Post-Secular, Wajah Baru Sekularisme?

SIMAN–Dewasa ini sekularisme masih menjadi topik yang menarik untuk dibahas di kalangan akademisi. Hal serupa  disampaikan oleh Ustaz Muhammad Abdel Rafi dalam acara CIOS Researcher Forum (CRF), Selasa (16/7) lalu. Salah satu peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) asal Surabaya ini membawakan tema kajian menarik terkait sekularisme, yaitu “Telaah Masyarakat Post-Secular Jurgen Habermas”.

“Apa sebenarnya yang dimaksud dengan post-secular tersebut? Apakah yang dimaksud dengan itu adalah kondisi yang masih terpengaruh sekularisasi atau terlepas dari sekularisasi?” katanya mencoba menelisik lebih dalam mengenai isu tersebut di awal presentasi.

Ia mengupas tulisan opini Ahmad Suaedy, Ketua PBNU, yang berjudul “Demokrasi Post-Secular dan Agenda Kesetaraan (Kasus Tambang untuk Ormas Keagamaan)”. Kebijakan pemerintah memberikan konsesi tambang pada ormas keagamaan merupakan perubahan arah kiblat yang radikal dalam filosofi serta implementasi demokrasi dan keadilan. Ini merupakan perubahan kiblat sekularisme menuju post-secular.

“Mengutip pendapat Adrianus Sunarko OFM, post-secular bukanlah etape perubahan, melainkan ciri dari sebuah bentuk masyarakatnya. Artinya Indonesia telah masuk era post-secular,” ungkapnya.

Opini Ahmad Suaedy langsung direspons oleh Virdika Rizky Utama, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Sanghai Jiao Tong University dengan tulisan berjudul “Kekeliruan Pemahaman Demokrasi Post-Secular dan Agenda Kesetaraan Melalui Konsesi Tambang”. Refleksi Juergen Habermas tentang masyarakat post-secular menyoroti keterbatasan pendekatan yang murni sekuler, tetapi mereka tidak menganjurkan keterlibatan langsung lembaga-lembaga keagamaan dalam urusan negara. Mereka lebih menyerukan dialog yang lebih inklusif dengan perspektif agama yang dipertimbangkan tanpa merusak prinsip-prinsip sekuler yang mendasar.

“Jadi, apa yang dimaksud dengan masyarakat post-secular? Siapakah yang menggagas hal tersebut?” tanyanya memancing audiens.

Menjawab rasa penasaran audiens, Ustaz Rafi melanjutkan pemaparannya. Ia menyebut pidato Habermas pada tanggal 14 Oktober 2001 berjudul “Faith and Knowledge” saat penganugerahan Peace Prize oleh German Publishers dan Booksellers Association memperkenalkan terma post-secular untuk pertama kalinya. Pidato tersebut disampaikan tidak lama setelah terjadinya Peristiwa 9/11.

Post-secular merupakan kritik terhadap ide sekularisasi yang menyatakan keberadaan agama harus disingkirkan dari ruang publik. Bagi masyarakat post-secular, sekularisasi harus diinterpretasikan ulang sebagai proses saling belajar antara kaum sekuler dengan kaum religius.

Agama dapat memberikan pendasaran kewajiban moral dan keteguhan iman terhadap sesuatu yang transenden. Bahkan, hal ini bisa membuat seseorang sampai mengorbankan nyawa menentang rezim totaliter. Paradigma sekuler tidak bisa menjelaskan ini. Sementara agama menyediakan jawaban terhadap isu moral publik, seperti aborsi, eutanasia, dan krisis lingkungan. Nalar sekuler tidak memiliki basis intuisi moral yang meyakinkan terkait hal ini.

“Apakah post-secular memusnahkan sekularisasi? Apakah dalam masyarakat post-secular agama jadi digdaya?” tanyanya lagi.

Ia kemudian menjelaskan, ada beberapa konsep masyarakat post-secular. Di antaranya adalah demokrasi deliberatif yang artinya suatu keputusan terlegitimasi apabila keputusan tersebut memperoleh persetujuan rasional di dalam pertimbangan mendalam (deliberation) yang otentik oleh semua pihak yang berkepentingan terhadap keputusan tersebut.

Habermas sendiri mengutarakan bahwa konsep masyarakat post-secular hanya bisa diterapkan oleh negara yang telah “tersekularisasi penuh”, seperti Eropa. Sehingga, cara pandang post-secular tidak bisa serta merta dianut negara-negara yang tidak pernah tersekularisasi secara utuh, berikut dengan tawaran dan konsep-konsep yang menyertainya.

Penerjemahan konsep-konsep kunci agama ke dalam bahasa sekuler khas rasionalitas Eropa akan mendiskriminasi kelompok agama. Jika dipaksakan, agama akan kehilangan identitasnya.

“Ajakan agama untuk terlibat di ruang publik dengan prasyarat berdialog menggunakan metode historis-kritis, kritik semantik, dan hermeneutik, terkesan ‘pemaksaan secara halus’ agar agama menerima bahasa sekuler modern,” ujarnya.

Sebenarnya, tambah Ustaz Rafi, tesis masyarakat post-secular merupakan bentuk sekularisasi lebih lanjut. Hal ini diafirmasi langsung oleh Habermas sejak pertama kali mengucapkan terma post-secular dalam pidatonya.

Fenomena ini menegaskan gerak kebudayaan Barat yang senantiasa evolutif. Segala aturan dan tata moral akan berubah mengikuti zaman. Tidak ada kemutlakan nilai. Semuanya bersifat nisbi dan relatif. Realitasnya selalu becoming atau becoming-into-being, but never being (wujud). Inilah teras kebudayaan Barat.

Dalam hal ini, Islam menganut prinsip dynamic stabilism, pergerakan yang teguh, suatu gerak-daya yang terus menggabungkan, menyerap gagasan zaman yang bersifat baru. Namun, kebaruan-kebaruan itu tak lantas mengubah secara asasi kerangka metafisika, akhlak, hukum, pandangan alam, dan prinsip-prinsip penting dalam Islam yang kukuh. zidny   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *