Menjelang peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 2024 ini, muncul kontroversi yang menghebohkan publik. Yaitu ketika para Muslimah Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) dilarang mengenakan jilbab pada acara upacara peringatan kemerdekaan oleh BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).[1] Kebijakan ini memicu polemik yang menunjukkan ketidakselarasan dengan prinsip-prinsip dasar Pancasila, terutama Sila Pertama yang menjunjung tinggi kebebasan beragama. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, melalui Sekretaris Umum Abdul Mu’ti, menyesalkan dugaan adanya larangan berjilbab tersebut. Abdul Mu’ti menegaskan bahwa larangan tersebut sangat bertentangan dengan Pancasila dan kebebasan beragama. Menurutnya, larangan ini merupakan bentuk pemaksaan yang tidak seharusnya diterapkan kepada perempuan manapun.[2]
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa larangan penggunaan jilbab bagi Paskibraka yang dikeluarkan oleh BPIP merupakan kebijakan yang tidak bijak, tidak adil, dan tidak beradab. Hal ini disampaikan oleh Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, yang menegaskan bahwa kebijakan tersebut melanggar konstitusi dan Pancasila. Kiai Cholil juga menyoroti bahwa BPIP telah melanggar peraturannya sendiri, yaitu Peraturan BPIP RI Nomor 3 Tahun 2022, dengan menghapus ciput bagi putri berjilbab dari kelengkapan atribut Paskibraka.[3] Keputusan ini, menurutnya, tidak hanya menunjukkan kurangnya sensitivitas terhadap nilai-nilai keagamaan, tetapi juga merupakan bentuk diskriminasi terhadap umat Islam di negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Lebih jauh, ia menekankan bahwa sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” mengamanatkan kebebasan menjalankan ajaran agama, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (1). Oleh karena itu, Kiai Cholil mendesak agar aturan BPIP yang melarang jilbab ini segera dicabut.[4]
Berangkat dari kasus tersebut, menarik untuk didalami hubungan antara Pancasila dan hak kebebasan beragama. Sebagaimana KH Cholil Nafis tegaskan bahwa kebijakan yang memicu polemik ini dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Pancasila, khususnya Sila Pertama yang menjunjung tinggi kebebasan beragama. Artikel ini akan mengulas tentang nilai-nilai Pancasila dan bagaimana hak beragama seharusnya dilindungi di Indonesia.
Pancasila sebagai Dasar dan Worldview Bernegara
Pancasila secara resmi termuat dalam Pembukaan UUD 1945, alinea IV, meskipun istilah “Pancasila” tidak disebutkan secara eksplisit.[5] Sebagai dasar negara, Pancasila diwakili oleh lima sila yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditetapkan oleh BPUPKI/PPKI sebagai fondasi negara. Pembukaan UUD 1945 memiliki kedudukan yang sangat mendasar karena memuat prinsip-prinsip, asas-asas, dan tujuan pendirian negara, serta menjadi dasar bagi seluruh pasal dalam UUD 1945.[6]
Pembukaan UUD 1945 mencerminkan pokok-pokok pikiran yang dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal konstitusi, seperti hakikat, bentuk, dan pemerintahan negara. Rumusan Pancasila yang ada di Pembukaan UUD 1945 menunjukkan maksud dari BPUPKI/PPKI sebagai pendiri negara.[7] Dengan demikian, Pembukaan UUD 1945 memiliki kekuatan normatif yang fundamental sebagai dasar negara Indonesia dan merupakan sumber dari segala norma hukum di negara ini.
Namun Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai filosofi mendasar dalam bernegara. Soekarno menyebut Pancasila sebagai “philosophische grondslag” atau filosofi dasar, yang setara dengan konsep Weltanschauung atau Worldview dalam bahasa Inggris.[8] Bagi Ninian Smart, Worldview atau pandangan hidup adalah gabungan dari kepercayaan, perasaan, dan pemikiran yang mempengaruhi tindakan sosial dan moral seseorang.[9] Alparslan Acikgence menjelaskan bahwa pandangan hidup ini membentuk dasar dari setiap perilaku manusia.[10] Bagi Thomas Kuhn, worldview setara dengan paradigma, yaitu seperangkat keyakinan yang membimbing tindakan kita.[11]
Sebagai worldview bangsa Indonesia, Pancasila harus berfungsi sebagai pendorong untuk keberlangsungan dan perubahan sosial serta moral. Pancasila seharusnya menjadi dasar bagi setiap perilaku bangsa dan memandu tindakan sehari-hari. Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan, sebagai worldview, Pancasila memerlukan referensi dari ajaran agama-agama. Beliau menjelaskan secara rinci, kandungan masing-masing sila tersebut. Menurut beliau, sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” mencerminkan Tuhan dalam konteks agama-agama, bukan sembarang Tuhan atau Tuhan yang dianggap oleh kelompok tertentu. Jika tidak diselaraskan dengan agama-agama, Pancasila dapat dianggap sebagai agama itu sendiri, yang bertentangan dengan konsep awalnya. Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab adalah bagian dari implementasi keimanan dalam Islam. Sila ketiga, persatuan Indonesia, diwujudkan dengan sikap menghargai orang lain, menyambung hubungan silaturrahmi dengan sesama, menolong orang yang dalam kesusahan dan sebagainya. Sejarah telah membuktikan bahwa persatuan nusantara tidak lepas dari peran para ulama. Sila keempat, mengenai kerakyatan dan musyawarah, mencerminkan ajaran Islam tentang musyawarah untuk menyelesaikan masalah (QS Ali Imran 159; al-Syura 38). Musyawarah dan kompromi adalah bagian dari tradisi Islam yang diadopsi oleh para pendiri negara Indonesia dalam menyusun Pancasila. Sila kelima, keadilan sosial, juga selaras dengan ajaran Islam. Rukun Islam seperti shalat, puasa, zakat, dan haji mengandung dimensi sosial yang tinggi. Misalnya, zakat berfungsi untuk menyelesaikan masalah sosial dari kelompok masyarakat tertentu.[12]
Prof. Hamid menegaskan bahwa, Pancasila mencerminkan worldview Islam, dan bahasa-bahasa kunci dalam Pancasila seperti “adil,” “adab,” “rakyat,” “musyawarah,” dan “wakil” berasal dari bahasa Islam.[13] Oleh karena itu, seseorang yang mengklaim dirinya Pancasilais harus memperlihatkan pengamalan sila pertama Pancasila. Orang yang mengabaikan sila pertama, seperti terlibat dalam tindakan intoleransi atau pembatasan kebebasan beragama, dianggap tidak mengamalkan Pancasila dengan benar. Sebaliknya, orang yang percaya dan menjalankan sila pertama dengan konsekuen adalah Pancasilais sejati, dan dalam Islam, mereka disebut sebagai Mukmin.
Kebebasan Beragama Menurut Pancasila
Kebebasan beragama berarti setiap orang memiliki hak untuk mengamalkan ajaran agamanya sesuai dengan keyakinannya kepada Tuhan. Dalam pandangan Islam, kebebasan beragama berarti tidak adanya hambatan bagi seseorang untuk mengekspresikan keyakinannya dalam memilih, menjalankan, dan berdiskusi tentang agama tanpa adanya paksaan atau ancaman dari pihak lain.[14] Sesuai firman Allah dalam al-Qur’an, “Tidak ada paksaan dalam memasuki agama” (Q.S. al-Baqarah/2: 256). Dengan demikian, kebebasan beragama adalah hak religius yang melekat pada martabat manusia, bukan sekadar pemberian dari negara. Sebaliknya, hukum berfungsi untuk melindungi dan menjamin kebebasan beragama tersebut.
Pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan atau diubah urutannya. Kelima sila dalam Pancasila harus diterima sebagai suatu keseluruhan yang bulat, dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memegang bobot lebih besar karena hubungannya dengan Tuhan.[15] Notonagoro, dalam bukunya Pancasila Secara Ilmiah Populer, menyimpulkan kata-kata kunci dalam Pancasila sebagai: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.[16] Artinya ketuhanan memiliki porsi yang besar dalam pancasila itu. Dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia, Pancasila menjadi dasar utama. Kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia dijamin oleh Pancasila, di mana Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan sesuai dengan agama masing-masing. Dengan demikian, beragama adalah hak asasi yang harus dihormati dan diakui oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Keempat sila dalam Pancasila, dari sila kedua hingga kelima, secara tersirat mengandung nilai-nilai yang mendukung penghormatan terhadap hak beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia. Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” menekankan pentingnya penghormatan terhadap martabat manusia dan kebebasan memilih keyakinan, sehingga setiap individu bebas menjalankan agama tanpa diskriminasi. Sila ketiga, “Persatuan Indonesia,” menggarisbawahi pentingnya kerukunan dan toleransi antar umat beragama sebagai fondasi persatuan bangsa. Sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,” menuntut agar setiap keputusan yang menyangkut kehidupan bersama, termasuk kebebasan beragama, diambil melalui musyawarah yang menghargai pandangan dan keyakinan semua pihak. Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” menekankan perlunya keadilan dan kesetaraan dalam perlakuan terhadap semua warga negara, termasuk dalam kebebasan menjalankan agama.[17] Dengan demikian, Pancasila menjamin keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan bersama dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan utuh, termasuk dalam konteks kebebasan beragama.
Dalam sejarahnya, perumusan sila pertama sempat mengalami kesulitan dan perdebatan sengit karena keragaman agama di Indonesia. Namun, berkat kesadaran akan pentingnya kesatuan bangsa, para tokoh agama berhasil merumuskan sila ini sebagai “Tuhan Yang Maha Esa,” yang diterima oleh semua kelompok.[18] Ketuhanan Yang Maha Esa diartikan sebagai keyakinan akan adanya kekuasaan tertinggi dan abadi yang mengatur dan mengendalikan segala sesuatu. Dengan menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, negara mengakui bahwa penyelenggaraan negara harus sejalan dengan prinsip Ilahi. Dengan demikian, istilah ini mendorong semua warga negara untuk menerapkan konsep ketuhanan dalam kehidupan mereka dengan sikap toleransi.
Peran umat beragama sangat penting dalam menjamin kebebasan beragama. Setiap individu harus mendukung dan mematuhi prinsip kebebasan beragama sesuai Pancasila dan UUD 1945, serta mengkritik kekuasaan yang melanggar norma umum. Secara praktis, sila pertama mengharuskan pembinaan kerukunan dan toleransi antar umat beragama. Hal ini sejalan dengan Ketetapan MPR No. II MPR/1978, yang menekankan pentingnya saling menghormati kebebasan beribadah sesuai keyakinan masing-masing tanpa memaksakan agama kepada orang lain.[19]
Kasus di atas mengenai larangan jilbab bagi anggota putri Pasukan Pengibaran Bendera Pusaka (Paskibraka) 2024 mencerminkan ketidakseimbangan antara peraturan administratif dan prinsip fundamental Pancasila, khususnya sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila seharusnya menjadi landasan moral yang mendorong tindakan sesuai dengan ajaran agama, termasuk dalam menghormati hak dasar individu untuk menjalankan keyakinannya. Dalam konteks ini, larangan tersebut dapat dilihat sebagai pengabaian terhadap nilai-nilai Pancasila yang seharusnya menghormati kebebasan beragama dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebagaimana keterangan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi di atas, Pancasila harus mencerminkan referensi ajaran agama-agama dan tidak boleh diinterpretasikan secara sempit atau bertentangan dengan prinsip spiritual yang mendasarinya. Tindakan BPIP yang membatasi ekspresi keagamaan, meskipun dengan alasan peraturan, tidak selaras dengan semangat Pancasila yang menekankan penghormatan terhadap keimanan dan kebebasan beragama sebagai dasar moral kehidupan berbangsa. Hal ini menunjukkan pentingnya mengamalkan pancasila dengan benar untuk menjaga keselarasan antara peraturan negara dan prinsip dasar Pancasila sebagai panduan moral bangsa.[]
Oleh: Adib Fattah Suntoro, M.Ag.*
* Peneliti Centre for Islamic and Occidental Studies, Universitas Darussalam Gontor
[1] Aryo Putranto Saptohutomo, “BPIP Dianggap Langgar Konstitusi Soal Larangan Jilbab Paskibraka,” Kompas.Com, 2024, https://nasional.kompas.com/read/2024/08/15/12165061/bpip-dianggap-langgar-konstitusi-soal-larangan-jilbab-paskibraka.
[2] “Muhammadiyah: Larangan Jilbab Paskibraka Nasional Bertentangan Dengan Pancasila,” Suara Muhamadiyah, n.d., https://suaramuhammadiyah.id/read/muhammadiyah-larangan-jilbab-paskibraka-nasional-bertentangan-dengan-pancasila.
[3] Bidang Pembinaan Ideologi Pancasila, “Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Peraturan Pelaksana Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2022 Tentang Program Pasukan Pengibar Bendera Pusaka,” Pub. L. No. 3 (2022), https://jdih.bpip.go.id/common/dokumen/2022_perbpip_3_peraturanpelaksanaperpres51tahun2022_salinanjdih.pdf.
[4] Junaidi, “BPIP Larang Jilbab Paskibraka, MUI: Kebijakan Yang Tak Bijak, Tak Adil, Dan Tak Beradab,” Mui.or.Id, 2024, https://mui.or.id/baca/berita/bpip-larang-jilbab-paskibraka-mui-kebijakan-yang-tak-bijak-tak-adil-dan-tak-beradab.
[5] “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945” (1945), https://www.mkri.id/public/content/infoumum/regulation/pdf/UUD45 ASLI.pdf.
[6] Kirdi Dipoyudo, Pancasila: Arti Dan Makna (Yogyakarta: Kanisius, 1983), 15–16.
[7] Kristogonus T Lagno, Largus Nadeak, and Yogi Sinurat, “Pancasila Sebagai Landasan Moral Kebebasan Beragama Di Indonesia,” in Seminar Nasional Filsafat Teologi (Medan: LPPM Universitas Katolik Santo Thomas, 2023), 12, http://www.ejournal.ust.ac.id/index.php/SNFT/article/view/2621.
[8] Danu Umbara, “Pancasila Sebagai Philosopische Grondslag Dan Kedudukan Pancasila Dikaitkan Dengan Theorie Von Stafenufbau Der Rechtsordnung,” Djkn.Kemenkeu.Go.Id, 2020, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13144/Pancasila-Sebagai-Philosopische-Grondslag-Dan-Kedudukan-Pancasila-Dikaitkan-Dengan-Theorie-Von-Stafenufbau-Der-Rechtsordnung.html#:~:text=Pancasila tidak dapat diubah dan,merdeka yang kekal dan abadi”.
[9] Smart, Ninian. “The Philosophy of Worldviews — that is, the Philosophy of Religion Transformed” Neue Zeitschrift für Systematische Theologie und Religionsphilosophie, vol. 23, no. Jahresband, 1981, pp. 212-224. https://doi.org/10.1515/nzst.1981.23.1.212
[10] Acikgence, Alparslan. “Model for the Development of Science and Humanities Curriculum in Islamic Universities.” TSAQAFAH 8, no. 1 (2012): 161-182.
[11] Jones, Caroline A. “The modernist paradigm: the artworld and Thomas Kuhn.” Critical Inquiry 26, no. 3 (2000): 488-528.
[12] Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Pancasila,” INSISTShttps://Insists.Id/Worldview-Pancasila/, 2017, https://insists.id/worldview-pancasila/.
[13] Ibid.
[14] Lukmanul Hakim, “Kebebasan Beragama Dalam Perspektif Islam,” Tajdid : Jurnal Ilmu Keislaman Dan Ushuluddin 20, no. 1 (2019): 41–53, doi:10.15548/tajdid.v20i1.166.
[15] Lagno, Nadeak, and Sinurat, “Pancasila Sebagai Landasan Moral Kebebasan Beragama Di Indonesia,” 13.
[16] Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1975).
[17] Nurul Nisa and Dinie Anggraeni Dewi, “Pancasila Sebagai Dasar Dalam Kebebasan Beragama,” Jurnal Pendidikan Tambusai 5, no. 1 (2021): 890–96.
[18] Tinambunan, Dewi Romantika, and Yakobus Ndona. “Konteks Histori Yang Menyebabkan Lahirnya Rumusan Sila Pertama Pancasila.” RISOMA: Jurnal Riset Sosial Humaniora dan Pendidikan 2, no. 4 (2024): 148-154.
[19] Majelis Permusyawaratan Rakyat, “Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa),” TAP MPR no II/MPR/1978 § (1978), https://uu.vlsm.org/MPR/1978/TAP-MPR-1978-002-PEDOMAN-PENGHAYATAN-DAN-PENGAMALAN-PANCASILA.pdf.