Amir Sahidin, M.Ag
Peneliti CIOS UNIDA Gontor
Identitas Buku
Judul Buku: Majukah Islam dengan Menjadi Sekuler? Kasus Turki.
Pengarang: Dr. M. Arfan Muammar, M.Pd.I
Pengantar: Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A.Ed., M.Phil
Editor: Harda Armayanto, M.A., Ph.D
Penerbit: Centre For Islamic and Occidental Studies (CIOS) UNIDA Gontor
Cetakan Tahun: 2015
Jumlah halaman: 83
Pendahuluan
Buku majukan Islam dengan Sekuler? Kasus Turki yang ditulis oleh M. Arfan Muammar ini, berusaha membuktikan apakah dengan menjadi sekuler sebuah negara akan maju, atau justru sebaliknya?; dan apakah di dalam Islam terdapat konsep sekularisme atau justru konsep tersebut bertentangan dengan agama Islam (hlm. xii)?. Sehingga kajian ini sangat penting untuk ditelaah bersama, karena Turki dapat menjadi neraca pengukur tentang maju dan mundurnya suatu bangsa. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam kata pengantar buku ini menjelaskan (hlm. viii), mendiskusikan definisi “maju” dalam pandangan Islam tentu berbeda dengan definisi “maju” dalam pandangan Barat. Pengertian maju dan mundur dalam paham sistem nilai Islam tidak semestinya sama dengan pengertian maju dan mundur menurut paham dan sistem nilai Barat. Jadi, sebelum membuat penilaian terhadap apa yang maju dan apa yang mundur, terlebih dahulu seseorang harus memperjelas tentang neraca pengukurannya. Neraca pengukuran tersebut hanya akan jelas apabila mengkaji sejarah Turki Usmani (Turki sebelum sekuler) dan membandingkannya dengan sejarah Turki Pasca Utsmani (Turki sekuler) serta Turki Pasca Sekuler”
Isi Buku
Untuk mengurai rumusan masalah, buku ini ditulis dengan 4 Bab penting, pertama, pendahuluan yang berisi: pengertian istilah sekuler, sekulerisasi dan modernisasi di Barat, letak geografis dan keadaan negara Turki. Kedua, Turki sebelum sekuler yang berisi: kemunculan Dinasti Turki Usmani, sistem pemerintahan dan struktur masyarakat, kejayaan dan hasil peradaban Turki Usmani, masa kemunduran Turki Usmani, masa keruntuhan Turki Usmani, dan beberapa faktor penyebab runtuhnya Turki Usmani. Ketiga, Turki sekuler yang berisi, sebuah peralihan menuju negara sekuler, peran Yahudi dalam sekularisasi di Turki, sekularisasi dan modernisasi di Turki, usaha Mustafa Kemal Ataturk dalam mensekulerkan Turki, dan Turki pasca Kemalisme. Keempat, penutup yang berisi dua hal, yaitu sekularisasi bukanlah sebuah solusi dan kesimpulan. Adapun uraian ringkas dari setiap Bab tersebut adalah sebagai berikut ini:
Pertama: Pendahuluan Buku
Dalam pendahuluan, penulis buku mengungkap fakta-fakta penting, seperti pernah berjaya-nya Turki Usmani dan kemunduran yang terjadi, hingga runtuh, dan munculnya babak baru bagi Turki, yaitu sebuah babak untuk membangun kejayaan Turki seperti semula, dengan cara mensekulerkan dirinya. Keinginan Turki menjadi negara sekuler dengan mangadopsi mentah-mentah peradaban dan kebudayaan Barat dimulai sejak pemerintahan Turki dipegang oleh Mustafa Kemal Ataturk (hlm. 2). Fakta berikutnya yang diungkap penulis buku, bahwa pengertian sekularisme dengan al-‘ilmāniyyah dalam bahasa Arab adalah penerjemahan yang kurang tepat. Ia lebih lebih cocok diterjemahkan menjadi al-lādīniyyah atau al-dunyāwiyyah, karena kata sekularisme tidak hanya bertolak belakang dengan masalah-masalah akhirat, tetapi juga tidak mempunyai hubungan apapun dengan agama. Sedangkan penerjemahan kata sekularisme menjadi al-ilmāniyah adalah dikarenakan penerjemah-nya tidak memahami dua kalimat, al-dīn (agama) dan al-ilm (ilmu pengetahuan), kecuali dengan pemahaman Barat Kristen (hlm. 7). Fakta selanjutnya, penulis buku merangkan bahwa kaum Kristian tidak memandang sekularisme sebagai ancaman bagi agama mereka. Gereja tidak memandang sekularisme atau sekularisasi sebagai hal yang selalu negatif (hlm. 9). Ketiga fakta tersebut menguatkan bahwa sekularisme berasal dari Barat dengan pengalamannya terhadap hegemoni Kristen-Gereja, yang tentu sangat berbeda dengan pengalaman umat Islam terhadap agamanya.
Kedua, Turki Sebelum Sekuler
Dalam Bab kedua buku ini, penulis banyak memaparkan kemajuan-kemajuan dan sebab-sebab runtuhnya Turki Usmani sebelum kemudian resmi menjadi negara sekuler. Perlu dicatat bahwa kajian ini sangat penting untuk ditelaah secara seksama, nyatanya kemajuan-kemajuan Turki Usmani justru dikarenakan prinsip-prinsip Islam yang terpraktekkan dalam kehidupan dan kepemimpinannya. Sehingga, penulis buku mencatat bahwa kemajuan Usmani meliputi berbagai bidang, antara lain bidang ekonomi perdangangan, hasil pajak, dan perannya sebagai negara penghubung antara dunia Timur dan Barat melalui pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai. Kemajuan ini ditopang pula dengan kesadaran masyarakat yang telah mengeluarkan harta wakaf bagi kepentingan agama dan umum (hlm. 22). Selain itu, penulis juga menyebut adanya kemajuan bidang keagamaan sehingga menghargai ajaran-ajaran agama; bidang arsitekur sehingga sensasi Usmani tercermin dari seni arsitekturnya; bidang kependidikan sehingga pendidikan Usmani tersebar luas dan memiliki ranking yang tinggi (hlm. 22-24).
Sebaliknya, didapati bahwa kemunduran-kemunduran yang terjadi pada umat Islam adalah karena meninggalkan prinsip-prinsip Islam dan terlenanya dengan kehidupan dunia serta hawa nafsu. Penulis membagi sebab kemunduran tersebut menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal (hlm. 27). Pertama, faktor internal mencakup beberapa hal berupa kerusakan moral yang mulai merambah ke istana; tidak capak dalam memerintah; keikutsertaan orang yang tidak kompeten dalam mengatur pemerintahan; dan kemerosotan ekonomi serta pengabaian atas kesejahteraan rakyat. Kedua, faktor eksternal meliputi kekalahan Turki Usmani dengan bangsa Eropa dan Rusia; terjadi pemberontakan-pemberontakan terhadap kekuasaan Usmani (hlm. 27-30), dan ditambah dengan masukan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam (sekuler) sebagaimana dijelaskan pada bab berikutnya.
Ketiga, Turki Sekuler
Seiring dengan kemunduran Turki Usmani dengan berbagai faktor di atas, muncul gagasan dan gerakan-gerakan perubahan dengan menjadikan Barat sebagai kiblat perubahan tersebut. Munculnya gerakan Turki Muda yang ternyata memiliki hubungan erat dengan bangsa Yahudi, menjadi jalan mulus untuk menjatuhkan kekusaan Usmani. Untuk itu, sekularisasi di Turki tidak bisa dilepaskan dari peranan Yahudi dalam menggulingkan dan menghapus ke-sultanan Turki Usmani (hlm. 35). Penulis buku mencatat bahwa fenomena gerakan Zionis di Turki Usmani ini, menunjukan kekuatan imperium yang telah bertahan selama 600 tahun ini bisa digulingkan, utamanya dari dalam oleh kelompok Turki Muda yang berkolaborasi dengan kekuatan Zionis dan Barat. Turki Muda yang berpikiran sekuler-liberal, berorientasi Barat mengusung ideologi liberalisme, bersekutu dengan gerakan Freemansonry yang juga mengusung jargon liberty, egality, fraternity (hlm. 38-39).
Adapun terkait dengan sekularisasi dan modernisasi yang berkembang di Turki pada masa rezim Kemalis, Bryan S, Turner, seorang guru besar sosiologis di Universitas Flinders (Australia Selatan), menyimpulkan bahwa sekularisme tersebut merupakan suatu bentuk pemaksaan dari pemerintah rezim, bukanlah sekularisasi yang tumbuh sebagai suatu konsekuensi dari proses modernisasi seperti negara-negara Eropa. Selain itu, sekularisasi di Turki pada saat itu merupakan peniruan secara sadar pola tingkah laku masyarakat Eropa yang dianggap modern dan lebih maju. Bagi Kemalis, manusia Turki baru, tidak saja harus berpikiran rasional seperti orang-orang Eropa, tetapi juga harus meniru tata cara berprilaku dan berpakaian seperti mereka (hlm. 42). Untuk itu, melakukan apa yang dilakukan negara Turki ini, sama saja memisahkan wewenang agama dan bahkan menghapus agama itu sendiri (59).
Keempat, Penutup Buku
Dalam Bab terakhir buku ini, penulis menjelaskan kekeliruan Kemal Ataturk dalam mengambil silogisme terhadap keadaan yang ada (hlm. 61). Anggapan-nya, jika Barat maju karena sekuler, berarti Islam jika ingin maju, juga harus sekuler merupakan aggapan yang tidak tepat. Barat maju karena ia sekuler adalah dikarenakan pada saat itu Barat masih dalam cengkraman Gereja, dan setiap apa yang dikatakan oleh ilmuan tentang temuannya, jika itu bertentangan dengan Bible, maka para ilmuwan tersebut akan diseret ke inkuisisi. Dari sinilah ilmu di Barat menjadi stagnan dan tidak mengalami perkembangan, sehingga timbul gerakan untuk keluar dari kungkungan Gereja, atau disebut dengan gerakan sekularisasi (hlm. 62). Sehingga, sekularisasi yang di usung Barat itu disebabkan sering terjadinya benturan atara sains dan Bible. Adapun di Islam tidak demikian, tidak ada satupun ilmu pengetahuan (sudah mapan) yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an, dan justru Islam menjadi mundur saat ini adalah disebabkan umatnya mulai meninggalkan ajaran agama.
Untuk itu, penulis buku menyimpulkan bahwa pada akhirnya, sekularisasi yang diusung oleh Turki tersebut, tidak memiliki kemajuan yang berarti, baik di bidang infrastruktur, ekonomi, politik, maupun pendidikan (hlm. 64). Dalam bidang infrastruktur, seperti masjid-masjid dan persekolahan yang ada di Turki sekarang hanyalah merupakan warisaan dari Dinasti Turki Usmani. Sedang dalam bidang perekonomian, kekhilafahan Islam lebih bisa menjaga stabilitas harga dibandingkan dengan dunia Barat saat ini. Adapun bidang politik, sangat jelas bahwa kemenangan partai-partai Islam saat ini di Turki telah memberikan kebijakan-kebijakan seperti, larangan minum-minuman keras di wilayah yang dikuasainya. Hal ini mengindikasikan maraknya minum-minuman keras dan tempat-tempat prostitusi di Turki modern, sehingga men-degradasi moral bangsa Turki saat ini. Padahal kemerosotan moral para remaja dan sultan adalah faktor mendasar yang menyebabkan kemunduran Turki Usmani (hlm. 65-66).
Catatan dan Simpulan
Dari berbagai paparan yang telah dipaparakan sebelumnya dan juga sebagaimana kata pengantar dari Hamid Fahmy Zarkasyi, tema kajian ini sangat penting untuk ditelaah bersama. Urgensitas kajian ini ada pada fakta sejarah kemajuan dan kemunduran suatu bangsa. Adapun Barat maju—di satu sisi—dengan menjadi sekuler, adalah karena ajaran agama (Gereja) yang dianut sangat bertentangan dengan ilmu dan kemajuan itu sendiri, sehingga menjadi sekuler adalah pilihan mereka. Dalam satu sisi menjadikan mereka maju, tapi di sisi lain sajatinya Barat mengalami kemerosotan spiritual dan moralitas. Berbeda dengan Islam, faktanya, Turki Usmani dahulu maju karena menjalankan ajaran Islam itu sendiri, sebaliknya, runtuhnya Turki Usmani adalah karena semakin jauhnya dari ajaran Islam. Kemajuan Islam tidak hanya pada satu sisi, melaikan kemajuan yang menyeluruh, baik material, spiritual maupun moralitas. Untuk itu, artikel ini sangat tepat untuk membantu kita memahami realitas tersebut.
Namun demikian, ada bebarapa catatan untuk dapat menyempurnakan kajian ini, yaitu buku di beberapa poin tertentu terdapat pemaparan yang kurang mendalam, dan di kesimpulan yang biasanya sebagai simpulan dari pemaparan terdahulu, justru menampilkan data-data dan fakta-fakta baru yang sangat penting diketahui. Tentu akan lebih baik, jika data-data dan fakta-fakta tersebut dimasukan pada pembahasan isi kajian, bukan kesimpulan. Akan tetapi, terlepas dari kedua catatan tersebut, buku ini sangat layak menjadi renungan bersama, penguat untuk terus istiqamah dengan ajaran Islam, dan menjadi neraca pengukuran apakah negara Islam akan maju dengan paham sekularisme. Akhirnya, semoga resensi ini bermanfaat, dan bagi yang menginginkan untuk membeli buku bernilai ini, dapat mengubungi atau mendatangi CIOS Unida Gontor.







