JAKARTA–Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat kembali mengadakan Annual Conference on Fatwa Studies (ACFS). Acara ini berlangsung pada tanggal 26–28 Juli 2024 di Hotel Aryaduta, Menteng, Jakarta. Direktur CIOS, Harda Armayanto, M.A., Ph.D., terpilih sebagai salah satu pembicara di acara konferensi yang diadakan untuk kedelapan kalinya ini.
Konferensi yang dihadiri para peneliti beserta tokoh nasional dan internasional ini mengangkat tema “Peran Fatwa dalam Mewujudkan Kemaslahatan Bangsa”. Dari tema tersebut, terlihat wujud keseriusan MUI dalam mengeluarkan fatwa-fatwa berlandaskan kajian yang komprehensif dan akademis.
Terkait itu, dalam sambutannya, ketua panitia konferensi, Prof. Dr. H. Jaih Mubarok, S.E., M.H., M.Ag., menyampaikan bahwa bahan kajian yang diterima panitia untuk konferensi mencapai 160 artikel. Namun, panitia hanya memilih 60 artikel yang layak untuk dipresentasikan dalam konferensi kali ini.
Salah satu artikel terpilih berjudul “Fatwa Majelis Ulama (MUI) tentang Pengharaman Salam Lintas Agama: Kajian Teologis dan Sosiologis”. Artikel ini ditulis oleh Ustaz Harda Armayanto yang berkolaborasi dengan Ustazah Selmarisa Wardhani, peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) UNIDA Gontor, dan Ustaz Adib Fattah Suntoro, peneliti CIOS UNIDA Gontor.
Topik ini sengaja diangkat sebab masih “hangat” dan menarik respons pro-kontra dari banyak kalangan. Dalam pemaparannya, Ustaz Harda Armayanto menyampaikan bahwa artikel ini merupakan respons kritis terhadap para pengkritik fatwa salam lintas agama. Mereka tidak sekadar mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap fatwa MUI tersebut, melainkan juga menuduh fatwa itu mengancam eksistensi Pancasila.
Bagi Ustaz Harda Armayanto dkk., hal tersebut tentu saja menjadi sesuatu yang sangat serius untuk diperhatikan dan harus dikaji secara akademis. Sehingga, MUI dengan fatwanya tidak menjadi “bulan-bulanan” target ketidaksetujuan, bahkan kebencian.
Berdasarkan hasil kajian Ustaz Harda dkk., terbukti secara teologis bahwa fatwa itu sejalan dengan makna “salam” yang bersifat ubudiah. Sebab, dalam Islam, “salam” mengandung doa. Sementara doa berfungsi sebagai otaknya (inti) ibadah. Demikian pengertian doa yang dijelaskan dalam hadis riwayat Imam al-Tirmidzi.
Menanggapi polemik ini, K.H. Anwar Iskandar, Ketua Umum MUI, mengatakan bahwa umat Islam tidak boleh alergi terhadap perbedaan. Sebab, menghindari ikhtilaf adalah sesuatu yang tidak mungkin. Di situlah Allah memberikan ruang berijtihad. Dalam berijtihad, baik benar ataupun salah, keduanya sama-sama mendapatkan pahala.
Yang tidak boleh terjadi dalam berijtihad adalah melakukan kebohongan. “Fatwa bisa jadi salah, namun tidak boleh bohong,” pesan Prof. Dr. Asrorun Ni’am, Sekretaris Komisi Fatwa MUI.
Artinya, dalam proses penetapan fatwa, tidak boleh ada unsur khiyānah atau kebohongan karena di dalamnya ada tanggung jawab ilmiah. Fatwa sendiri bisa jadi salah, misalnya dalam proses pengambilan (istinbāth) hukumnya. Namun demikian, proses ini ditempuh dengan ijtihad sungguh-sungguh demi menghasilkan putusan yang memberikan manfaat hakiki bagi umat.
Dalam sejarah Indonesia, salam lintas agama baru populer diucapkan di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Hal itu tertulis di dalam dokumen pidato presiden. Sebelum itu, baik di masa kepemimpinan Soekarno ataupun Soeharto, salam lintas agama ini tidak dikenal.
Meski demikian, apakah integrasi bangsa terancam? Apakah masyarakat Indonesia tidak dapat hidup rukun dan damai? Tentu jawabannya tidak. kala itu, masyarakat Indonesia tetap dapat hidup harmoni meski tak mengucapkan salam lintas agama. Oleh karena itu, tak ada hubungan antara salam lintas agama dengan hidup damai, apalagi dengan eksistensi Pancasila, sebagaimana yang dikhawatirkan itu.
Apalagi, fatwa pengharaman ini ditujukan hanya kepada umat Islam, bukan kepada umat agama lain. Artinya, MUI hanya mengurusi rumah tangga umat Islam dan tidak melakukan tindakan offside hingga mencampuri rumah tangga agama lain. Di sini, prinsip lakum dīnukum wa liya dīn ditegakkan MUI, sekaligus menjadi penegas bahwa agama-agama itu berbeda dan sesembahannya pun berbeda.
Dalam salam lintas agama, perbedaan itu harus ditegaskan, bukan diucap secara bersamaan. Sebab, kerukunan umat beragama justru terjalin jika keimanan terjamin. Caranya dengan menghormati ajaran masing-masing agama tanpa harus mencampuradukkannya. Di sinilah alasan adanya sinkretisme dalam salam lintas agama menjadi relevan.
Sementara sinkritisme sendiri merupakan bagian dari paham pluralisme agama. Pada tahun 2005, pluralisme agama telah diharamkan oleh MUI. Artinya, fatwa pengharaman salam lintas agama ini selaras dengan fatwa pengharaman sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama pada tahun yang sama.
Di akhir pemaparannya, Ustaz Harda Armayanto menegaskan bahwa fatwa salam lintas agama yang berdimensi teologis-ubudiah tak mengganggu hubungan sosiologis umat beragama di Indonesia.
Ia lantas menyampaikan dua poin penting sebagai rekomendasi kepada MUI. Pertama, fatwa pengharaman salam lintas agama dan fatwa-fatwa MUI lainnya sebaiknya disosialisasikan semasif mungkin kepada umat Islam. Kedua, MUI membuat kegiatan-kegiatan lokakarya atau pelatihan sebagai bentuk penguatan dan implementasi fatwa-fatwa yang mereka keluarkan.
Kedua hal tersebut dirasa penting agar fatwa-fatwa MUI bisa menjadi rujukan bagi pemegang kebijakan di negara ini dalam membuat aturan konstitusional. Selain itu, hal ini perlu dilakukan agar terhindar dari berbagai tuduhan sebagaimana terjadi pada fatwa pengharaman salam lintas agama ini. harda