Oksidentalisme vis-à-vis Orientalisme

Oleh: Adib Fattah Suntoro, M.Ag

Setelah Edward Said menerbitkan Orientalism pada tahun 1978, kajian akademis tentang Barat (Occident) mulai mendapatkan signifikasinya. Dalam bukunya, Said menjelaskan bagaimana pandangan masyarakat Eropa yang salah tentang Timur, yaitu dianggap sebagai lawan dari Barat atau “the others” (yang lain).[1] Timur seringkali hanya menjadi objek kolonisasi Barat, penuh dengan generalisasi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Lebih dari itu, penelitian Barat tentang Timur sering kali memberikan kesan bahwa Barat merasa lebih unggul (superior), dan ini kemudian memicu reaksi dari Timur.

Respons ini, yang dikenal sebagai studi oksidental (kemudian disebut oksidentalisme), muncul sebagai jawaban terhadap pandangan orientalis Barat. Meskipun istilah ini tidak banyak digunakan secara resmi hingga kemudian, ide tentang oksidentalisme—yakni pandangan Timur terhadap Barat dan kritik terhadap konstruksi ideologis Barat—mulai mendapatkan perhatian seiring dengan perkembangan studi postkolonial dan globalisasi.[2] Oksidentalisme mulai dikenal secara akademis setelah Hasan Hanafi, Hasan Hanafi, seorang pemikir Muslim asal Mesir dan intelektual liberal, memperkenalkan istilah oksidentalisme pada tahun 1991 dalam bukunya Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istigrab. Ia menggunakan wacana ini untuk menanggapi pandangan Barat terhadap Timur, khususnya Islam.[3] Ini menandakan, bahwa studi ini belum cukup lama berkembang, berbeda denga orientalisme yang telah melewati proses perkembangan selama beberapa abad hingga kini.

Sebagian sarjana memandang bahwa perbedaan utama antara orientalisme dan oksidentalisme terletak pada tujuan mereka; oksidentalisme tidak berusaha membalikkan posisi dikotomis “superioritas” dan “inferioritas”, tetapi lebih fokus pada bagaimana mempromosikan budaya Timur sambil menolak stereotip Barat tentang Timur. Meski begitu, membalikkan posisi Timur sebagai “subyek” dan Barat sebagai “obyek” merupakan bagian dari proses membersihkan Timur dari pengaruh stereotip Barat.[4]

Ulasan berikut ini akan menyoroti bagaimana oksidentalisme lahir sebagai respons atas orientalisme, utamanya dalam konteks studi Islam. Dimulai dengan analisis etimologis dan terminologis dari istilah oksidentalisme, serta telaah historis bagaimana studi ini muncul dan berkembang. Harapannya ulasan ini dapat menonjolkan urgensi oksidentalisme dalam studi Islam kontemporer.

Definisi Oksidentalisme

Secara etimologis, kata “occident” berasal dari bahasa Latin “occidens“, yang berarti “arah matahari terbenam”. Istilah ini diturunkan dari kata kerja Latin “occido” atau “occedo“, yang berarti “menurun” atau “terbenam”. Secara umum, “occident” memiliki berbagai arti yang meliputi turun, memukul, membunuh, menghancurkan, jatuh, terbenam, senja, dan secara khusus merujuk pada wilayah Barat, terutama Eropa dan Amerika. Dalam konteks ini, istilah “occidental” digunakan untuk menggambarkan segala sesuatu yang berkaitan dengan “occident“, termasuk kebudayaan, bangsa, penduduk, ide, pandangan hidup, dan tingkah laku yang berasal dari atau berhubungan dengan Barat. Dengan demikian, “occidental” merujuk pada aspek-aspek yang memiliki keterkaitan dengan dunia Barat, baik dari segi budaya maupun sudut pandang.[5]

Dalam Collins Dictionary disebutkan bahwa istilah occidentalism merujuk pada karakter, budaya, adat, dan aspek-aspek lain yang terkait dengan Occident, atau dunia Barat.[6] Menurut Merriam-Webster Dictionary, occidentalism adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan ciri-ciri khas masyarakat atau budaya Barat, mencakup aspek-aspek seperti nilai, tradisi, dan adat-istiadat yang dianggap mewakili dunia Barat. Istilah ini pertama kali dikenal pada tahun 1839 dan sering digunakan dalam diskusi yang membandingkan atau mengontraskan Barat dengan budaya-budaya lain, terutama dalam konteks analisis budaya, politik, atau perbandingan antarperadaban.[7]

Istilah “oksidentalisme” dalam bahasa Arab dikenal sebagai “al-istighrab“. Istilah ini berakar pada kata “gharbi” (غرب) yang berarti “Barat”. Oleh karena itu, istilah “Westernization” atau westernisasi adalah “taghrib” (تغريب). Berbeda dengan itu, oksidentalisme adalah “istighrab” (إستغراب), sehingga dapat disimpulkan bahwa oksidentalisme memiliki makna yang berbeda dari westernisasi dalam bahasa Arab. Al-istighrab merupakan antonim dari “al-Istishraq” atau orientalisme, yang berakar dari kata “syarq” atau Timur.[8] Istilah ini dimunculkan dalam ruang akademik oleh Hassan Hanafi, yang menggunakan istilah ilmu Oksidentalisme (ilm al-Istigrab) sebagai sebuah paradigma dan kerangka ilmiah. Dalam bukunya Muqaddimah fi‘ Ilmi al-Istighrab, Hasan Hanafi memperkenalkan oksidentalisme sebagai tandingan dari orientalisme. Oksidentalisme dirancang sebagai kajian yang memfokuskan pada Barat sebagai objek studi, mencakup aspek-aspek seperti perkembangan, budaya, tradisi, dan struktur Barat.[9] Dari tinjauan ringkas ini dapat disimpulkan bahwa istilah oksidentalisme dimaksudkan sebagai kajian kritis terhadap budaya Barat yang muncul sebagai respons terhadap dominasi dan representasi Barat atas Timur.

Penelitian terhadap literatur terkait menunjukkan bahwa tidak ada kesepakatan universal mengenai definisi oksidentalisme secara termnologis. Abdullah Metin, dalam Occidentalism: An Eastern Reply to Orientalism, mengklasifikasikan definisi oksidentalisme ke dalam tiga kategori: pertama, sebagai studi tentang Barat oleh Timur; kedua, sebagai refleksi dari permusuhan terhadap Barat; dan ketiga, sebagai jawaban atas pertanyaan “Bagaimana nilai-nilai Barat dapat dikembangkan dan diadopsi?” Lebih lanjut Metin menjelaskan bahwa pendapat pertama menekankan dimensi wacana dan ilmiah dari oksidentalisme, dengan tujuan utama untuk menyelamatkan Timur dari dominasi epistemologis oleh Barat. Ini artinya, oksidentalisme adalah upaya de-westernisasi dan de-modernisasi agar Timur dapat mempertahankan identitasnya, serta menetapkan batas-batas (red lines) dalam hubungan Timur-Barat. Sedangkan pendapat kedua menganggap oksidentalisme sebagai ungkapan kebencian terhadap Barat. Oleh karena itu Barat diposisikan sebagai “yang lain” baik secara ontologis maupun atributif. Adapun pendapat ketiga terbagi menjadi dua kelompok. Pertama,  kelompok pendukung Barat yang melihat oksidentalisme sebagai disiplin yang mengembangkan nilai-nilai Barat. Kelompok kedua yang condong pada Timur, melihat nilai-nilai Barat sebagai pusat yang mendominasi, sehingga oksidentalisme dianggap sebagai upaya Timur untuk menggunakan sumber daya pembenahan diri guna mengatasi ketidakseimbangan ini. Menurut pendekatan ini, Barat saat ini menduduki posisi sentral dan Timur berada di posisi pinggiran; jika Timur ingin menjadi pusat di masa depan, maka Timur harus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai pusat tersebut.[10] Dengan demikian, oksidentalisme bisa didefinisikan sebagai studi tentang berbagai aspek Barat dengan tujuan untuk bebas dari dominasi Barat, yang dilandasi  perlawanan terhadap Barat, sekaligus sebagai usaha untuk mencapai posisi dominan yang sebelumnya dihegemoni oleh Barat.

Perkembangan Oksidentalisme  sebagai Antitesis Orientalisme          

Tamara Silvia Wagner, Profesor Madya Sastra Victoria di Nanyang Technological University, dalam Occidentalism: Edward Said’s Legacy for the Occidentalist Imaginary and its Critique, menyoroti  bahwa yang paling menarik dari pembahasan oksidentalisme adalah mencari tahu dari mana asalnya. Banyak orang bertanya-tanya apakah oksidentalisme adalah hal baru yang muncul sebagai tanggapan terhadap orientalisme, atau apakah ia sudah ada sejak dulu sebagai cara melihat “diri” (self) dan “yang lain” (the others). Ada juga pertanyaan tentang apakah oksidentalisme muncul setelah orientalisme sebagai cerminan balik, atau ia berkembang secara terpisah. Ia menyatakan bahwa jika oksidentalisme memang muncul secara independen, maka penting untuk memeriksa konteks waktu dan tempat asalnya untuk memahami makna dan penggunaan yang tepat.[11]

Secara akademis, oksidentalisme dapat dianggap berakar pada pemikiran Edward W. Said. Dalam bukunya Orientalism (1978), Said mengungkap bagaimana Barat secara keliru menggambarkan Timur sesuai dengan persepsi mereka. Said membongkar wacana orientalisme sebagai cerminan dari hubungan kekuasaan yang merusak pengetahuan, di mana pengetahuan telah tercemar oleh kekuasaan kolonial. Hal ini juga menjadi inti dari kritik dalam oksidentalisme. Meski Said sendiri tidak menyukai istilah ini, pemikirannya dapat dianggap sebagai cikal bakal oksidentalisme dalam bentuk formalnya.[12]

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, istilah “oksidentalisme” mulai dikenal dalam dunia akademis setelah diperkenalkan oleh Hasan Hanafi, seorang intelektual liberal Muslim dari Mesir, melalui bukunya yang diterbitkan pada tahun 1991, berjudul Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istigrab. Oksidentalisme Hasan Hanafi muncul sebagai respons terhadap dominasi Barat, dan proses ini mengikuti pola tesis (fakta), antitesis (respon), dan sintesis (konsep baru) yang dijelaskan oleh Thomas Kuhn. Bagi Hanafi, oksidentalisme bertujuan untuk mengatasi ketergantungan pada Barat dan menawarkan pandangan baru. Dalam praktiknya, ini termasuk tiga agenda utama: menilai tradisi lama, sikap terhadap tradisi Barat, dan memahami realitas saat ini, dengan tujuan untuk memperbaiki hubungan antara Islam dan Barat secara lebih adil dan seimbang.[13] Ini artinya, oksidentalisme Hasan Hanafi muncul sebagai respons kritis terhadap dominasi Barat, dengan tujuan mengatasi ketergantungan dan mengembangkan pemahaman yang lebih seimbang antara Islam dan Barat melalui penilaian tradisi, sikap terhadap Barat, dan realitas kontemporer.

Namun jika dilihat dalam konteks historis, kajian terhadap Barat telah berkembang sejak era penjajahan dan kolonialisasi Barat atas dunia Timur. Selama periode ini, interaksi antara Timur dan Barat semakin intensif. Sebab Barat tidak hanya mengerahkan kekuatan militer dalam melancarakan agenda kolonialisme, melaikan juga kekuatan intelektual yang belakangan disebut orientalisme. Akibatnya benturan pemikiran antara kedua peradaban pun tak terelakkan. Inilah yang oleh sebagian sarjana muslim disebut sebagai “ghazwul fikri” atau “perang pemikiran”.[14] Hamid Fahmy Zarkasyi, misalnya, menyoroti bahwa orientalisme yang saat ini dikenal sebagai tradisi kajian ilmiah tentang Islam, sebenarnya didasarkan pada perspektif dan pengalaman Barat yang dipengaruhi oleh motif dan semangat kolonialisme.[15] Ini artinya oksidentalisme pada praktiknya telah ada sebelum istilah tersebut dipopulerkan oleh Edward Said dan Hassan Hanafi.

Sejarah menunjukkan bahwa studi terhadap Barat (occident) telah berkembang pesat sejak era kolonial. Pada abad ke-19, tokoh-tokoh Muslim seperti Sayyid Jamal al-Din al-Afghani dan muridnya Muhammad Abduh, membangkitkan kesadaran politik dan intelektual di kalangan umat Islam melalui pan-Islamisme, serta menentang dominasi Barat dan pengaruh kolonialisme, seperti yang terlihat dalam karya-karyanya Al-‘Urwa al-Wuthqa.[16] Misi al-Afghani dan Abduh kemudian dilanjutkan oleh Rasyid Ridho. Dalam buku Al-Khilafah, Rida mengkritik keras sekularisme dan ide-ide Barat yang berusaha memisahkan agama dari politik dan kehidupan sosial. Ia menekankan pentingnya sistem kekhalifahan sebagai bentuk pemerintahan yang ideal bagi umat Islam, yang menyatukan urusan agama dan negara dalam satu kepemimpinan.[17]

Di pertengahan abad ke-20, kajian kritis terhadap Barat masih bergejolak di Mesir. Hassan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, sangat kritis terhadap pemikiran dan nilai-nilai Barat yang dianggapnya merusak masyarakat Muslim. Salah satu karya penting dari Hassan al-Banna yang mengkritik Barat adalah Majmu’at al-Rasa’il (Kumpulan Risalah). Dalam karya ini, al-Banna mengekspresikan kritik mendalam terhadap nilai-nilai Barat dan sekularisme, serta menekankan pentingnya kembali kepada prinsip-prinsip Islam sebagai solusi terhadap permasalahan yang dihadapi dunia Muslim. Beberapa risalah dalam koleksi ini membahas dampak negatif dari sekularisme dan materialisme Barat, serta menyerukan perlunya kebangkitan Islam dan penerapan syariah sebagai respons terhadap pengaruh Barat yang merusak.[18] Penerus al-Banna sekaligus petinggi Ikhwanul Muslimin, Sayyid Qutb juga sangat vokal dalam kritiknya terhadap Barat, terutama melalui karyanya Ma’alim fi al-Tariq (Petunjuk Jalan). Dalam karyanya tersebut Qutb menyebut berbagai ideologi Barat sebagai jaliliyah yang tidak sesuai dengan Islam. Maka Qutb merekomedasikan agara umat Islam berpedoman pada tashawwur Islami (pandangan hidup Islam) dan menjauhi pandangan hidup Barat.[19]

Tidak hanya di Mesir, para intelektual Muslim di berbagai belahan dunia lain juga gencar melakukan kajian tentang Barat. Abul A’la Maududi, seorang intelektual Muslim dari India yang kemudian menetap di Pakistan, menyampaikan kritik tajam terhadap Barat melalui karyanya yang terkenal,The Islamic Law and Constitution. Maududi mengkritik ideologi-ideologi Barat, seperti sekularisme dan sosialisme yang ia anggap bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam mengenai keadilan dan tata kelola masyarakat. Dalam pandangannya, penerapan syariah Islam adalah solusi untuk menggantikan sistem hukum dan sosial Barat yang dianggapnya tidak sesuai dengan ajaran Islam.[20]

Sedangkan dari Asia Tenggara, terdapat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Filsuf Muslim asal Malaysia, yang juga sangat dominan dalam mengkaji Barat terutama dari perspektif filsafat. Dalam karyanya Islam and Secularism, al-Attas mengkritik sekularisme yang mengabaikan dimensi spiritual dan metafisik dari pengetahuan. Selain itu, al-Attas menegaskan bahwa dampak sekularisme Barat telah merusak struktur pemikiran dan kebudayaan Islam, memperparah kemerosotan moral dan spiritual. Untuk mengatasi hal ini, al-Attas mengusulkan “Islamisasi pengetahuan”, yakni proses integrasi prinsip-prinsip Islam ke dalam semua aspek kehidupan dan pendidikan, guna memperbaiki distorsi yang dihasilkan oleh sekularisme.[21]

Kajian yang mendalam terhadap Barat, terutama dalam konteks pemikiran dan filsafat, berkembang dengan cukup signifikan di Indonesia melalui murid-murid Syed Muhammad Naquib al-Attas. Kontribusi tokoh-tokoh seperti Hamid Fahmy Zarkasyi, Syamsuddin Arif, dan Adian Husaini telah memainkan peran penting dalam memperdalam pemahaman tentang pengaruh Barat serta merumuskan respons yang sesuai dari perspektif Islam. Hamid Fahmy Zarkasyi, dengan fokus pada islamisasi ilmu pengetahuan dan filsafat Islam, telah memproduksi sejumlah karya penting tentang kajian Barat. Misalnya, Liberalisasi Pemikiran Islam, Misykat: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi dan Islam dan Minhaj: Berislam dari Ritual hingga Intelektual. Dalam karya-karya tersebut, Zarkasyi menganalisis secara filosofis dampak westernisasi dan liberalisasi pemikiran pada masyarakat Muslim melalui lensa worldview Islam.[22] Syamsuddin Arif, dengan fokus pada kajian filsafat, logika dan orientalisme, juga melahirkan berbagai karya yang sanggat kontributif, seperti Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Al-Qur’an, Orientalisme dan Luxenberg, dan Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi. Arif menelisik secara tajam pengaruh orientalis dalam berbagai bidang studi Islam.[23] Sedangkan Adian Husaini, berfokus pada kajian pemikiran pendidikan dan sejarah. Dalam  Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Husaini menganalisis bagaimana nilai-nilai sekuler dan liberal telah menggantikan pengaruh Kristen yang sebelumnya dominan dalam masyarakat Barat. Ia menjelaskan dampak perubahan ini terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk politik, budaya, dan sosial, serta implikasinya terhadap dunia Muslim.[24]

Dengan demikian, kajian terhadap Barat atau belakangan disebut oksidentalisme, sejatinya telah berkembang di dunia Muslim, sejak era kolonial dan terus berkembang hingga kini. Meskipun istilah oksidentalisme muncul belakangan yang dipelopori oleh Hassan Hanafi, namun praktiknya telah ada sebelumnya. Kajian terhadap westernisasi, liberalisasi dan sekulariasasi juga dapat dikategorikan sebagai oksidentalisme. Oleh sebab itu, berbagai tokoh intelektual, dari abad ke-19 hingga abad ke-20, telah memberikan kontribusi penting dalam mengkritik dominasi dan ideologi Barat. Beberapa tokoh-tokoh tersebut telah ditampilkan di atas, seperti Sayyid Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridho, Hassan al-Banna dan Sayyid Qutb menyoroti dari Mesir. Abul A’la al-Maududi dari Pakistan. Syed Muhammad Naquib al-Attas dari Malaysia. Serta Di Indonesia, murid-murid al-Attas seperti Hamid Fahmy Zarkasyi, Syamsuddin Arif, dan Adian Husaini melanjutkan kajian ini dengan fokus pada westernisasi, liberalisasi, dan orientalisme. Kontribusi mereka menunjukkan upaya berkelanjutan untuk memahami dan menanggapi pengaruh Barat secara kritis, sekaligus memperkuat pemikiran dan identitas Islam di era kontemporer.[]


[1] Edward W. Said, Orientalism, Jews, Christians, and the Abode of Islam (New York: Vintage Books, 1978), 49, doi:10.7208/chicago/9780226471099.003.0001.

[2] Indria Hartika Rukmana and Ihsan Kamaludin, “Studi Oksidental: Upaya Pemikir Timur Nusantara Dalam Kontra Hegemoni Orientalisme,” Jurnal Kemuhammadiyahan Dan Integrasi Ilmu 1, no. 2 (2023): 73.

[3] Widya Oktavia Hasani Ahmad, Mardiyah Nur Batubara, “Orientalisme Dan Oksidentalisme: Kajian Keotentikan Al- Qur’an,” Al-Bayan: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Hadist 5, no. 2 (2022): 212.

[4] Jukka Jouhki and Henna Riikka Pennanen, “The Imagined West: Exploring Occidentalism,” Suomen Antropologi 41, no. 2 (2016): 1–10.

[5] Burhanuddin Daya, Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-Dasar Oksidentalisme, (Sukapress, 2008), 88-89.

[6]“Occidentalism.” collinsdictionary.com, https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/occidentalism.  Accessed 3 Sep. 2024.

[7] “Occidentalism.” Merriam-Webster.com Dictionary, Merriam-Webster, https://www.merriam-webster.com/dictionary/Occidentalism. Accessed 3 Sep. 2024.

[8] Abdullah Metin, “Occidentalism: An Eastern Reply to Orientalism,” Bilig 93 (2020): 183, doi:10.12995/bilig.9308.

[9] Hasan Hanafi, Muqadimah Fi ’Ilm Al-Istighrab (Kairo: Dar al-Faniyyah, 1991), 22–30.

[10] Metin, “Occidentalism: An Eastern Reply to Orientalism,” 184.

[11] Tamara Silvia Wagner, “Occidentalism: Edward Said’s Legacy for the Occidentalist Imaginary and Its Critique,” in Paradoxical Citizenship (New York: Rowman & Littelfield Publishers, inc., 2016), 145.

[12] Rohanda Rohanda and Dian Nurrachman, “Orientalisme Vs Oksidentalisme: Benturan Dan Dialogisme Budaya Global,” Jurnal Lektur Keagamaan 15, no. 2 (2017): 385, doi:10.31291/jlk.v15i2.529.

[13] Kamaruddin Mustamin, “Oksidentalisme Hasan Hanafi,” Rausyan Fikr 17, no. 1 (2021): 60–61.

[14] Laila, Risa & Nurunnisa, Maghfira & Tasneem, Kameela & Romli, Usup. (2023). Ghazwul Fikri Sebagai Pelemah Keyakinan Umat Islam Generasi Milenial di Era Digital. Al-Tsiqoh : Jurnal Ekonomi dan Dakwah Islam. 7. 72-79. 10.31538/altsiq.v7i2.2405.

[15] Hamid Fahmy Zarkashi, “Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis Dan Kolonialis,” Tsaqafah 5, no. 1 (2009): 18.

[16] Jamaluddin Al-Afghani and Muhammad Abduh, Al-‘Urwa Al-Wuthqa (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabiy, n.d.).

[17] Muhammad Rasyid Ridho, Al-Khilafah (Kairo: Hindawi Foundation for Education and Culture, 2013).

[18] Hasan Al-Banna, Rasail Al-Syahid Hasan Al-Banna (Beirut: Dar Al Maa’rif, 2010).

[19] Sayid Qutb, Maalim Fi Al-Thoriq (Beirut: Dar al-Syuruq, 1979).

[20] Abul A’la Al-Maududi, “The Islamic Law and Constitution” (Lahore: Islamic Publicatons,Ltd., n.d.), 8.

[21] Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993).

[22] Lihat karya-karya Hamid Fahmy Zarkasyi di sini: https://scholar.google.co.id/citations?user=m-8GUUAAAAAJ&hl=en&oi=ao

[23] Lihat karya-karya Syamsuddin Arif di sini: https://scholar.google.co.id/citations?user=_kQiy9AAAAAJ&hl=en&oi=ao

[24] Lihat selengkapnya karya Adian Husaini di sini: https://scholar.google.co.id/citations?user=G9lB_lsAAAAJ&hl=en&oi=ao

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *