkan pada BPIP dan masih mengakomodasi penggunaan jilbab dengan bentuk ciput bagi Paskibraka Nasional. Namun, pada tanggal 1 Juli 2024, BPIP menghapus penggunaan ciput hingga tidak lagi mengakomodasi penggunaan jilbab. Hal ini cukup mengejutkan, sebagaimana pernyataan Irwan Indra, Pengurus Pusat (PP) Purna Paskibraka Indonesia (PPI), bahwa masalah ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah Paskibraka.[7]
Ada pula problem sampingan yang mencuat, yaitu penandatanganan surat bermaterai yang dilakukan oleh anak di bawah umur berpotensi melanggar UU Perlindungan Anak, seperti disampaikan oleh Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Diyah Puspitarani. “Anak sebenarnya tidak melakukan consent, apalagi bermaterai,”[8] ungkapnya.
Surat pernyataan bermaterai untuk menyetujui standar seragam, atribut, dan sikap tampang Paskibraka Nasional tersebut juga tanpa sepengetahuan orang tua yang menyebabkan kekecewaan mereka. Ekspresi kesedihan tersebut dinyatakan oleh Linda Suronoto, ibu dari Siti Janeeta Abdul Wahab, Paskibraka putri dari Gorontalo ketika melihat putrinya tidak mengenakan jilbab pada seremoni pengukuhan Paskibraka Nasional. “Sebagai orang tua, saya merasa bangga melihat anak saya sudah dikukuhkan. Akan tetapi, ketika melihat dia tidak menggunakan jilbab di depan umum, saya kaget dan kecewa.”[9]
Lebih lanjut, ia mengkritisi pelepasan jilbab tersebut agar tidak menjadikannya standar nasionalisme seseorang. Linda mengungkapkan bahwa putrinya sudah menggunakan jilbab sejak sekolah dasar (SD) dan terus konsisten berkerudung kecuali saat berada di rumah. Ia juga menuturkan, kesempatan ini adalah kesempatan emas karena impian putrinya untuk menjadi anggota Paskibraka sudah sejak lama dimiliki.
Aturan pelepasan jilbab ini merupakan bentuk dari sekularisme, terlihat dari bagaimana menegasikan aturan agama dan penolakan terhadap aturan agama yang diutarakan oleh Prof. Yudian Wahyudi selaku Ketua BPIP. Implikasinya adalah menegasikan identitas Muslim dalam kehidupan bernegara. Jika hendak menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) yang baik, maka hendaknya seseorang tidak memegang identitas keagamaan (identitas keislaman).[10]
Pola pikir dualisme ini tidak mencerminkan Pancasila yang integral dan utama jika mengacu pada sila pertama Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa). Menghadap-hadapkan antara identitas keindonesiaan dan keislaman menjadi hawa panas yang berhembus di kehidupan bernegara bangsa Indonesia ini. Ini menimbulkan kegaduhan di masyarakat hingga terjadi disharmoni akibat dari aturan BPIP yang bernpas secular tersebut.
Akhirnya, dengan berbagai respons kritis masyarakat dan atas izin Allah, SK BPIP No. 35 tahun 2024 pun dicabut. Pada upacara pengibaran Bendera Merah Putih tanggal 17 Agustus 2024, ke-18 orang Muslimah tersebut dapat mengenakan jilbab mereka. Jadi, perlu ada kepekaan atas aturan-aturan yang berlaku untuk memastikan bahwa keberislaman kita tetap tegak sebagai bukti kemerdekaan paripurna di Bumi Pertiwi tercinta ini. am
[1] Mahasiswi Magister Akidah dan Filsafat Islam Universitas Darussalam Gontor
[2] https://nasional.tempo.co/read/1904777/4-fakta-kasus-pelepasan-jilbab-anggota-paskibraka-pada-pengukuhan-dan-pengibaran diakses pada 20 Agustus 2024
[3] Sri Warjiyati, Memahami Dasar Ilmu Hukum Konsep Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), 31, https://core.ac.uk/download/pdf/304686433.pdf.
[4] Warjiyati, 31.
[5] https://kbbi.web.id/sukarela diakses pada 20 Agustus 2024.
[6] https://www.antaranews.com/berita/4260055/bpip-lepas-hijab-paskibraka-demi-keseragaman
[7] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240814170825-20-1133053/aturan-seragam-paskibraka-diteken-bpip-1-juli-tak-ada-soal-jilbab
[8] https://www.instagram.com/p/C-r7rCtNgdr/?igsh=ejB3dTZiam5lZ2Ew&img_index=1
[9] https://www.bbc.com/indonesia/articles/c1l5md4gjq7o
[10] https://www.bbc.com/indonesia/articles/c1l5md4gjq7o
Sumber foto: simpulrakyat.co.id