Pengertian ‘Aql Menurut Para Mufasir

Amir Sahidin, M.Ag. (Peneliti CIOS UNIDA Gontor)

Pendahuluan

Lafal ‘aql (عقل) yang dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan “akal”, memiliki kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Kedudukan tersebut dapat diketahui dari fungsinya yang agung. Al-Qur’an menyebutkan bahwa fungsi ‘aql adalah untuk memperhatikan, bertafakur, serta mengambil ibrah dari ayat-ayat Allah, sehingga dengannya manusia akan menemukan kebenaran, mendapatkan hidayah dan terhindar dari kekufuran.[1] Dalam bahasa Al-Qur’an orang yang mau menggunakan akalnya sering disebut dengan istilah Ulul Albâb atau Ulin Nuha. Sebaliknya, orang yang enggan menggunakan akalnya untuk berpikir dan menelaah ayat-ayat Allah, baik yang berupa ayat qauliyyah dalam al-Qur’an; ayat kaunaiyyah yang berwujud fenomena alam semesta; maupun ayat nafsiyyah yang ada pada diri sendiri, maka akan mendapat celaan dan teguran keras karena ia sama saja menafikan nikmat Allah berupa akal.[2] Al-Qur’an sering kali menegur mereka dengan ungkapan, أَفَلَا تَعْقِلُونَ , “Tidakkah engkau menggunakan akal?”[3]

Karena begitu perhatiannya Al-Qur’an terhadap penggunaan akal, terdapat 49 kali penyebutan derivasi dari kata ‘aql dalam bentuk kata kerjanya (fi’il), seperti kata ta’qilûn (تعقلون) terulang sebanyak 24 kali;[4] ya’qilûn (يعقلون) sebanyak 22 kali;[5] aqalûhu (عقلوه), na’qilu (نعقل), dan ya’qilu (يعقل) masing-masing sebanyak 1 kali.[6] Selain itu, Al-Qur’an sering kali mengungkapkan kata lain yang semakna dengan kata ‘aql, seperti yatafakkarûn, yatadabbarûn, yanzhurûn dan lain-lain. Belum lagi kata lainnya yang secara semantik identik dengan kata akal, seperti kata lubb dan nuhyah. Maka tidak heran jika pembahasan mengenai ‘aql, menjadi topik yang senantiasa diperbincangkan oleh para pemikir dalam berbagai tradisi keilmuan, baik ahli tafsir, teolog, hingga filosof.

Maka sebenarnya, diskursus mengenai makna ‘aql tidak sesederhana kelihatannya. Lafal ‘aql yang biasa diterjemahkan dengan “akal” sebenarnya tidak sepenuhnya mewakili arti yang dimaksudkan oleh kata asalnya. Karena kata akal dalam bahasa Indonesia hanya terkait dengan aktivitas intelektual atau penalaran rasional, sehingga ungkapan “berakal” sering dipakai untuk menyebut seseorang yang mampu berkomunikasi dengan orang lain, keadaan atau suatu masalah. Maka akal dalam bahasa Indonesia hanya menandai aspek kognitif dan sama sekali tidak terkait dengan subjek di luar aktivitas intelektual.[7] Oleh karenanya, pemahaman seperti ini akan mengurangi makna ‘aql dalam Al-Qur’an itu sendiri. Melihat realita ini, ditambah dengan sentralnya peranan akal dan kompleksitas maknanya dalam Al-Qur’an, mendorong penulis untuk mengkaji makna ‘aql dengan pendekatan dan pandangan para mufasir, baik secara etimologi maupun terminologi. Pendekatan para mufasir dalam memaknai ‘aql inilah yang jarang ditemukan diberbagai jurnal yang membahas terkait akal maupun ‘aql itu sendiri.[8]

Etimologi ‘Aql Menurut Para Mufasir

Dalam Al-Qur’an lafal atau kata ‘aql disebutkan sebanyak 49 kali dalam ayat-ayat yang berbeda. Semua kata tersebut diungkapkan dalam bentuk fi’il dan tidak pernah disebut dalam bentuk isim atau masdar, akan tetapi semuanya berasal dari kata ‘aqala. Para ahli tafsir menafsirkan istilah ‘aqala dan berbagai derivasi katanya dengan berbagai penafsiran, yaitu pemahaman (fahima),[9] mentadaburi (tadabbara)[10], mengetahui (‘alima),[11] berfikir (tafakara),[12] mengambil pelajaran (i‘tabara),[13] mencegah (mana‘a atau habasa),[14] cerdas (fathana),[15] dan mendalami (faqiha)[16], mengerti (‘arafa),[17] melihat dan meneliti (nadhara wa ta’amala)[18] Perbedaan penafsiran tersebut dikarenakan perbedaan konteks pada masing-masing ayat yang bisa dikelompokkan menjadi tiga konteks sebagai berikut:

Konteks pertama, tentang alam semesta atau kekuasaan Allah, tertuang pada surat al-Baqarah: 73, 164, dan 242; al-Ra’d: 4; al-Nahl: 12 dan 67; al-Rum 24 dan 28; Yasin: 68; Jatsiyah: 5; al-Mukminun: 80; al-Nur: 61; al-Shu’ara: 28; Gafir: 67; al-Hadid: 17; dan al-Ankabut: 43. Misalnya firman Allah, وَيُرِيكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ ,[19] al-Baghawi menafsirkan ‘aqala dalam ayat tersebut dengan mencegah (tamna‘ûn).[20] Berbeda dengan al-Baghawi, an-Nasafi serta Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin asy-Syuyuthi, mengartikan ‘aqala pada ayat tersebut dengan mengetahui (ta‘lamûn).[21] Adapun ath-Thabari mengartikannya dengan memahami (tafhamûn),[22] dan Al-Maraghi dengan mendalami (tafqahûn).[23] Misalnya lagi firman Allah, لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ,[24] an-Nafasi mengartikan ‘aqala dalam ayat ini dengan melihat menggunakan mata akal (yandhurûn bi ‘uyûn uqûlihim)[25]. Selaras dengan an-Nafasi, Zamahsyari menambahi dengan mengambil pelajaran (yandurûn bi ‘uyûn ‘uqûlihim wa ya’tabirûn).[26] Adapun al-Maraghi mengartikanya dengan mentadaburi dan melihat (yatadabar wa yandhur)[27] Kedua ayat serta penafsiran para ulama di atas, menurut penulis telah merepresentasikan tafsiran para ulama tentang ‘aql pada konteks alam semesta atau kekuasaan Allah.

Konteks kedua, tentang orang-orang kafir atau penentang Islam, tertuang dalam Surat al-Baqarah: 75, 76, 170 dan 171; Ali Imran: 65 dan 118; al-Maidah: 58 dan 103; al-An’am: 15; al-Anfal: 22; Yunus: 42 dan 100; al-Furqan: 44; al-Ankabut: 35 dan 63; al-Zumar: 43; al-Hasyr: 14; al-An’am: 32; al-A’raf: 169; Hud: 51; al-Haj: 46; al-Qashshash: 60; Yasin: 62; ash-Shaffat: 138; dan al-Mulk: 10. Misalnya firman Allah, ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ,[28] Ibnu Katsir, al-Baidhawi, al-Maraghi, Jalaluddin asy-Syuyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli serta an-Nasafi, mengartikan ‘aqala pada ayat tersebut dengan memahami (fahimû).[29] Berbeda dengan para ulama tersebut, al-Baghawi menafsirkan ‘aqala pada ayat itu dengan mengetahui (alimû).[30] Misalnya lagi, firman Allah, وَبِاللَّيْلِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ,[31] al-Baidhawi, an-Nafasi dan al-Maraghi memaknai ‘aqala pada ayat tersebut dengan mengambil pelajaran (ta’tabirûn).[32] Adapun ath-Thabari menafsirkannya dengan mentadaburi dan berfikir (ta’tabirûn wa tatafakkarûn)[33] Sedangkan al-Baidhawi dalam ayat yang berbeda (QS. Al-A’raf: 169) mengartikan ‘aqala dengan mengetahui (ya‘lamûn);[34] Kemudian Zamakhsyari pada ayat yang berbeda juga (QS. Al-Ankabut: 63) mengartikan ‘aqala dengan cerdas (tafhtanûn); dan ath-Thabari dalam ayat yang lain lagi (QS. Ali Imran: 118) menafsirkan ‘aqala dengan mengerti (ta’rifûn).

Konteks Ketiga, tentang al-Kitab atau Al-Qur’an, tertuang dalam surat al-Baqarah: 4; al-An’am: 44 dan 151; Yunus: 16; Yusuf: 2 dan 109; al-Anbiya: 10 dan 67; al-Zukhruf: 3; dan al-Hujurat: 4. Misalnya firman Allah, وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ,[35] Zamakhsyari dan an-Nasafi menafsirkan lafal ‘aqala pada ayat tersebut dengan cerdas (tafthanûn),[36] Ibnu Katsir mengartikannya dengan mengetahui (ya’lamûn),[37] Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin asy-Syuyuthi menafsirkannya dengan memahami (tafhamun),[38] al-Baidhawi dan al-Maraghi menafsirkannya dengan mencegah (habsu),[39] dan ath-Thabari menafsirkan ayat tersebut dengan memahami (tafqahûn) yang artinya mengerti.[40] Sedangkan dalam ayat lain (QS. Al-Anbiyah: 10) al-Maraghi menfsirkan kata ‘aqala dengan berfirkir (yatafakrûn),[41] sedangkan aqala pada surat al-Anbiya’: 67, diartikan al-Maraghi dengan mentadaburi (tatadabrûn),[42] sedangkan al-Baghawi menafsirkannya dengan mengerti (ta’rifûn).[43]

Dengan demikian kata ‘aql secara etimologi menurut para mufasir mengandung banyak makna sesuai dengan konteks ayat tersebut. Jika diteliti lebih dalam, konteks ayat terkait dengan kata ‘aqala tidak lepas dari tiga hal; pertama, tentang alam semesta atau kekuasaan Allah. Akal dalam konteks ini bermakna mencegah, mengetahui, memahami, mendalami, melihat dengan mata akal, melihat dan mentadaburi, serta melihat dengan mata akal dan mengambil pelajaran. Kedua, tentang orang-orang kafir atau penentang Islam. Akal dalam konteks ini bermakna memahami, mengetahui, mengambil pelajaran, mentadaburi dan berfikir, mengetahui, cerdas dan mengerti. Ketiga, tentang al-Kitab atau Al-Qur’an. Akal dalam konteks ini bermakna, cerdas, mengetahui, memahami, mencegah, berfikir, mentadaburi dan mengerti.

Terminologi ‘Aql Menurut Para Mufasir

Atas dasar pemahaman terhadap ayat-ayat di atas, para ulama terutama kalangan ahli tafsir mendefinisikan ‘aql secara terminologi dengan merangkumnya ke dalam dua terminologi besar, yaitu berkaitan dengan rubûbiyyah Allah dan ulûhiyyah-Nya. Secara rubûbiyyah diartikan oleh Zamakhsyari dalam tafsirnya, al-Kasyâf ‘an Haqâ‘iq Ghawâmidh al-Tanzîl, dengan mengacu pada ayat لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ yaitu: apa yang dilihat manusia dengan mata pemahaman dan penelaahan karena alam semesta merupakan ayat-ayat yang menunjukkan ke-Maha kuasaan dan keagungan-Nya.[44] Adapun secara ulûhiyah diartikan oleh al-Baghawi dalam tafsirnya, Ma‘âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân, dengan mengacu pada ayat وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ, yaitu: apa yang dapat mencegah pemiliknya dari kekufuran dan pengingkaran.[45] Kedua pengertian ini menurut penulis, telah merangkum ayat-ayat ‘aql baik dalam konteks alam semesta atau kekuasaan Allah, orang-orang kafir atau penentang Islam dan tentang al-Kitab atau Al-Qur’an, karena semua ayat-ayat ‘aql tersebut bertujuan untuk menambah keimanan dan mencegah dari kemaksiatan atau kekufuran. Sehingga orang-orang yang tidak menggunakan akal untuk menambah keimanan dan mencegah dari kekufuran sama saja ia tidak berakal menurut Al-Qur’an.

Simpulan

Dari seluruh pemaparan di atas dapat disimpulan dua hal penting berikut: pertama, kata ‘aql yang disebutkan sebanyak 49 ayat dalam al-Qur’an secara etimologi menurut para mufasir mengandung banyak makna sesuai dengan konteks ayat tersebut: (1) tentang alam semesta atau kekuasaan Allah. Akal dalam konteks ini bermakna mencegah, mengetahui, memahami, mendalami, melihat dengan mata akal, melihat dan mentadaburi, serta melihat dengan mata akal dan mengambil pelajaran. (2) tentang orang-orang kafir atau penentang Islam. Akal dalam konteks ini bermakna memahami, mengetahui, mengambil pelajaran, mentadaburi dan berfikir, mengetahui, cerdas dan mengerti. (3) tentang al-Kitab atau Al-Qur’an. Akal dalam konteks ini bermakna, cerdas, mengetahui, memahami, mencegah, berfikir, mentadaburi dan mengerti. Kedua, atas dasar pemahaman terhadap ayat-ayat di atas, para ulama ahli tafsir mendefinisikan ‘aql secara terminologi dengan merangkumnya ke dalam dua terminologi besar, yaitu terkait dengan rubûbiyyah Allah dan terkait dengan ulûhiyyah-Nya. Oleh karena itu, ‘aql dalam Al-Qur’an memiliki makna lebih luas dari sekedar diterjamahkan dengan kata akal.


[1] Adib Fattah Suntoro dan Amir Sahidin, “The Concept of ‘Aqal in the Al-Qur’an”, Tasfiyah: Jurnal Pemikiran Islam, vol. 5, no. 2, (2020),  246, https://doi.org/10.21111/tasfiyah.v5i2.6312

[2] Lihat, QS. Al-Zuhruf: 23-24.

[3] Lihat, QS. Al-Baqarah: 44 dan 76. Ali Imran: 65. Al-An’am: 32. Al-A’raf: 169. Yunus: 16. Hud: 51. Yusuf: 109. Al-Anbiya’: 10 dan 67. Al-Mukminun: 80. Al-Qashah: 60. Dan QS. Al-Shaffat: 138

[4] Lihat, QS. Al-Baqarah: 44, 73, 76 dan 242. Ali Imran: 65 dan 118. Al-An’am: 32 dan 151. Al-A’raf: 169. Yunus: 16. Hud: 51. Yusuf: 2 dan 109. Al-Anbiya’: 10 dan 67. Al-Mu’minun: 80. An-Nur: 61. Al-Shu’ara: 28. Al-Qasas: 60. Yasin: 62. As-Saffat: 138. Ghafir: 67. Al-Zukhruf: 3. Dan QS. Al-Hadid: 17

[5] Lihat, QS. Al-Baqarah: 164, 170 dan 171. Al-Maidah: 58 dan 103. Al-Anfal: 22. Yusuf: 42 dan 100. Al-Ra’d: 4. Al-Nahl: 12 dan 67. Al-Hajj: 46. Al-Furqan: 44. Al-Ankabut: 35 dan 63. Al-Rum: 24 dan 28.Yasin: 68. Al-Zumar: 43. Al-Jatsiyah: 5. Al-Hujurat: 4. Dan QS. Al-Hashr: 14

[6] Lihat, QS. Al-Baqarah: 75. Al-Mulk: 10. Dan, QS. Al-Ankabut: 43

[7] Hodri, “Penafsiran Akal Dalam Al-Qur’an”. Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, vol. 3, no: 1 (2013), 3

[8] Misalnya, Arifin Zein, “Tafir Al-Qur’an Tentang Akal”, Jurnal at-Tibyan, vol. 2, no. 2, Desember (2017), 235. Dadang Mahdar, “Kedudukan Akal Dalam Al-Qur’an dan Fungsinya Dalam Pendidikan Hukum Islam”, Adliya, vol. 8, no.1 Januari-Juni (2014), 58. Hodri, “Penafsiran Akal Dalam Al-Qur’an”. Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, vol. 3, no: 1 (2013), 2. Kesemua jurnal ini tidak menyebutkan makna etimologi dan terminologi dari para mufasir.

[9] Ibnu Jarir ath-Thabari, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, (Beirut: Muasasah al-Risalah, 2000), vol. 17, 551. Ahmad al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi, (Mesir: Syirkah al-Musthafa al-Bab, 1946), vol. 14, 40. Nashiruddin al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, (Beirut: Dar Ihya’ Turats, 1418 H), vol. 1, 148. Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm, (Dar Kutub ‘Ilmiyyah, 1419 H), vol. 1, 307. Abdullah bin Ahmad an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl (Beirut: Dar al-Kalim al-Thayyib, 1998), vol. 1, 102. Jalaluddin al-Mahali dan Jalaluddin asy-Syuyuthi, Tafsîr al-Jalâlain, (Kairo: Dar al-Hadits, tt), 303

[10] Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm…, vol. I, 502. Abdurrahman as-Sa’di, Taisîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Manân, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 631. Jalaluddin al-Mahali dan Jalaluddin asy-Syuyuthi, Tafsîr al-Jalâlain…, vol. 1, 52. Ahmad al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi…, vol. 2, 37. Ibnu Jarir ath-Thabari, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân…, vol 3, 277.

[11] Al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân, (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats, 1420), vol. 1, 135. Nashiruddin al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl…, vol. 3, 41. Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm…,vol. 1, 246.

[12] Ibnu Jarir ath-Thabari, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân…, vol 20, 22. Nashiruddin al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl…, vol. 5, 229. Ahmad al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi…, vol. 18, 11.

[13] Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyah, 1964), vol. 17, 121. Ibnu Jarir al-Thobari, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân…, vol 20, 96. Nashiruddin al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl…vol. 5, 18. Abdullah bin Ahmad an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl…, vol. 3, 136

[14] Al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân…, vol. I, 109. Nashiruddin al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl…, vol. 1, 77. Ahmad al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi…, vol. 1, 106

[15] Zamakhsyari, al-Kasyâf ‘an Haqâ‘iq Ghawâmidh al-Tanzîl, (Beirut: Dar Kutub al-Arabi, 1407 H), vol. 1, 133. Abdullah bin Ahmad an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl.., vol. 1, 85.

[16] Ahmad al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi…, 145. Ibnu Jarir ath-Thabari, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân…, vol. 19, 228.

[17] Nashiruddin al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl…, vol. 3, 138. Ibnu Jarir ath-Thabari, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân…, vol 19, 604. Al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân…, vol. 5, 326

[18] Nashiruddin al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl…, vol. 3, 222. Al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân…, vol. 6, 228. Zamakhsyari, al-Kasyâf ‘an Haqâ‘iq Ghawâmidh al-Tanzîl…, vol. 1, 211. Ahmad al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi…, vol. 2, 37

[19] QS. Al-Baqarah: 73

[20] Nashiruddin al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl…, vol. I, 77

[21] Abdullah bin Ahmad an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl…, vol. 1, 100. Jalaluddin al-Mahali dan Jalaluddin asy-Syuyuthi, Tafsîr al-Jalâlain…, vol. 1, 52. Ahmad al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi…, vol. 1, 15

[22] Ibnu Jarir ath-Thabari, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân…, vol. 2, 233

[23] Ahmad al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi…, vol. 1, 145

[24] QS. Al-Baqarah: 164

[25] Abdullah bin Ahmad an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl…,vol. 1, 147

[26] Zamakhsyari, al-Kasyâf ‘an Haqâiq Ghawâmidh al-Tanzîl…, vol. 1, 211

[27] Ahmad al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi…, vol. 2, 37.

[28] QS. QS. Al-Baqarah: 75

[29] Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm…, vol. 1, 484. Nashiruddin al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl…, vol. I, 89. Ahmad al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi…, vol. 1, 149. Jalaluddin al-Mahali dan Jalaluddin asy-Syuyuthi, Tafsîr al-Jalâlain…, vol. 1, 35. Dan Abdullah bin Ahmad an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl…, vol. 1, 102

[30] Al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân…, vol. 1, 158

[31] QS. Al-Shaffat: 138

[32] Nashiruddin al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl…, vol. 5, 18. Abdullah bin Ahmad an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl.., vol. 3, 136. Ahmad al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi…, vol. 23, 82

[33] Ibnu Jarir ath-Thabari, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân…, vol 21, 105.

[34] Nashiruddin al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl…, vol. 5, 18. Ahmad an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl…, vol. 3, 41. Zamakhsyari, al-Kasyâf ‘an Haqâ‘iq Ghawâmidh al-Tanzîl…, vol. 3, 463 Ibnu Jarir ath-Thabari, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân…, vol. 7, 148.

[35] QS. Al-Baqarah: 44

[36] Zamakhsyari, al-Kasyâf ‘an Haqâ‘iq Ghawâmidh al-Tanzîl…, vol. I, 133. Abdullah bin Ahmad an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl…, vol. 1, 84.

[37] Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm…, vol. 1, 459

[38] Jalaluddin al-Mahali dan Jalaluddin asy-Syuyuthi, Tafsîr al-Jalâlain…, vol. 1, 30.

[39] Nashiruddin al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl…, vol. I, 77. Ahmad al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi…, vol. 1, 106

[40] Ibnu Jarir ath-Thabari, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân…, vol. I, 10

[41] Ahmad al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi…, vol. 17, 11

[42] Ibid, vol. 17, 51

[43] Al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân.., vol. 5, 325

[44] Zamakhsyari, al-Kasyâf ‘an Haqâ‘iq Ghawâmidh al-Tanzî…, 326.

[45] Al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân.., vol. I, 88.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *