Waspadai Deislamisasi Berwajah Nativisasi

SIMAN–Apa hubungan antara nativisasi dengan deislamisasi? Pertanyaan ini dijawab oleh Tegar Hafidh Alim saat berkesempatan menjadi pemateri dalam acara CIOS Researcher Forum (CRF), Selasa (23/7) lalu. Ia juga menjelaskan panjang lebar maksud dari nativisasi dan nativisme beserta latar belakangnya.

Nativisme beradal dari kata native yang berarti orang asli atau orang pribumi. Sedangkan dalam KBBI, nativisme adalah sikap atau paham suatu negara atau masyarakat terhadap kebudayaan sendiri berupa gerakan yang menolak pengaruh, gagasan, atau kaum pendatang. Sedangkan Nativisasi adalah prosesnya.

Dalam konteks kajian ini, secara sederhana, nativisasi (sebagai politik khusus) dapat didefinisikan sebagai usaha yang sistematis maupun tidak yang dijalankan untuk menghilangkan peran kesejarahan Islam dan umatnya dari suatu negeri dengan cara mengangkat budaya lokal setempat. Keberadaan “budaya lokal” setempat yang diangkat itu sendiri, dalam arus nativisasi, bukan hal yang telah final, melainkan melalui proses rancang ulang yang tidak jarang merupakan hasil rekayasa belaka.

Nativisasi sendiri dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu nativisasi alami dan nativisasi terorganisir. Nativisasi yang paling berbahaya adalah nativisasi terorganisir karena nativisasi dijalankan oleh pihak yang mempuyai motif dan modus tertentu. Sehingga, dampaknya pun akan lebih besar dibandingkan nativisasi alami.

Dalam sejarah Indonesia, nativisasi sudah ada sejak sejak zaman kolonialisme. Saat itu, masyarakat Jawa mengalami Islamisasi besar-besaran. Artinya, Islam menjadi tantangan utama kolonial pada waktu itu. Sehingga, Islam pun jadi target utama dari nativisasi ini. Mereka menganggap keberadaan Islam di Indonesia, khususnya di Jawa bisa merugikan kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.

Bahkan, seorang orientalis pengusung nativisasi bernama T. Ceyler Young berkata, “Di setiap negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar peradaban-peradaban sebelum Islam. Tujuan kami bukanlah untuk mengembalikan umat Islam kepada akidah-akidah sebelum Islam, tetapi cukuplah bagi kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam atau peradaban-peradaban lama tersebut.”

Di periode pasca-Perang Jawa, pengkajian nativistik oleh Belanda terutama di Jawa kian menjadi-jadi. Di Jawa, banyak para javanolog kolonial yang lahir. Mereka menganalisis sejarah dan kebudayaan Jawa, termasuk kejawen. Mereka merestorasi kebudayaan pra-Islam yang telah terlupakan, didefinisikan ulang lalu ditampilkan kembali.

Di masa ini, aliran kepercayaan yang diklaim berdasarkan agama lokal juga meningkat perkembangannya. Di Jawa, banyak golongan priayi yang terpengaruh dan masuk ke ajaran kepercayaan kejawen. Penganutnya terus berupaya mengembangkannya hingga saat ini. Pencapaian besar terakhir mereka terjadi pada tahun 2019 dengan diresmikannya aliran kepercayaan sebagai status agama yang boleh dipilih dan dicantumkan di KTP.

Di era ini pula bermunculan karya-karya sastra Jawa yang anonim, seperti Babad Kadhiri, Suluk Gatoloco, dan Serat Dharmagandul. Karya-karya tersebut berisi hinaan terhadap Islam. Lebih dari itu, terdapat pula seruan pemurtadan. Upaya alienisasi Islam dari sejarah dan peradaban setempat semakin tampak.

Akibatnya, nativisasi melahirkan paradigma yang mengerdilkan peran Islam dan sejarahnya di Kepulauan Melayu-Indonesia (Jawi). Sehingga, hal ini semakin mengasingkan jati diri bangsa yang sudah identik dengan Islam melalui glorifikasi peradaban pra-Islam yang bias kolonialisme.

Paradigma nativistik itu ditanamkan melalui pengajaran dan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, terutama di masa Politik Etis yang kebanyakan diisi kalangan priayi, sehingga melahirkan generasi pribumi yang nativistik. Di antara kaum priayi ini tumbuh sentimen anti-Islam. Mereka menganggap peralihan keyakinan ke agama Islam merupakan sebuah kesalahan peradaban.

Bagi mereka, kunci modernitas yang sesungguhnya terletak pada penggabungan pengetahuan modern ala Eropa dengan restorasi kebudayaan Hindu Jawa. Bahkan, Islam dipandang sebagai penyebab mundurnya wujud paling agung dari kebudayaan tersebut (Jawa), yaitu Kerajaan Majapahit.

Pengaruh buruk pendidikan kolonial ini pernah diutarakan oleh Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul Dari Hati ke Hati. Menurut kesaksiannya selama bersentuhan dengan kaum pribumi yang terdidik dengan pendidikan kolonial, kepada mereka ditonjolkan bahwa orang Islam itu kotor, santrinya penuh kudis, kiainya beristri banyak, kolam masjidnya kotor, dan lain sebagainya.

Mereka juga didoktrin tidak akan maju kalau masih berbaju Islam. Bahkan, mereka tidak dididik untuk mengakui Radeh Fatah atau Sunan Gunung Jati sebagai pahlawan mereka, melainkan Hayam Wuruk dan Gajah Mada-lah yang wajib dijadikan pahlwan. Lama-lama, mereka pun memandang Islam dengan sinis dan penuh cemooh.

Jadi, nativisasi ini perlu diwaspadai generasi Muslim saat ini karena membentuk stigma negatif terhadap Islam yang diposisikan sebagai barang asing. Kehadiran Islam dianggap menghancurkan kebudayaan asli pra-Islam yang diklaim sebagai masa keemasan yang telah ada sebelumnya.

Nativisasi berupaya mengerdilkan Islam dengan cara mengglorifikasi kebudayaan lokal lama non-Islam. Nativisasi juga hendak mengaburkan sejarah, khazanah, dan peran Islam agar semakin terasingkan. Sehingga, umat Islam dan generasi mudanya semakin jauh dari Islam. iqbal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *