Mengungkap Orientalisme: Sejarah dan Tokoh-Tokoh di Baliknya

Oleh: Adib Fattah Suntoro, M.Ag

Bagi yang mengikuti isu pemikiran Islam, tentu tidak asing lagi dengan istilah “orientalisme”. Orientalisme merujuk pada kajian-kajian yang dilakukan oleh para sarjana Barat tentang Islam dan dunia Timur secara umum. Kajian ini sering kali penuh dengan bias, bahkan fitnah kotor kepada Islam, ajarannya dan bahkan Nabi Muhammad sebagai tokoh pembawanya. Dr. Munawar A. Anees, Direktur Center for Global Dialog di University of Management and Technology Pakistan, menyebutkan bahwa Jerry Vines, di Konvensi Baptis Selatan di Saint Louis, membuat pernyataan yang sangat menyinggung dan provokatif mengenai Islam dan Nabi Muhammad. Ia mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang “pedofil yang dirasuki setan”. Ia juga berkata, “Allah bukan Yehova. Yehova tidak akan mengubah Anda menjadi seorang teroris yang mencoba membom orang dan membunuh ribuan orang.”[1] Jauh sebelum itu, Montgomery Watt, seorang orientalis asal Skotlandia, telah menuduh bahwa Nabi Muhammad mengarang agama Islam dengan belajar kepada Waraqah bin Naufal. Watt dalam bukunya mengatakan: “…That Muhammad had frequent communication with Waraqah at earlier date, and learnt much of a general character. Later Islamic Conceptions may have been largely moulded by Waraqah’s ideas, e.g of relation of Muhammad’s revelation to previous revelations.”[2]

Tidak hanya pada ruang lingkup akademik saja, orientalisme bahkan sudah mempengaruhi berbagai aspek budaya populer Barat. Film, buku, dan media sering menggambarkan Islam sebagai agama yang keras, tidak toleran, dan penuh konflik. Pada tahun 1992, film animasi Aladdin dari Disney menarik perhatian karena menggambarkan Timur Tengah dengan cara yang sangat stereotipikal. Dalam film ini, Timur Tengah digambarkan sebagai tempat yang liar dan primitif, penuh dengan jin ajaib, syekh jahat, dan istana mewah dengan harem selir. Lirik lagu pembuka bahkan menyebut daerah tersebut sebagai tempat “di mana mereka memotong telinga Anda jika mereka tidak menyukai wajah Anda,” meskipun bagian ini diubah setelah protes dari Komite Anti-Diskriminasi Arab.[3] Dalam film aksi True Lies (1994), stereotip negatif tentang Islam juga terlihat melalui penggambaran kelompok teroris yang digambarkan sebagai ekstremis Islam. Dalam cerita film ini, karakter utama, seorang agen rahasia, berhadapan dengan kelompok teroris yang memiliki motif Islamis.[4] Penggambaran seperti ini mencerminkan tradisi panjang orientalisme di Barat.

Persepsi negatif tentang Islam di Barat, seperti yang digambarkan dalam berbagai media tersebut, merupakan hasil dari pengaruh orientalisme, sebuah pendekatan yang telah membentuk pandangan Barat terhadap budaya Timur selama berabad-abad. Sejarah orientalisme mencakup periode panjang. Menurut Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, gerakan pengkajian ketimuran, atau studi orientalis, dikenal dengan nama orientalisme mulai abad ke-18, meskipun kajian bahasa dan sastra Timur, khususnya yang berkaitan dengan Islam, sudah dilakukan jauh sebelumnya.[5] Memahami sejarah orientalisme dan tokoh-tokohnya sangat penting untuk mengungkap bagaimana stereotip ini terbentuk dan mengapa mereka masih mempengaruhi persepsi Barat hingga saat ini. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi orientalisme, menjelaskan bagaimana dan mengapa pandangan ini berkembang, serta sejarah hidup dan pemikiran tokoh-tokoh pengusungnya.

Apa itu Orientalisme?

Kata “orientalis” merupakan serapan dari bahasa Prancis, yang berasal dari kata “orient” yang berarti “Timur”. Secara geografis, istilah ini merujuk pada “dunia Timur”, sementara secara etnologis mengacu pada bangsa-bangsa di kawasan Timur.[6] Kata “orient” telah diadopsi ke dalam berbagai bahasa Eropa, termasuk bahasa Inggris. Sebagai kata sifat, “oriental” berarti hal-hal yang berkaitan dengan Timur, dengan cakupan yang sangat luas.[7] “Orientalis” adalah istilah untuk seseorang yang ahli dalam hal-hal yang berkaitan dengan “Timur”. Sementara itu, “orientalisme” merujuk pada sebuah paham atau aliran.[8]

Orientalisme secara umum merujuk pada studi dan penggambaran Barat terhadap budaya dan masyarakat Timur, terutama kawasan Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Timur. Istilah ini dipopulerkan oleh Edward Said dalam bukunya Orientalism (1978).[9] Edward Said mendefinisikan orientalisme sebagai bidang ilmu atau pengetahuan yang sistematis dalam mempelajari dunia Timur sebagai objek yang dapat dianalisis, dijelaskan, dan diterapkan.[10] Secara lebih rinci, Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan bahwa orientalisme mencakup kajian tentang berbagai aspek bangsa-bangsa di dunia Timur dan lingkungan mereka, mencakup berbagai bidang kehidupan seperti sejarah, bahasa, agama, sastra, adat istiadat, politik, ekonomi, dan lain-lain.[11] Dengan demikian, orientalisme adalah studi yang berfokus pada penggambaran dan analisis budaya serta masyarakat Timur, terutama Islam, oleh orang-orang Barat. Lingkup kajiannya meliputi berbagai bidang seperti sejarah, bahasa, agama, sastra, adat istiadat, politik, dan ekonomi.

Sejarah Singkat

Gerakan orientalisme di Barat muncul bersamaan dengan penjelajahan dan kolonialisasi Eropa pada abad ke-18 dan ke-19. Edward Said mengungkapkan, orientalisme sering digunakan sebagai alat kekuasaan kolonial. Ia menciptakan citra Timur yang merendahkan dan stereotipikal, terutama terhadap Islam, serta memperkuat pandangan superioritas Barat sambil mengabaikan kompleksitas budaya Timur. Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan, mengapa Barat begitu berminat melakukan kajian terhadap peradaban Timur secara umum dan Islam secara khusus. Menurutnya, terdapat dua latar belakang dan motif utama, yaitu motif keagamaan dan politik.

Motif keagamaan yaitu berangkat dari kebencian umat Kristen di Barat terhadap Islam dan perseteruan antara keduanya sepanjang sejarah. Thomas Wright dalam Early Christianity in Arabia menyebut bahwa konflik ini sudah dimulai ketika tentara Kristen pimpinan Abrahah menyerang Ka’bah sebelum kelahiran Nabi Muhammad, yang berakhir dengan kekalahan mereka. Jika serangan itu berhasil, jazirah Arab mungkin dikuasai Kristen, dengan salib di Ka’bah, dan Muhammad mungkin menjadi pendeta. Hal ini menunjukkan bahwa konflik tersebut mencerminkan penentangan Kristen terhadap ajaran Nabi Ibrahim. Motif orientalisme pun sangat terkait dengan agama, khususnya Kristen dan misi penyebarannya.

Adapun motif politik, bagi Barat, Islam merupakan peradaban yang pernah menyebar luas dan menguasai dunia dengan sangat cepat. Ketika Barat mulai bangkit dari masa kegelapan, mereka melihat Islam sebagai ancaman besar bagi kekuasaan politik dan agama mereka. Barat menyadari bahwa Islam bukan sekadar istana megah, pasukan tangguh, atau bangunan monumental, tetapi juga peradaban dengan tradisi ilmu pengetahuan yang tinggi. Oleh karena itu, Barat merasa perlu merebut khazanah ini untuk kemajuan mereka sendiri sekaligus menaklukkan Islam. Maka, kajian orientalis juga memiliki motif politis, yaitu kolonialisme.

Meskipun istilah “orientalisme” baru diperkenalkan pada abad ke-18, kajian terkait telah dimulai sejak abad ke-8, dengan kajian serius baru mulai muncul pada abad ke-16. Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, mengklasifikasikan perkembangan orientalisme menjadi empat fase, dengan fase pertama dimulai pada abad ke-16. Pada fase ini, orientalisme sering kali menjadi simbol gerakan anti-Islam yang dipelopori oleh Yahudi dan Kristen. Bagi banyak orang Eropa, Islam dianggap sebagai trauma yang tak berkesudahan. Dalam bukunya Western Views of Islam in the Middle Ages, Southern mencatat bahwa orang Kristen berusaha menyatukan pandangan Timur dan Barat Eropa bahwa Islam adalah versi sesat dari Kristen.[12] Bahkan banyak penulis pada masa itu yang menggambarkan Nabi Muhammad sebagai penyebar wahyu palsu dan penipu.[13]

Fase kedua orientalisme berlangsung pada abad ke-17 dan ke-18, dan merupakan periode penting dalam sejarah orientalisme karena bertepatan dengan modernisasi Barat. Pada masa ini, Barat tertarik untuk memahami bagaimana Islam dapat berkembang menjadi peradaban yang unggul selama tujuh abad. Raja dan ratu Eropa pada periode ini sepakat untuk mendukung pengumpulan informasi tentang Timur. Beberapa tokoh penting dari fase ini termasuk Erpernius (1584-1624), yang menerbitkan tatabahasa Arab pertama, diikuti oleh muridnya Jacob Goluis (1596-1667) dan Lorriunuer Franz Meurnski dari Austria pada tahun 1680. Selain itu, Bedwell W (1561-1632) mengedit tujuh jilid kamus bahasa Arab dan menulis tentang sejarah hidup Nabi Muhammad. Meskipun Barat tertarik untuk mempelajari Islam, perseteruan antara Barat dan Timur tetap berlanjut. Selain mengumpulkan informasi tentang Timur, mereka juga menyebarluaskan informasi negatif mengenai Timur kepada masyarakat Barat.[14]

Fase ketiga orientalisme mencakup abad ke-19 dan seperempat pertama abad ke-20, dan merupakan periode yang sangat penting baik bagi Muslim maupun orientalis. Pada masa ini, Barat benar-benar menguasai negara-negara Islam secara politik, militer, budaya, dan ekonomi. Penguasaan ini mempermudah Barat dalam mengakses informasi tentang Islam. Selama periode ini, berbagai lembaga studi keislaman dan ketimuran didirikan, seperti Society Asiatic di Paris pada tahun 1822, Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland pada tahun 1823 di Inggris, American Oriental Society pada tahun 1842 di Amerika, dan School of Oriental Studies di University of London pada tahun 1916, yang kini dikenal sebagai SOAS (School of Oriental and African Studies).[15] Menurut Prof. Hamid F. Zarkasyi, dengan berdirinya lembaga-lembaga ini, pendekatan orientalisme berubah dari serangan verbal menjadi kajian sistematis dan ilmiah. Namun, pendekatan ini tetap tidak lepas dari kesalahan dan bias.[16]

Fase keempat orientalisme dimulai dengan adanya Perang Dunia II. Di Amerika, Islam dan umat Islam menjadi objek kajian yang populer, tidak hanya untuk kepentingan akademis tetapi juga untuk kebijakan politik dan bisnis. Pada periode ini, menurut Prof. Hamid, kajian orientalisme mengalami perubahan dari sentimen keagamaan yang kasar menjadi pendekatan yang lebih halus.[17] Cantwell Smith menyatakan bahwa “pencarian ilmu selalu siap untuk mengubah hipotesisnya,” dan mengakui bahwa orang Barat non-Muslim mulai memperhalus sikap mereka terhadap Islam, bahkan mengurangi penolakan mereka.[18] Hamilton Alexander Rosskeen Gibb juga menunjukkan perubahan sikap dengan menerima bahwa wahyu bisa dianggap sebagai cerminan pengalaman pribadi Nabi Muhammad, tetapi ia menekankan perlunya penafsiran ulang konsep-konsep dalam Islam yang dianggap tidak lagi dapat dipertahankan.[19] Prof. Hamid menegaskan bahwa perubahan pendekatan ini mencerminkan pergeseran dari tuduhan terhadap Nabi Muhammad sebagai penipu, ke pertanyaan tentang konsep wahyu, hingga mempertanyaan terhadap interpretasi wahyu tersebut.

Tokoh-tokoh Orientalis

Sebagai sebuah bidang kajian yang telah berkembang selama berabad-abad, tentu tokoh-tokoh yang berkecimpung di bidang kajian ini sangatlah banyak dan berasal dari berbagai latar belakang. Para orientalis terklasifikasi dalam berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan studi Islam, seperti studi al-Qur’an, studi hadis, teologi Islam, sejarah Islam, hukum Islam dan lain-lain. Mereka tidak hanya mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa utama Islam, tetapi juga mengkaji bahasa-bahasa lain yang penting dalam tradisi Islam, seperti Persia, Turki, bahkan bahasa Indonesia. Tokoh-tokoh seperti Theodor Nöldeke (1836-1930), Ignaz Goldziher (1850-1921), Christian   Snouck   Hurgronje   (1857-1936), Arthur Jeffery (1892-1959), William Montgomery Watt (1909-2006), dan Wilfred Cantwell Smith (1916-2000) adalah beberapa nama penting yang dikenal dalam dunia orientalisme. Tentu masih banyak lagi tokoh-tokoh yang berkecimpung di bidang orientalisme selain nama-nama tersebut. Namun karena keterbatasan ruang, berikut akan diulas secara singkat riwayat hidup dan pemikiran serta kiprah tokoh-tokoh orientalis tersebut.

  • Theodor Nöldeke

Theodor Nöldeke adalah seorang sarjana Jerman yang terkenal dalam bidang studi Perjanjian Lama, bahasa Semit, dan sastra Timur Tengah. Lahir di Harburg pada 2 Maret 1836, Nöldeke tumbuh dalam keluarga berpendidikan dan menerima bimbingan ketat dari ayahnya di Lingen. Ia melanjutkan studi di Universitas Göttingen pada tahun 1853, mempelajari bahasa Semit seperti Arab, Ibrani, dan Suryani di bawah bimbingan H. Ewald, seorang sahabat ayahnya. Nöldeke kemudian memperoleh gelar doktor pada tahun 1856 dengan disertasinya tentang Sejarah Al-Qur’an. Setelahnya, ia melanjutkan studinya ke Wina dan Leiden, di mana ia mendalami berbagai manuskrip Arab dan belajar dari tokoh-tokoh seperti Dozy dan Juynboll.[20]

Selama karier akademisnya, Nöldeke mengabdikan hidupnya untuk mengkaji dunia Timur, meskipun ia tidak pernah mengunjungi negara-negara Arab karena masalah kesehatan. Ia meneliti manuskrip di berbagai kota besar Eropa, termasuk Berlin dan Roma. Nöldeke menghabiskan sebagian besar hidupnya mengajar di Universitas Strassburg hingga pensiun, kemudian pindah ke Karlsruhe, di mana ia menghabiskan masa tuanya bersama keluarganya. Nöldeke meninggal pada 25 Desember 1930 pada usia 94 tahun, meninggalkan sepuluh anak dari pernikahannya sejak tahun 1864.[21]

Theodor Nöldeke, dalam banyak tulisannya, berusaha menggugat bahwa keyakinan umat Islam mengenai Al-Qur’an dan Nabi Muhammad tidak sepenuhnya akurat. Ia berpendapat bahwa Al-Qur’an bukanlah teks yang orisinal, melainkan hasil duplikasi ajaran Kristen dan Yahudi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Menurut Nöldeke, Nabi Muhammad bukanlah seorang yang “ummi” dalam arti tidak bisa membaca dan menulis. Baginya, kata “ummi” tidak merujuk pada seseorang yang buta huruf, tetapi lebih sebagai kebalikan dari “ahl al-kitab” atau orang-orang yang mengenal kitab suci. Menurutnya, “ummi” lebih tepat diartikan sebagai orang-orang Arab yang tidak memahami kitab-kitab suci seperti Taurat dan Injil, bukan sebagai orang yang tidak bisa membaca dan menulis.  

“The main argument is that in sūra 7:156 and 158 Muḥammad is called (النبي الأمي) words that nearly all commentators take to mean “the Prophet who could neither read nor write.” However, when we make a thorough investigation of all the Koranic passages that contain (أمي), we find that it is used everywhere to mean the opposite of (أهل الكتاب), namely, not a person capable of writing but the owner (or expert) of the Holy Scripture; sūra 2:73 even says that there were (أميون) who have a poor understanding of the Scriptures.”[22]

Nöldeke juga mengembangkan gagasan bahwa dalam proses penulisan Al-Qur’an, Nabi Muhammad memasukkan unsur-unsur dari ajaran Yahudi dan Kristen, namun dengan pemahaman yang terbatas karena keterbatasannya dalam mengakses kitab-kitab tersebut secara langsung. Ia menilai bahwa meskipun Nabi Muhammad mengadopsi elemen-elemen dari ajaran-ajaran tersebut, seperti seruan untuk haji dan penghormatan terhadap Ka’bah, ia melakukan modifikasi yang signifikan untuk menyesuaikannya dengan konteks kepercayaan dan budaya Arab pada saat itu. Dalam pandangan Nöldeke, hal ini menyebabkan beberapa informasi dalam Al-Qur’an tentang umat-umat terdahulu menjadi tidak akurat, akibat ketidaktahuan Nabi Muhammad mengenai sejarah dan ajaran agama Yahudi secara mendalam.[23]

Pandangan Theodor Nöldeke yang meragukan keaslian Al-Qur’an tersebut mendapat kritik tajam. Banyak sarjana, seperti Muhammad Mustafa al-A’zami, seorang Ahli Hadis kontemporer, membantah tuduhan itu. Dalam karyanya The History of the Qur’anic Text from Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments, ia menegaskan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad pernah mempelajari membaca dan menulis. Secara umum, diterima bahwa Nabi Muhammad tetap buta huruf sepanjang hidupnya, dan bahkan musuh-musuhnya pun tidak pernah meragukan hal ini karena sudah dianggap jelas bahwa Nabi tidak bisa membaca dan menulis. Ini menunjukkan bahwa Nöldeke telah salah menafsirkan makna “ummi” dan mengabaikan aspek penting dari konteks teks.[24]

  • Ignaz Goldziher

Ignaz Goldziher (1850–1921) adalah seorang orientalis terkemuka asal Hungaria yang dikenal karena kontribusinya yang signifikan dalam studi Islam dan Arab. Lahir pada 22 Juni 1850 di Budapest, Goldziher memulai pendidikan tinggi di Universitas Budapest, di mana ia mempelajari bahasa Arab, Persia, dan sejarah Islam. Ia melanjutkan studinya di Berlin di bawah bimbingan orientalis terkenal seperti Theodor Nöldeke.[25] Goldziher dikenal dengan karya-karyanya yang mendalam, termasuk Die Zahiriten und die Hanafiten, serta Muhammedanische Studien, yang membahas berbagai aspek hukum, teologi, dan sejarah Islam. Selain itu, ia juga berkontribusi pada Encyclopedia of Islam, yang menegaskan kepakarannya dalam studi Islam.[26] Pada akhir hayatnya, Goldziher mengabdikan diri pada pengajaran dan penelitian di Universitas Budapest. Ia meninggal pada 13 November 1921, meninggalkan warisan intelektual dalam bidang orientalisme dan studi Islam.[27]

Ignaz Goldziher, melalui berbagai tulisannya, mengkritik Al-Qur’an dengan spekulasi bahwa teks ini berasal dari dokumen tertulis mirip dengan Alkitab, bukan dari tradisi lisan yang dihafal dan kemudian ditulis. Goldziher menganggap bahwa Al-Qur’an berakar dari teks tertulis, meskipun kenyataannya Al-Qur’an lebih mengutamakan hafalan dan penyimpanan dalam hati dibandingkan dengan tulisan fisik. Ia cenderung menganggap teks atau manuskrip sebagai titik ukur utama dalam menilai kebenaran bacaan (qira’ah), tanpa memperhatikan keabsahannya.[28] Dalam kajiannya, Goldziher menggunakan berbagai metode filologi seperti kritik sejarah, studi filologis, kritik redaksional, kritik bentuk, dan kritik tekstual, yang umumnya diterapkan pada studi Alkitab. Dengan pendekatan ini, ia berusaha mengkritik dan mengimajinasikan inovasi baru dalam studi sejarah teks Al-Qur’an.[29]

Pemikiran Goldziher yang kontroversial tersebut mendapat kritikan dari para ulama. Beberapa di antaranya adalah Muhammad Thahir ibn Abd al-Qadir al-Kurdi dengan bukunya Tarikh Al-Qur’an wa Gharaibu, Abdul Wahab Humudah dalam al-Lahajat wa al-Qira’at, dan Abd al-Fatah Syulbi dalam Rasm al-Mushaf al-‘Utsmany wa Auham al-Mustasyriqin dan  ‘Abd al-Halim al-Najjar dalam Madzhahib Tafsir al-Islami. Dalam bukunya, an-Najjar memberikan respons terhadap kritik Goldziher terhadap Al-Qur’an. Ia menguraikan bahwa kerancuan Goldziher disebabkan oleh kurangnya pemahaman mendalam tentang kajian keislaman, khususnya balaghah (retorika) Al-Qur’an. An-Najjar menjelaskan bahwa keunikan stilistika bahasa Arab memungkinkan variasi pengucapan tanpa mengubah makna, yang mungkin sulit dipahami oleh non-Arab. Ia juga menanggapi kritik lain dari Goldziher, seperti ketidakpahaman terhadap proses unifikasi Al-Qur’an, tuduhan plagiarisme, paleografi, dan qira’at. An-Najjar menilai bahwa Goldziher gagal memahami proses keislaman dan keliru dalam menyamakan metode kajian Al-Qur’an dengan Bible. [30]

  • Christian   Snouck   Hurgronje

Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) adalah seorang orientalis Belanda yang dikenal luas karena kontribusinya dalam studi Islam dan Asia Tenggara. Lahir di Leiden, Belanda, Hurgronje menempuh pendidikan di Universitas Leiden, di mana ia memperoleh gelar doktor dalam studi bahasa dan budaya Timur.[31] Ia dikenal terutama karena karyanya tentang masyarakat Muslim di Indonesia, yang mencerminkan pemahaman mendalam tentang budaya dan agama mereka. Salah satu karyanya yang terkenal adalah De Atjehers (1906), yang memberikan wawasan berharga tentang masyarakat Aceh. Selain itu, Hurgronje juga menjabat sebagai penasihat kolonial untuk pemerintah Belanda, berperan dalam administrasi dan kebijakan kolonial di Indonesia.[32] Di akhir hidupnya, ia kembali ke Belanda dan menghabiskan masa tuanya sebagai profesor di Universitas Leiden hingga wafat pada tahun 1936.[33]

Christian Snouck Hurgronje, menggagas strategi “politik haji”, dengan menyarankan kepada pemerintah kolonial Belanda untuk tidak melarang pelaksanaan haji secara umum, tetapi merekomendasikan tindakan keras terhadap jemaah yang membawa pesan politik atau jihad. Ia khawatir bahwa represif terhadap haji akan mendorong perlawanan terhadap Belanda, terutama dengan dukungan Turki Usmani yang memanfaatkan haji untuk propaganda jihad. Snouck Hurgronje berpendapat bahwa doktrin jihad adalah penghalang serius bagi upaya kolonial untuk menaklukkan umat Islam, dan merekomendasikan agar ajaran jihad dihapuskan dan politik Islam dipisahkan dari kehidupan politik modern.[34] Ia percaya bahwa dengan mengintegrasikan hukum adat, memisahkan agama dari politik, dan mendukung pendidikan modern, pemerintah kolonial dapat mengendalikan pengaruh Islam. Pandangan ini mencerminkan sikap liberal Barat zaman itu dan berpengaruh pada kebijakan kolonial serta upaya sekularisasi yang terus berlanjut hingga kini.

  • Arthur Jeffery

Arthur Jeffery (1892-1959) adalah seorang ahli studi Islam yang terkenal dengan kontribusinya dalam kajian kritis Al-Qur’an. Lahir di Australia, Jeffery mengejar pendidikan di Universitas Sydney dan kemudian melanjutkan studi di Inggris, di mana ia memperoleh gelar doktor dari Universitas Oxford. Selama kariernya, ia mengajar di berbagai institusi, termasuk Universitas Melbourne dan Universitas Karachi. Jeffery dikenal karena analisis mendalamnya mengenai teks-teks Al-Qur’an dan kajian filologi Islam. Karya-karya pentingnya mencakup The Qur’an as Scripture dan Materials for the History of the Text of the Qur’an. Pada akhir hidupnya, Jeffery tetap terlibat dalam penelitian dan penulisan, dan meninggal dunia pada tahun 1959. Kontribusinya masih dikaji dalam bidang studi Islam hingga kini.[35]

Arthur Jeffery berpendapat bahwa Al-Qur’an yang kita miliki saat ini telah mengalami perubahan oleh beberapa tokoh berpengaruh, seperti Utsman bin Affan, Al-Hajjaj ibn Yusuf al-Thaqafi, dan Ibn Mujahid. Menurut Jeffery, tindakan Utsman yang menyeragamkan berbagai mushaf di wilayah kekuasaan Islam bukanlah keputusan yang tepat, karena didorong oleh alasan politik. Jeffery menganggap ini sebagai bentuk perubahan pertama pada Al-Qur’an melalui proses kanonisasi. Ia juga menuduh Al-Hajjaj membuat versi baru Al-Qur’an secara keseluruhan dan menyalahkan Ibn Mujahid karena menghilangkan perbedaan qiraat dengan cara yang kontroversial.[36] Dalam pandangannya, Jeffery melihat beberapa masalah mendasar dalam Al-Qur’an, seperti aksara gundul dalam Mushaf Utsman yang menyebabkan perbedaan bacaan, keberadaan mushaf-mushaf tandingan yang disebutnya “rival codices,” serta anggapannya bahwa Al-Fatihah bukanlah bagian asli dari Al-Qur’an, melainkan sebuah doa yang ditempatkan sebelum pembacaan. Selain itu, Jeffery juga menyatakan bahwa ada ayat-ayat yang hilang dari Al-Qur’an.[37]

Tuduhan Arthur Jeffery mengenai perubahan Al-Qur’an oleh Utsman bin Affan, Al-Hajjaj, dan Ibn Mujahid tidak berdasar dan telah dibantah oleh para ulama. Utsman melakukan standardisasi teks Al-Qur’an untuk menjaga keotentikan, bukan karena motif politik, dan tindakan ini didukung oleh seluruh sahabat. Tuduhan Jeffery terhadap Al-Hajjaj juga lemah, karena didasarkan pada riwayat palsu, dan mengabaikan fakta bahwa mushaf Utsmani sudah tersebar luas dan dihafal oleh banyak Muslim. Selain itu, klaim Jeffery bahwa Al-Fatihah bukan bagian dari Al-Qur’an serta tuduhannya tentang hilangnya ayat-ayat juga tidak berdasar, karena telah dijelaskan oleh para ulama melalui konsep nasikh dan mansukh.[38] Dengan demikian, Muslimin harus berhati-hati dan kritis dalam menghadapi pandangan orientalis seperti Jeffery yang mencoba meragukan keotentikan Al-Qur’an.

  • William Montgomery Watt

William Montgomery Watt (1909-2006) adalah seorang orientalis dan cendekiawan Skotlandia yang dikenal luas karena kajiannya tentang Islam, khususnya mengenai kehidupan Nabi Muhammad. Lahir di Ceres, Fife, Skotlandia, Watt menempuh pendidikan di Universitas Edinburgh, di mana ia memperoleh gelar dalam bidang filsafat dan teologi. Ia kemudian melanjutkan studinya di Balliol College, Oxford. Selama karir akademiknya, Watt mengajar di Universitas Edinburgh dan menjadi profesor studi Islam. Karya-karyanya yang terkenal meliputi Muhammad: Prophet and Statesman dan Muhammad at Mecca, di mana ia menawarkan pandangan yang lebih simpatik terhadap Islam dibandingkan dengan banyak orientalis sezamannya. Watt dianggap sebagai salah satu cendekiawan Barat terkemuka dalam studi Islam, dan kontribusinya tetap relevan hingga saat ini. William Montgomery Watt meninggal dunia pada tahun 2006.[39]

Watt adalah sosok orientalis yang banyak mengomentari sosok Nabi Muhammad secara negatif. Dalam karyanya Muhammad Prophet and Statesman, Mohammad at Mecca dan Mohammad at Medina, ia menggambarkan Nabi Muhammad sebagai sosok dengan dorongan seksual yang tinggi, menderita epilepsi, haus kekuasaan, dan bersifat agresif.[40] Pandangan ini ditentang oleh banyak tokoh Muslim, termasuk Husain Haikal dalam bukunya Sejarah Hidup Muhammad. Haikal secara tegas mengkritik pandangan orientalis tersebut, terutama tuduhan mengenai epilepsi, dengan menggunakan analisis medis dan psikologis untuk membantah pandangan negatif ini. Dengan referensi yang kuat dan argumen yang mendalam, Haikal berhasil membungkam kritik dari para orientalis yang menggambarkan Nabi Muhammad secara negatif.[41]

  • Wilfred Cantwell Smith

Wilfred Cantwell Smith, seorang sarjana terkemuka dalam studi agama, lahir pada 21 Juli 1916, di Toronto, Kanada. Ia menempuh pendidikan awal di University of Toronto, di mana ia memperoleh gelar sarjana dalam bidang sejarah. Setelah itu, Smith melanjutkan pendidikannya di University of Oxford, di mana ia mendapatkan gelar master dan kemudian doktor dalam bidang studi agama. Karir akademisnya dimulai sebagai dosen di Lahore, Pakistan, di mana ia mengembangkan minat mendalam terhadap Islam dan interaksi antaragama. Smith kemudian menjadi profesor di McGill University di Kanada dan mendirikan Institute of Islamic Studies di sana. Salah satu karya utamanya adalah The Meaning and End of Religion yang diterbitkan pada tahun 1962, di mana ia mengkritik konsep “agama” sebagai sebuah kategori yang homogen dan menekankan pentingnya memahami agama dalam konteks sejarah dan budaya. Smith dikenal karena pendekatannya yang interdisipliner dan humanis dalam studi agama. Smith meninggal pada 7 Februari 2000.[42]

Salah satu pandangan Smith yang terkenal adalah mengenai makna Islam. Smith berpendapat bahwa istilah “Islam” awalnya tidak merujuk pada nama agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, melainkan hanya berarti “penyerahan diri” secara umum. Ia mengklaim bahwa makna kata “Islam” telah berubah seiring waktu, terutama pada abad ke-19 dan ke-20, menjadi nama agama yang spesifik. Menurutnya, umat Muslim, seperti penganut agama lain, telah mengubah makna istilah agama ini karena semakin sadar akan identitas kelompok mereka. Smith juga menekankan bahwa dalam Al-Quran, istilah “iman” lebih sering digunakan daripada “Islam”, yang menunjukkan bahwa konsep “Islam” sebagai nama agama adalah perkembangan yang relatif baru.[43] Dengan demikian, ia berusaha menunjukkan bahwa Islam sebagai agama telah mengalami proses evolusi, sebuah pandangan yang bertentangan dengan keyakinan bahwa Islam sejak awal adalah agama yang lengkap dan sempurna.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas menentang pandangan tentang makna Islam seperti yang dinarasikan Smith tersebut. Al-Attas menegaskan bahwa Islam bukan sekadar kata kerja verbal yang berarti penyerahan diri, melainkan nama yang diberikan oleh Tuhan sebagai agama wahyu yang lengkap dan sempurna. Menurut Al-Attas, Islam mencakup ketaatan kepada Allah dan Nabi Muhammad SAW serta mencerminkan keimanan yang melibatkan pembenaran hati dan pikiran, pengakuan lisan, dan diwujudkan dalam perbuatan. Dengan demikian, Al-Attas menolak pandangan Smith yang menganggap Islam sebagai hasil perkembangan sejarah dan bukan sebagai nama sistem agama yang khusus sejak awal.[44]

Penutup

Uraian singkat di atas memberikan gambaran umum bahwa orientalisme telah berkembang selama berabad-abad, di mana para sarjana Barat berusaha mempelajari dan menginterpretasikan dunia Timur, khususnya Islam, melalui lensa budaya dan intelektual mereka. Namun, banyak dari kajian ini dijalankan dengan pendekatan yang tidak sepenuhnya objektif, sering kali dipengaruhi oleh stereotip dan bias. Beberapa orientalis, seperti yang telah disebutkan, bahkan secara terang-terangan mengkritik dan mendiskreditkan Islam, yang pada akhirnya menghasilkan pandangan yang tidak akurat dan tidak adil. Meskipun ada orientalis yang berupaya untuk mendekati studi ini dengan cara yang lebih netral dan komprehensif, kerangka pemikiran yang mereka gunakan tetap cenderung dipengaruhi oleh pandangan dunia Barat. Lebih jauh, orientalisme tidak dapat dipisahkan dari konteks kolonialisme dan westernisasi, di mana kajian ini sering digunakan sebagai alat untuk mendukung hegemoni Barat atas Timur. Dalam konteks ini, sangat penting bagi umat Islam untuk bersikap kritis dan tidak menerima begitu saja kerangka berpikir orientalisme dalam studi Islam. Sebagai respons terhadap orientalisme, munculnya occidentalisme—yaitu kajian yang mempelajari dan mengkritisi dunia Barat dari sudut pandang Timur—merupakan gerakan intelektual yang wajar dan diperlukan. Occidentalisme berfungsi sebagai kontra-narasi yang menyeimbangkan wacana global dan memungkinkan terjadinya dialog yang lebih konstruktif.


[1] Munawar A. Anees, “Islamophobia, Neo-Orientalism, and the Prophet,” Baseerah.Com.Pk, 2012, 4.

[2] William Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, (London: Oxford at The Clarendon Press, 1953), 51-52.

[3] “How the New ‘Aladdin’ Stacks up against a Century of Hollywood Stereotyping,” Theconversation.Com, 2019, https://theconversation.com/bagaimana-film-aladdin-yang-baru-melawan-stereotip-hollywood-118765.

[4] Rakha Raditya, “Representasi Orang Timur Tengah Sebagai Tokoh Teroris Dalam Film Hollywood,” Kompasiana, 2014.

[5] Hamid Fahmy Zarkasyi, “Tradisi Orientalisme Dan Framework Studi Al-Qur’an,” Tsaqafah 7, no. 1 (2011): 3, doi:10.21111/tsaqafah.v7i1.105.

[6] Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999), 290.

[7] Abdul Rahim, “Sejarah Perkembangan Orientalisme,” HUNAFA: Jurnal Studia Islamika 7, no. 2 (2010): 181, doi:10.24239/jsi.v7i2.100.179-192.

[8] Yoesoef Sou’yb, Orientalisme Dan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 3.

[9] Edward W. Said, Orientalism, Jews, Christians, and the Abode of Islam (New York: Vintage Books, 1978), doi:10.7208/chicago/9780226471099.003.0001.

[10] Ibid., 92.

[11] Zarkasyi, “Tradisi Orientalisme Dan Framework Studi Al-Qur’an,” 3.

[12] R.W. Southern Western Views of Islam in the Middle Ages, 3rd edition, (Harvard: Harvard University Press, 1978), 91-92, 108-109.

[13] Norman Daniel, Islam and the West, The Making of an Image, (Boston: Oneworld Publication, 2000), h. 246-296.

[14] Zarkasyi, “Tradisi Orientalisme Dan Framework Studi Al-Qur’an,” 5.

[15] Hamdani, Moh Salman. “John Louis Esposito Tentang Dialog Peradaban Islam-Barat.” KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi 7, no. 1 (2013).

[16] Zarkasyi, “Tradisi Orientalisme Dan Framework Studi Al-Qur’an,” 6.

[17] Ibid.

[18] W.Cantwell Smith On Understanding Islam-Selected Studies, (the Hague, 1981), 296

[19] Sir Hamilton Gibb, Pre-Islamic Monotheism in Arabia, (Harvard: Harvard Theological Review, 55, 1962), 269.

[20] Abd al-Rahman Badawi, Dirasah al-Mustasyriqin hawl Shihah al-Syi’r al-Jahili, (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1997), 208.

[21] Kurdi Kurdi, “Pandangan Orientalis Terhadap Al-Qur’an: ‘Teori Pengaruh’ Al-Qur’an Theodor Nöldeke,” Religia 14, no. 2 (2017): 192, doi:10.28918/religia.v14i2.89.

[22] Theodor Noldeke, The History of Quran, (ed.). Wolfgang H. Behn. (Leiden-Boston: Brill, 2013).

[23] Morteza Karimi-Nia, “The Historiography of the Qur’an in the Muslim World: The Influence of Theodor Nöldeke,” Journal of Qur’anic Studies 15, no. 1 (2013): 46–68, doi:10.3366/jqs.2013.0077.

[24] Muhammad Mustafa Al-Azami, The history of the Quranic text: From revelation to compilation: A comparative study with the Old and New Testaments (London: Turath Publishing, 2008).

[25] Arofatul Muawanah, “Relasi Pemikiran Nabia Abbott Dan Ignaz Goldziher Dalam Studi Á¤ adÄ «th.” Islamika Inside: Jurnal Keislaman dan Humaniora 3, no. 2 (2017): 143-164.

[26] Zikri Darussamin, “Muhammadanische Studien (Eksistensi Dan Implikasinya Dalam Studi Hadis),” Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman 2, no. 2 (2003): 158–81.

[27] Vrisko Putra Vachruddin, “Analisis Faktor Koneksitas Kritik Hadis antara Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht.” Multidisciplinary Indonesian Center Journal (MICJO) 1, no. 1 (2024): 138-155.

[28] Ecky Syahrullah, “Kritik Atas Kritik Ignaz Goldziher Tentang Qirā’āt.” Al-Itqan: Jurnal Studi Al-Qur’an 3 (2017): 118-38.

[29] Achmat Burhanuddin, “Pembuktian Tawqîfî QirâÂt Al-Qur’an sebagai Bantahan terhadap Pemikiran Ignaz Goldziher.” PhD diss., Institut PTIQ Jakarta, 2019.

[30] Raihan and Syafieh, “Menyoal Kritik Ignaz Goldziher Terhadap Al-Qur’an Dalam Kitab Mazhahib Al-Tafsir,” Al-Fawatih : Jurnal Kajian Al-Qur’an Dan Hadis 3, no. 2 (2022): 130–49.

[31] Harda Armayanto, Adib Fattah Suntoro,  “Snouck Hurgronje and the Tradition of Orientalism in Indonesia.” Tasfiyah: Jurnal Pemikiran Islam 7, no. 2 (2023): 263-287.

[32] Christian Snouck Hurgronje, De Atjehers, (Leiden: Brill, 1893).

[33] Dita Hendriani, “Snouck Hurgronje (1857-1936): Biografi dan Pemikirannya Tentang Islam di Indonesia.” Jurnal Widya Citra 1, no. 1 (2020): 54-70.

[34] Harry J. Benda, “Christiaan Snouck Hurgronje and the foundations of Dutch Islamic policy in Indonesia.” The Journal of Modern History 30, no. 4 (1958): 338-347.

[35] Muslih Muslih, “Membedah Pemikiran Arthur Jeffery Seputar Variasi Teks Al-Fatihah (Kajian Ortografi Dan Resitasi Terhadap Variasi Teks Al-Fatihah),” Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur’an Dan Tafsir 1, no. 1 (2017): 53–62, doi:10.15575/al-bayan.v1i1.1667.

[36] Muzzayin, “Pendekatan Historis-Kritis dalam Studi al-Qur’an: Studi Perbandingan terhadap Pemikiran Theodore Noldeke dan Arthur Jeffery, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2015), 116-122.

[37] Akhmad Roja Badrus Zaman, “Menyoal Kritik Orientalis Terhadap Qirā’at: Studi Kritis Terhadap Pemikiran Arthur Jefrey Mengenai Ragam Bacaan Al-Qur’an,” Ilmu Ushuluddin 7, no. 2 (2020): 185–94, doi:10.15408/iu.v7i2.16583.

[38] Muhammad Luthfi Dhulkifli, “Kontroversi Surat Al-Fatihah Dalam Pandangan Arthur Jeffery,” Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Al-Hadits 13, no. 2 (2020): 113–36, doi:10.24042/al-dzikra.v13i2.3640.

[39] Danang Fachri Adz Dzikri and Ni’matus Solehah, “Pemikiran William Montgomery Watt Tentang Sosok Muhammad Dalam Karyanya Muhammad Prophet And Tasteman,” Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Al-Hadits 16, no. 1 (2022): 1–14, doi:10.24042/al-dzikra.v16i1.10941.

[40] Alfa Dini Savitri, Ajid Thohir, and Ajid Hakim, “Muhammad Prophet and Statesman Karya William Montgomery: Kajian Historiografi Sirah Nabawiyah Dan Orientalisme,” Definisi: Jurnal Agama Dan Sosial-Humaniora 2, no. 2 (2023): 66–84.

[41] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Bogor : Pustaka Litera AntarNusa, 2003), 119.

[42] Adian Husaini, “Mengenal Prof. Wilfred Cantwell Smith,” Www.Adianhusaini.Id, 2021, https://adianhusaini.id/detailpost/mengenal-prof-wilfred-cantwell-smith.

[43] Jarman Arroisi and Minhajul Afkar, “Islam on Al-Attas and Wilfred C Smith Perspective (Analysis Study on The Meaning of Islamic Religion),” Kalimah: Jurnal Studi Agama Dan Pemikiran Islam 18, no. 2 (2020): 301–5, doi:10.21111/klm.v18i2.4871.

[44] Ibid., 308.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *