Oleh: Amir Sahidin, M.Ag
Peneliti CIOS Unida Gontor
Identitas Buku
Judul Buku: Pengetahuan Intuitif Model Husserl dan Suhrawardi
Pengarang: Prof. Dr. Mohammad Muslih, M.Ag
Penyunting: Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A.Ed., M.Phil
Penerbit: Centre For Islamic and Occidental Studies (CIOS) UNIDA Gontor
Cetakan Tahun: 2010
Jumlah halaman: 56
Pendahuluan
Buku berjudul, “Pengetahuan Intuitif Model Husserl & Suhrawardi” yang tulis oleh Mohammad Muslih ini, mencoba mempertemukan pemikiran intensionalitas Husserl dan illuminasi Suhrawardi. Penulis dalam kata pengantarnya menerangkan (hlm. vill) bahwa, “pertemuan” Husserl dan Suhrawardi akan menjadi kekuatan yang luar biasa dalam menjelaskan problem keilmuan dewasa ini. Pertemuan ide keduanya yang dapat disebut, “intensionalitas di bawah terang cahaya ilahiyah” juga bisa menjadi alternatif atau jalar keluar dari pandangan ontologis tentang realitas yang selama ini cenderung materialistis dan mekanistis. Selain itu, sebagai asumsi ontologis, “cahaya intersionalitas” ini dapat menajadi dasar pengembangan pemikiran pada berbagai aspek kehidupan, seperti etika, estetika, antropologi, epistmologi dan lainnya (hlm. vii). Oleh karenanya, kajian ini tentu sangat penting untuk ditelaah secara seksama.
Isi Buku
Dengan tujuan dan urgensi demikian, buku ini ditulis dengan 7 pembahasan, yaitu: (1) Pendahuluan, (2) Fenomena Kantian: Momentum Husserl, (3) Logika Mantiqiyah: Momentum Suhrawardi, (4) Fenomenologi Dalam Terang Ilmu Hudluri, (5) Cahaya Intersionalitas, (6) Kontribusi: Keluar dari Krisis Modernitas, dan (7) Penutup. Adapun penjelasan ringkas dari ke-tujuh pembahasan tersebut adalah sebagai berikut ini:
Pertama: Pendahuluan Buku
Dalam pendahuluan buku, penulis mejelaskan bahwa mempertemukan dua pemikiran dari tradisi yang berbeda bukanlah perkara mudah, terlebih ketika yang dipertemukan adalah corak pemikiran filsafat yang bersifat intuitif, seperti intersionalitas dalam fenomenologi Edmund Husserl dan illuminasi Suhrawardi. Pemikiran filsafat intuitif, sebagaimana sering dikemukakan, kerap melampaui batas-batas penjelasan rasional karena sifat reflektifnya yang berada di luar jangkauan rumusan rasio formal. Namun demikian, upaya perbandingan, bahkan pertemuan antara keduanya, dapat membuka kemungkinan adanya saling keterjelasan. Dengan kata lain, kesulitan dalam memahami satu pemikiran dapat terbantu melalui pendekatan atau kerangka konseptual dari pemikiran lainnya (hlm. 1). Lebih dari itu, kajian ini diharapkan mampu melahirkan pemaknaan baru, khususnya dalam merespons problematika aktual dan menawarkan solusi atas kebutuhan epistemologis modern yang cenderung bersifat rasionalistik (hlm. 2-3). Dalam kerangka tersebut, penulis berupaya merajut makna baru dari dialog antara pemikiran kedua tokoh tersebut (hlm. 4).
Kedua: Fenomena Kantian: Momentum Husserl
Dalam pembahasan ini, penulis menjelaskan bahwa kehadiran Edmund Husserl telah membawa perubahan yang bersifat revolusioner dalam tradisi filsafat Barat. Sebelumnya, filsafat Barat cenderung memosisikan manusia dan realitas eksternal sebagai dua entitas yang terpisah (hlm. 8). Pendekatan empirisis yang menekankan peran indra, pendekatan rasionalis yang mengutamakan rasio, maupun kategori apriori dalam sistem filsafat Kantian, semuanya telah berkontribusi pada terbentuknya jarak antara subjek manusia dan dunia di luar dirinya. Dengan demikian, manusia “ada”, namun “tidak berada” secara utuh dalam realitas eksternal tersebut (hlm. 9). Sementara itu, Husserl memperkenalkan konsep kesadaran intuitif sebagai sarana untuk mengakses kompleksitas realitas secara langsung—tanpa perantara dan tanpa dipengaruhi oleh perspektif subjektif. Bagi Husserl, realitas bukanlah sesuatu yang sepenuhnya terlepas dari subjek yang mengamatinya. Ia menggunakan istilah fenomenologi untuk merujuk pada apa yang tampak dalam kesadaran, yakni fenomena yang dimanifestasikan sebagaimana adanya, tanpa terlebih dahulu dikenai kategori-kategori pikiran. Berbeda dengan Immanuel Kant, yang memandang fenomena sebagai hasil konstruksi apriori dalam kesadaran, Husserl justru menegaskan bahwa fenomena adalah realitas itu sendiri—yang menjadi nyata setelah kesadaran “mencair” dan menyatu dengan realitas (hlm. 10).
Ketiga: Logika Mantiqiyah: Momentum Suhrawardi
Dalam pembahasan ini, penulis menjelaskan bahwa, sebagaimana yang dihadapi oleh Husserl, persoalan mendasar yang melatarbelakangi pemikiran Suhrawardi juga berkaitan dengan validitas pengetahuan. Pada masa Suhrawardi, otoritas utama dalam bidang epistemologi dipegang oleh tradisi logika Peripatetik. Model pengetahuan ini sangat menekankan pada kebenaran silogisme, proposisi, konsep, dan definisi. Oleh karena itu, pengetahuan dianggap dapat dicari (maṭlūb), bahkan terhadap objek-objek yang bersifat gaib (al-shay’ al-ghayb). Namun, menurut Suhrawardi, model pengetahuan rasional semacam ini sangat rentan terhadap kekeliruan (hlm. 19). Ia menawarkan pendekatan yang berbeda, yakni pengetahuan yang benar-benar hadir dalam diri subjek. Pengetahuan dalam pandangan Suhrawardi disebut sebagai yaqīnī (pasti) dan ḥaqīqī (hakiki). Dalam kerangka epistemologi iluminatif yang dekat dengan tradisi sufi, pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat ḥaqq al-yaqīn, bukan sekadar ‘ayn al-yaqīn, apalagi hanya ‘ilm al-yaqīn. Bagi Suhrawardi, pengetahuan yang berhenti pada level ‘ilm al-yaqīn sejatinya belum dapat disebut ‘ilm (ilmu), melainkan baru sebatas idrāk (persepsi) saja (hlm. 20-21). Meskipun idrāk sendiri memiliki beberapa tingkatan, yaitu idrāk bi al-ḥissī (persepsi indrawi) dan idrāk bi al-‘aql (persepsi akal), Suhrawardi menegaskan bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui definisi, sebagaimana lazim dalam metode diskursif Peripatetik, pada hakikatnya baru mencapai tingkat idrāk, belum sampai pada derajat ‘ilm (hlm. 21).
Keempat: Fenomenologi Dalam Terang Ilmu Hudluri
Dalam pembahasan ini, penulis menguraikan adanya kesamaan antara teori fenomenologi Edmund Husserl dan filsafat iluminasi Suhrawardi, yang dinilai dapat saling menjelaskan. Misalnya, penulis menunjukkan bahwa, sebagaimana pada Husserl, refleksi dalam filsafat iluminasi Suhrawardi juga menekankan pentingnya kesadaran diri, atau yang disebutnya dengan anā’iyah (ke-aku-an), yang bersifat intuitif. Suhrawardi secara kritis menolak model pengetahuan diskursif-rasionalistik (manṭiqī) yang dianut oleh para filsuf Peripatetik (hlm. 28). Lebih lanjut, seperti halnya Husserl, Suhrawardi berpendapat bahwa pengetahuan bergantung pada relasi antara subjek dan objek. Ia berargumen bahwa esensi sesuatu pertama-tama harus hadir dalam subjek agar dapat diketahui. Apabila hal ini tidak terjadi, maka kondisi (ḥāl) subjek hanya akan menjadi keadaan yang mendahului atau mengikuti objek tanpa adanya pengetahuan yang sungguh-sungguh diperoleh (hlm. 31). Dengan demikian, pengetahuan iluminatif didasarkan pada kesatuan antara subjek dan objek, di mana idea atau bentuk objek hadir langsung dalam kesadaran diri subjek (hlm. 31). Penulis kemudian menyimpulkan bahwa, kesatuan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui dalam kesadaran intuitif yang bersifat mental serta disertai civic (musyāhadah) inilah sebenarnya prinsip pengetahuan fenomenologi dalam terang ilmu ḥuḍūrī (hlm. 32).
Kelima: Cahaya Intensionalitas
Dalam pembahasan ini, penulis menegaskan bahwa intensionalitas merupakan konsep kunci dalam filsafat Edmund Husserl. Intensionalitas dipahami sebagai asumsi ontologis yang menyatakan bahwa esensi realitas secara langsung menampakkan diri dalam kesadaran intuitif subjek (hlm. 32–33). Lebih lanjut, penulis menjelaskan bahwa konsep intensionalitas ini justru dapat lebih mudah dipahami melalui penjelasan-penjelasan yang ditawarkan oleh teori ilmu hudluri. Sebaliknya, penjelasan mengenai ilmu hudluri juga menjadi lebih terang apabila dianalisis melalui asumsi-asumsi ontologis dari intensionalitas (hlm. 34). Selain itu, kesadaran intuitif yang dimaksud oleh Husserl memiliki kemiripan dengan konsep anā’iyah dalam filsafat Suhrawardi. Esensi realitas yang tampil berbentuk fenomena dalam kerangka Husserlian juga dapat dimaknai sebagai prinsip ḥuḍūrī, yakni “kehadiran objek” dalam pengertian Suhrawardi. Dalam pandangan Suhrawardi, kesadaran intuitif dan fenomena merupakan dua dari tiga pilar utama yang menjadi syarat untuk mencapai ‘irfān (pengetahuan intuitif; pengenalan, pen.) atas esensi realitas. Pilar ketiga yang tidak dapat dipisahkan dari keduanya adalah nūr atau cahaya. Dengan demikian, dalam konsepsi Suhrawardi, pengenalan terhadap esensi realitas mensyaratkan hadirnya tiga unsur secara bersamaan: kehadiran subjek dalam bentuk kesadaran diri, kehadiran objek sebagai esensi realitas, dan nūr sebagai unsur pencerah yang memungkinkan terjadinya penyatuan antara subjek dan objek (hlm. 34).
Keenam: Kontribusi: Keluar dari Krisis Modernitas
Dalam pembahasan ini, penulis terlebih dahulu membahas krisis modernitas yang tengah dihadapi peradaban kontemporer. Krisis tersebut antara lain mencakup krisis ekologis dan krisis spiritual yang dipandang sebagai dampak negatif dari dominasi sains modern (hlm. 40). Selain itu, krisis makna dan tujuan hidup juga menjadi perhatian utama, yang muncul sebagai akibat dari pemahaman yang dangkal terhadap eksistensi diri serta marjinalisasi dimensi spiritual dalam kehidupan manusia. Pandangan reduktif semacam ini memengaruhi perilaku manusia secara luas, khususnya dalam memperlakukan alam. Salah satu manifestasi nyatanya adalah praktik eksploitasi alam secara berlebihan demi memenuhi ambisi materialistik. Padahal, alam semesta pun memiliki dimensi spiritual, sebagaimana halnya manusia, karena keduanya merupakan manifestasi dari suatu realitas yang lebih tinggi. Secara ontologis, realitas dipahami sebagai berlapis-lapis, yang puncaknya adalah Realitas Absolut (hlm. 42). Kondisi tersebut mendorong munculnya kesadaran baru untuk merumuskan dasar dan pendekatan metodologis yang lebih holistik, yang mengakui peran sentral subjek dan pra-andaian metafisis—termasuk pra-andaian religius—dalam proses keilmuan. Dalam kerangka ini, pandangan spiritualis tentang alam, manusia, dan realitas menjadi sangat signifikan secara ontologis. Oleh karena itu, konsep “cahaya intensionalitas” yang digagas dalam kajian ini tidak hanya merupakan tawaran baru dalam wacana filsafat, tetapi juga berpotensi memberikan kontribusi nyata dalam merespons krisis modernitas yang tengah berlangsung (hlm. 46).
Ketuju: Penutup
Dalam pembahasan akhir, penulis menyimpulkan bahwa pertemuan konseptual antara pemikiran Edmund Husserl dan Suhrawardi menunjukkan potensi kekuatan filosofis yang luar biasa. Gagasan tentang “intensionalitas di bawah terang cahaya ilahiyah” tampaknya dapat menjadi alternatif, atau bahkan solusi, terhadap pandangan ontologis tentang realitas yang selama ini didominasi oleh pendekatan materialistik dan mekanistis. Pandangan ontologis semacam itu, pada kenyataannya, telah melahirkan berbagai krisis dalam kehidupan modern, baik secara ekologis, spiritual, maupun eksistensial (47). Sebagai asumsi ontologis, konsep “cahaya intensionalitas” dapat dijadikan landasan bagi pengembangan pemikiran dalam berbagai aspek kehidupan manusia, seperti dalam bidang etika, antropologi (filsafat tentang hakikat manusia), epistemologi, dan lainnya. Dalam konteks ini, scientia sacra (pengetahuan suci) dapat dipahami sebagai bentuk awal dari formulasi epistemologis yang bersumber dari “cahaya intensionalitas”. Penulis juga menyarankan bahwa pengembangan lebih lanjut dapat diarahkan pada aspek-aspek lain dari pemikiran ini, guna memperluas kontribusinya terhadap wacana keilmuan kontemporer yang lebih holistik dan transendental (hlm. 47).
Catatan dan Simpulan
Sebagai catatan dari kajian yang telah dilakukan penulis, bahwa buku ini memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya membangun jembatan antara filsafat Barat modern dan filsafat Islam klasik. Dengan mengaitkan intensionalitas Husserl dan ilmu ḥuḍūrī Suhrawardi, penulis berhasil membuka ruang dialog antara dua tradisi pemikiran yang berbeda secara historis dan metodologis. Kekuatan utama buku ini terletak pada keberhasilannya mengartikulasikan bahwa krisis modernitas tidak hanya bersifat sosial atau ekologis, tetapi berakar pada krisis ontologis dan epistemologis dalam memandang realitas. Oleh karena itu, tawaran “cahaya intensionalitas” sebagai dasar ontologis alternatif bukan hanya relevan secara filosofis, tetapi juga menjanjikan arah baru bagi integrasi antara spiritualitas dan ilmu pengetahuan. Secara keseluruhan, buku ini layak diapresiasi sebagai salah satu ikhtiar filosofis yang mendalam dan orisinal dalam menjawab tantangan zaman melalui pendekatan lintas tradisi pemikiran.
Namun demikian, terdapat beberapa catatan yang dapat menjadi masukan untuk penyempurnaan kajian dalam buku ini. Salah satunya adalah perlunya penyajian peta pemikiran kedua tokoh secara lebih terstruktur, misalnya melalui poin-poin perbandingan yang jelas, tabel, atau bagan. Hal ini akan sangat membantu pembaca dalam memahami, menelaah, dan membandingkan konsep-konsep kunci yang diusung oleh Husserl dan Suhrawardi secara lebih visual dan sistematis. Terlepas dari masukan tersebut, buku ini sangat layak dijadikan rujukan penting bagi para peneliti, akademisi, dan mahasiswa yang tertarik pada kajian filsafat, epistemologi, dan integrasi ilmu. Tidak hanya karena topiknya yang relevan dan mendalam, tetapi juga karena keberhasilannya menghadirkan model integrasi antara filsafat Barat modern dan khazanah keilmuan Islam, yang sekaligus dapat menjadi bagian dari upaya islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Akhir kata, semoga resensi ini bermanfaat dan bagi pembaca yang berminat untuk memiliki buku yang sarat nilai ini, dapat menghubungi atau langsung mengunjungi CIOS (Centre for Islamic and Occidental Studies) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor.







