Kapitalisasi Pendidikan Tinggi Berbuah Edu-Factory

SIMAN–Dunia kampus atau perguruan tinggi menjadi sorotan pemateri CIOS Researcher Forum (CRF), Ustazah Alin Safaraz Himam, Selasa (9/7) lalu. Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) angkatan ke-18 ini mengangkat tema yang menarik, yaitu “Metamorfosis Universitas: Fenomena Edu-Factory di Perguruan Tinggi”.

Kader ulama dari Jember ini membahas mengenai polemik status dan kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) serta dampaknya terhadap dunia pendidikan tinggi di Indonesia.

Ustazah Alin menyoroti bagaimana teknologi telah menjadi alat yang kuat dalam mengubah metode pengajaran dan pembelajaran. Teknologi memberikan akses yang lebih luas terhadap pendidikan serta berbagai cara komunikasi dan kerja sama. Namun, ia menyayangkan kapitalisasi pendidikan tinggi telah mengubah universitas menjadi “Edu-Factory” atau Pabrik Pendidikan.

Saat ini, perguruan tinggi dijalankan mirip dengan pabrik, yaitu fokus pada efisiensi dan output pendidikan. “Mental atau mindset masyarakat kita terhegemoni dengan ungkapan kuliah itu untuk bekerja dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Akhirnya, kuliah sama dengan kerja karena sistem pendidikannya didorong jadi seperti itu,” ujarnya.

Lalu muncullah istilah atau konsep “lulusan siap pakai” yang sudah lama marak di masyarakat. Siap pakai untuk apa? Untuk dipekerjakan. Untuk dijadikan pekerja. Kasus ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi sudah mengglobal.

Bahkan, lanjut Ustazah Alin, Presiden Harvard, Drew Faust, dalam pidatonya di World Economic Forum 2015, Davos, mengatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan tangga terkuat dan terkokoh untuk meningkatkan mobilitas sosial-ekonomi. Tampak sekali pemikiran kapitalisnya.

Inilah yang memunculkan komentar dari penulis buku How University Dies, Peter Fleming. Ia membuat istilah populer, yaitu Edu-Factory atau “Pabrik Pendidikan”. Fleming mengatakan di bukunya bahwa kapitalisasi telah menyebabkan perguruan tinggi harus membuktikan dirinya sebagai pelayan dari dunia kerja. Secara tidak langsung, universitas telah berubah menjadi pabrik industri yang menghasilkan tenaga kerja.

Sebelum membahas lebih jauh tentang Edu-Factory, Ustazah Alin menerangkan bagaimana pendidikan bermetamorfosis dari masa ke masa. “Pada zaman kolonial, sekolah formal di Indonesia didirikan sebagai mesin produksi ambteenar (pegawai negeri) Pemerintah Hindia Belanda. Kata Pramoedya, sekolah formal kala itu hanya melahirkan manusia bermental jongos dan babu,” ujarnya.

Memasuki era reformasi, fokus pendidikan beralih ke pemberdayaan siswa dan kurikulum yang lebih inklusif. Akibatnya adalah terjadinya revolusi korporasi, revolusi finansial, dan revolusi manajerial.

Universitas pun mulai terindustrialisasi dengan munculnya PTN BH, masuknya perusahaan swasta ke universitas, isu student loan, dan lain sebagainya. Rupanya, kondisi kolonial yang digambarkan oleh Pak Pram itu diwariskan sampai sekarang, ketika sekolah formal berada dalam sistem masyarakat kapitalis-industri.

Selanjutnya, mengutip Peter Fleming, Ustazah Alin menjelaskan pengertian Edu-Factory, yaitu produk kekuasaan yang memiliki urgensi pada akuntabilitas finansial dan kompetisi pasar, merombak struktur manajemen pendidikan tinggi menyerupai perusahaan, marketisasi pendidikan tinggi, dan mengeksploitasi hubungan antara pengajar dan peserta didik, serta akademisi dan administrator.

Dengan kata lain, Edu-Factory merupakan sebuah konsep yang menggabungkan pendidikan dengan metode produksi industri. Sistem pendidikan diorganisasi dan dijalankan seperti pabrik. Dalam model ini, proses pembelajaran diatur sedemikian rupa untuk meningkatkan efisiensi dan output pendidikan, mirip dengan bagaimana pabrik mengoptimalkan produksinya.

Edu-Factory fokus pada ekonomi dan komersial dan mendapatkan pengaruh dari perusahaan swasta. Edu-Factory juga dipengaruhi globalisasi yang tak dapat dihindari. Edu-Factory pun menyebabkan terjadinya ketidaksetaraan akses pendidikan dan mengurangi kualitas pendidikan. Parahnya, Edu-Factory dijalankan dengan mengabaikan pengembangan karakter.

Semua itu ditandai dengan menurunnya minat mahasiswa terhadap bidang teoritis yang tidak banyak praktiknya. Mereka mulai berorientasi pada “nanti bisa kerja apa” bukan “nanti bisa mendalami dan menghasilkan apa”. Adanya kebijakan tentang skripsi yang tidak wajib juga berdampak dalam mengurangi motivasi mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan menulis dan berpikir kritis.

Dengan demikian, pendidikan tinggi saat ini telah mengalami metamorfosis signifikan di era kapitalisme global. Universitas tidak lagi hanya menjadi tempat untuk mencari ilmu, tetapi juga sebagai penyedia tenaga kerja siap pakai untuk industri.

Diakhir presentasinya, Ustazah Alin mengajak semua pihak untuk terus kritis terhadap perkembangan dunia kampus ini dan berusaha mengembalikan tujuan pendidikan tinggi sebagai sarana pembentukan pribadi yang lebih baik sesuai dengan nilai-nilai Islam. zahin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *